Minggu, 27 Februari 2011

PLURALISME AGAMA MENURUT PEMIKIR ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN DI INDONESIA

4. Neo-Modernisme
Dalam tipologi ini akan diuraikan secara singkat pemikiran-pemikiran neo-Modernis dari Indonesia, seperti: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, Alwi Shihab, Quraish Shihab, Zuhairi Misrawi, Abdul Moqsith Ghazali, Budhi Munawar Rahman, dan lain-lain.
a. Nurcholish Madjid
Pluralisme agama bagi Nurcholish Madjid adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Nurcholish Madjid (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam.
“Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”

Nurcholish Madjid menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.
Menurutnya, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama.
Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengutip al-Qur′an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ [42]:[13],
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم إليه الله يجتبي إليه من يشاء ويهدي إليه من ينيب

Surat al-Nisâ’ [4]:[163-165],

إنا أوحينا إليك كما أوحينا إلى نوح والنبيين من بعده وأوحينا إلى إبراهيم وإسماعيل وإسحق ويعقوب والأسباط وعيسى وأيوب ويونس وهارون وسليمان وآتينا داوود زبورا ورسلا قد قصصناهم عليك من قبل ورسلا لم نقصصهم عليك وكلم الله موسى تكليما رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل وكان الله عزيزا حكيما
al-Baqarah [2]:[136],

قولوا آمنا بالله ومآ أنزل إلينا وما أنزل إلى إبراهيم وإسماعيل وإسحق ويعقوب والأسباط وما أوتي موسى وعيسى وما أوتي النبيون من ربهم لا نفرق بين أحد منهم ونحن له مسلمون
al-Ankabût [29]:[46],

ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم وقولوا آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم وإلهنا وإلهكم واحد ونحن له مسلمون

al-Syûrâ [42]:[15],

فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم وقل آمنت بما أنزل الله من كتاب وأمرت لأعدل بينكم الله ربنا وربكم لنا أعمالنا ولكم أعمالكم لا حجة بيننا وبينكم الله يجمع بيننا وإليه المصير

dan al-Mâidah [5]:[8],

يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون

Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad Saw dengan syariat nabi Nuh As, Ibrahim as, Ismail as, Ishaq as, Ya’qub as, Ayyub as, Yunus as, Harun as, Musa as, Sulaiman as, Dawud as, Isa as dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad Saw.
Ia menjelaskan tentang titik temu agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab). Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”
Pendefinisian ulang makna Islam dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban, karena prinsip-prinsip itu maka semua agama yang benar pada hakekatnya adalah "al-islam", yakni, semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kitab Suci Al-Qur′an, berulang kali kita dapati penegasan bahwa agama para nabi terdahulu sebelum Nabi Nabi Muhammad Saw adalah semuannya al-Islam karena inti semuannya adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Atas dasar inilah maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad disebut agama Islam, karena ia secara sadar dan dengan penuh deliberasi mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sehingga agama Nabi Muhammad merupakan al-Islam par excellence, namun bukan satu-satunya, dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-Islam yang lain, yang telah tampil terdahulu.
b. Djohan Effendi
Baginya, makna pluralisme agama bukan hanya sekedar pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama - terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak.
Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia - termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia - bersifat nisbi, tidak absolut. “Yang absolut” adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan. Djohan Effendi mengemukakan bahwa:
“Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.”
Dengan pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.”
c. Alwi Shihab
Dengan mengutip pendapatnya Fazlur Rahman dalam Interpretation in the Al-Qur′an, ia menyatakan bahwa terdapat beberapa ayat Al-Qur′an yang menunjukkan kepada nilai pluralisme Islam, yang apabila kita hayati maka diharapkan hubungan antar sesama kita, manusia dengan segala macam keanekaragaman ideologi, background sosial, etnik, dan sebagainya dapat terjembatani melalui nilai-nilai pluralisme Islam ini.
Ayat-ayat tersebut antara lain, QS. al-Hujurat [49]:[13];

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
QS. al-Hud [11]:[118];


ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين

QS. al-Ankabut [29]:[46];


ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم وقولوا آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم وإلهنا وإلهكم واحد ونحن له مسلمون
QS. al-Maidah [5]:[48];


وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن ليبلوكم في مآ آتاكم فاستبقوا الخيرات إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون

QS. at-Tahrim [66]:[6];

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤم يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

QS. Maryam [19]:[61-62];


جنات عدن التي وعد الرحمن عباده بالغيب إنه كان وعده مأتيا لا يسمعون فيها لغوا إلا سلاما ولهم رزقهم فيها بكرة وعشيا جنات عدن التي وعد الرحمن عباده بالغيب إنه كان وعده مأتيا لا يسمعون فيها لغوا إلا سلاما ولهم رزقهم فيها بكرة وعشيا

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur′an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur′an. Sebab Al-Qur′an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.
d. Quraish Shihab
Berbicara tentang pluralisme, sangat erat sekali dengan diskursus kebebasan beragama dan toleransi beragama. Menurut Quraish Shihab, dengan mengajukan argumen dari QS. Al-Baqarah [2]:[256];

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم
QS. Yunus [10]:[99];

ولو شاء ربك لآمن من في الأرض كلهم جميعا أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين

QS. al-Kafirun [109]:[6];

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ


QS. al-Mumtahanah [60]:[8];

ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين

dan QS. al-Kahfi [18]:[19]

وكذلك بعثناهم ليتساءلوا بينهم قال قائل منهم كم لبثتم قالوا لبثنا يوما أو بعض يوم قالوا ربكم أعلم بما لبثتم فابعثوا أحدكم بورقكم هذه إلى المدينة فلينظر أيها أزكى طعاما فليأتكم برزق منه وليتلطف ولا يشعرن بكم أحدا


Menyatakan bahwa Islam mengembangkan konsep tentang kebebasan beragama.

“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.

Islam memberikan kebebasan untuk memilih. Kebebasan berpindah agama sekalipun tidak perlu menjadi masalah yang diperdebatkan. Ini sangat logis, seperti misal, seorang Muslim keluar dari Islam. Begitu juga non-Muslim keluar dari agama sebelumnya dan akhirnya masuk Islam. Memang dalam literatur terdahulu pernah terdapat argumen yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang keluar dari Islam boleh dibunuh karena telah murtad. Akan tetapi argumen tersebut berkaitan dengan latar kondisi sosial masyarakat tertentu. Kalau ditelusuri dasar-dasar fundamental dari Al-Qurʹan tidak ada anjuran darinya untuk membunuhnya. Kalaupun ada hadist-hadist yang yang berkaitan dengan masalah tersebut, maka lebih merupakan kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat; bisa saja masalah pembunuhan terhadap si murtad tersebut berlaku pada masayarakat tertentu tetapi tidak pada masyarakat lainnya. Jadi, sifatnya kontekstual dan berkaitan dengan kepentingan untuk menata masyarakat tertentu. Di Indonesia ada lima (sekarang ada enam ditambah Konghucu) yang memiliki pengikut dalam jumlah besar.
Menurutnya, umat Islam harus berlapang dada dengan adanya berbagai pandangan atau pendapat yang tidak sejalan (akidah - pen) paham keagamaan kita. Semuanya itu sudah menjadi ketetapan Allah Swt yang seandainya pun tidak kita pahami tidak perlu menggelisahkan hati kita, apalagi sampai membunuh diri sendiri atau memaksa orang lain untuk menganut pandangan tertentu (Islam) sebagaimana dinyatakan oleh QS. al-Kahfi [18]:[6].
فلعلك باخع نفسك على آثارهم إن لم يؤمنوا بهذا الحديث أسفا

Al-Qurʹan menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Qurʹan juga menganjurkan agar dalam interaksi sosial, apabila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, mengakui penganut agama lain, dan tidak perlu saling menyalahkan sebagaimana disinggung oleh QS. ali-Imran [3]:[64].

قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Apabila titik temu (kalimat sawa) tersebut tidak dapat dicapai, Al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain sebagaimana dinyatakan oleh QS. Saba [34]:[24-26].
قل من يرزقكم من السماوات والأرض قل الله وإنا أو إياكم لعلى هدى أو في ضلال مبين قل لا تسألون عما أجرمنا ولا نسأل عما تعملون قل يجمع بيننا ربنا ثم يفتح بيننا بالحق وهو الفتاح العليم
Jalinan antara Muslim dengan non-Muslim pun tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim sebagaimana dinyatakan QS. al-Mumtahanah [60]:[8].
ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
Oleh karena itu, ketika sebagian sahabat Nabi Saw memutuskan bantuan keuangan kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Qurʹan menegur mereka dengan turunnya QS. al-Baqarah [2]:[272].
الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض أولئك هم الخاسرون

e. Zuhairi Misrawi
Pluralisme agama sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama diantara pelbagai komunitas masyarakat. Sedangkan relativisme berada pada posisi menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri. Pluralisme agama merupakan upaya mencari titik temu untuk membangun komitmen bersama di antara pelbagai perbedaan dan keragaman komitmen. Zuhairi Misrawi mendasarkan pada QS. Al-Baqarah [2]:[62].
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون

Pluralisme agama bukan menyamakan semua agama sama. Karena jika menyamakan semua agama berarti relatif-absolut. Pluralisme bertujuan untuk merajut kebersamaan (non-teologis) antara satu agama dengan agama yang lain dalam perbedaan. Tetapi diantara komitmen tersebut, setidaknya ada komitmen bersama untuk dapat dijadikan titik tolak untuk mewujudkan kebersamaan. Misalnya, tentang keadilan sosial di Indonesia agar diusung secara kolektif antar pelbagai budaya dan latar belakang agama yang berbeda-beda. Oleh karena itu sangat dibutuhkan inklusivisme sebagai tangga untuk menaiki level pluralisme.
Pluralisme menjadi alternatif untuk melahirkan sebuah paham sosial yang mampu memberikan inspirasi kepada agama untuk memaksimalkan peran-peran sosial, seperti toleransi, kesukarelaan dan perlindungan terhadap minoritas. Pluralisme agama tidak mempunyai potensi untuk menggoyah iman, melainkan justru menerjemahkan iman tersebut dalam ranah sosial untuk memaksimalkan eksistensi toleransi.
Terkait dengan fatwa MUI tentang haramnya pluralisme agama (di Indonesia), menurutnya fatwa itu merupakan cerminan dari ketidakmampuan kalangan agamawan untuk memahami pluralisme agama dengan baik dan tepat. Setidaknya ada semacam kecurigaan untuk menerima diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi. Sesungguhnya para ulama klasik telah memberikan sinyalemen tentang pluralisme, diantaranya memberikan perlindungan terhadap minoritas, seperti ahl dzimmah (komunitas non-Muslim), diperbolehkannya kawin agama (dengan ahl kitab).
Selanjutnya Zuhairi Misrawi mengusulkan agar pertama, perlunya langkah-langkah kritis atas menguatnya gelombang fundamentalisme dan radikalisme. Kedua, perlunya tafsir baru atas pluralisme dalam konteks keindonesiaan. Ketiga, perlunya belajar dari pengalaman negara-negara lain yang relatif berhasil dalam menerjemahkan pluralisme.
Perihal dampak tidak langsung dari munculnya fatwa tersebut, yaitu penyerangan terhadap kantor Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor Jawa Barat, NTB, dan beberapa tempat lainnya. Disamping itu, intimidasi terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, Jakarta Pusat. Kendatipun demikian, KH. Ma’ruf Amin membantah, bahwa aksi kekerasan tersebut tidak ada kaitannya dengan fatwa yang dikeluarkan MUI. Ia menyatakan, “Fatwa adalah suatu hal, sedangkan kekerasan adalah hal lain”.
f. Abdul Moqsith Ghozali dan Imam Ghazali Said
Menurut Abdul Moqsith Ghazali, sesungguhnya pluralisme telah menjadi kesadaran agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik.
Abdul Moqsith Ghazali membeberkan beberapa ayat yang bisa ditunjuk sebagai bukti pengakuan Al-Qur′an terhadap agama-agama lain. Pertama, pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut Al-Qur′an sebagai petunjuk dan penerang. Melalui ayat-ayat dalam Al-Qur′an ini juga ditegaskan bahwa Islam memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Kedua, pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul. Ketiga, secara eksplisit Al-Qur′an menegaskan bahwa siapa saja–Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dan lain-lainnya yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya. Keempat, Al-Qur′an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat Islam diperintahkan melakukan pertahanan diri.
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir tentang hal ini.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putri Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Dan pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan ampun atasnya. Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota Negara.
Berangkat dari fakta-fakta normatif tersebut, menurut Abdul Moqsith Ghazali, semakin jelaslah bahwa pengakuan Islam atas ajaran agama dan umat agama lain. Tidak sekadar itu, menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh, sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing.
Sejalan dengan penelitian Moqsith Ghazali diatas, menurut Imam Ghazali Said, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut beberapa kalangan yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda NU dan Muhammadiyah.
Islam menempatkan manusia pada poros pelaku (subyek) sekaligus sasaran (obyek) interaksi. Level interaksi tersebut setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi empat, yaitu;
Pertama, persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah) sebagaimana tertuang dalam QS. al-Anbiya [21]:[102];
لا يسمعون حسيسها وهم في ما اشتهت أنفسهم خالدون

Kedua, pengakuan terhadap eksistensi semua agama. Untuk memperkuat misi kemanusiaan diatas, Al-Qur′an secara implisit dan eksplisit mengakui dan melindungi keberadaan agama-agama diluar Islam sebagaimana tertuang dalam QS. al-Hajj [22]:[40];
الذين أخرجوا من ديارهم بغير حق إلا أن يقولوا ربنا الله ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز
Ketiga, hubungan baik dengan ahlul kitab sebaimana dalam QS. al-Mukmin [40]:[77];
فاصبر إن وعد الله حق فإما نرينك بعض الذي نعدهم أو نتوفينك فإلينا يرجعون

dan Keempat, Islam dan paham kebangsaan sebagaimana dalam QS. al-Hujurat [49]:[13].
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
g. Budhi Munawar Rahman
Menurut Budhy Munawar Rahman, adalah pandangan bahwa agamanya adalah satu satunya jalan yang sah untuk keselamatan. Jika dalam Katholik terdapat ajaran extra ecclesiam nulla salus atau extra ecclesiam nullus propheta. Pandangan ini dikukuhkan pada Konsili 1442. diantara para tokoh Protestan yang berpandangan ini adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer jika dalam agama Islam Budhy Munawar-Rachman mengutip QS. al-Maidah [5]:[3];
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم

QS. ali-Imran [3]:[85];

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين

dan QS. ali-Imran [3]:[19];

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

Allah Swt mencipta manusia secara berbeda dengan berbagai macam ras, suku, laki-laki dan perempuan tidak dimaksudkan agar mereka berjuang untuk menentang kehendak Allah Swt dan melenyapkan semua perbedaannya sehingga menjadi identik, tetapi agar mereka menyadari akan kemahaagungan Allah Swt melalui perbedaan-perbedaan tersebut dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain.

PLURALISME MENURUT NEO-REVIVALISME

3. Neo-Revivalisme
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme agama telah ada dari sejak abad 18. Jika dirunut kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang ajaran agama. kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat.
Para sarjanawan Barat memandang agama sebagai objek kajian keilmuan, serta dalam penelitiannya pun harus seobjektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan histories bukan secara normatif. Mereka balajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap tidak/belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk mencapai kesempurnaannya. Padahal didalam Islam terdapat yang pokok (usul) yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu` bisa berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasy, sependapat dengan MUI, bahwa pluralisme agama yang diharamkan oleh MUI karena akan menimbulkan relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama. Paham ini menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta agenda penting globalisasi.
Anis Malik Thoha menyatakan bahwa pemahaman tentang pluralisme agama di Indonesia, merujuk pada dua aliran yang berkembang, yaitu pertama teologi global (global theology) John Hick yang terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith dengan world theology. Sebagaimana dikutip olh Hamid Zarkasyi, kedua aliran kesatuan transenden agama-agama (Transendent Unity of Religions) yang digagas oleh Fritjhof Shuon yang terpengauh oleh Ananda Kentish Coomaraswamy dan Rene Guenon yang memiliki konsep serupa (philosophia perennis milik Coomaraswamy dan primodial tradition milik Guenon). Selain itu, agama dianggap semakin tidak bisa menjawab tantangan kehidupan yang semakin rumit. Sehingga agama dan kepercayaan perlu dimodernisasikan serta disesuaikan perkembangan zaman untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Maka lahir pluralisme agama pada masa pencerahan (enlightenment) di Eropa. Tepatnya pada abad 18 Masehi yang terdapat bangkitnya gerakan pemikiran modern.
Pluralisme lahir juga dari problem teologi agama Kristen. Sebab agama di Barat (Kristen), masalah teologi didominasi oleh filosof. Sehingga teolog tidak memiliki otoritas. Dari masalah ini terlahir pemikiran yang hanya mengandalkan akal (filosof). Akal Barat modern tidak bisa menerima dengan teologi Kristen yang ada. Akhirnya para filosof berusaha mengakalkan teologi yang dimiliki Kristen. Dan dari sini masalah teologi di kuasai oleh para filosof. Kemudian lahir produk filsafat atheisme yang muncul pada masa pencerahan. Cara berfikir filosof Barat terhadap teologi ini akhirnya mulai memasuki pemikiran agama Islam setelah perang dunia ke dua, yaitu mulai terbukannya kesempatan generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga bersentuhan langsung dengan cara berfikir dan budaya Barat.
Menurut Anis, dalam wawancaranya dengan majalah Islamia mengatakan bahwa: kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme agama menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena kebenaran eksklusif sebuah agama. Kemunculan pemikiran pluralisme di Barat tepatnya pada masa pencerahan (enlightenment) Eropa lebih tepatnya pada abad ke-18 masehi. Pemikiran ini terjadi pada saat Barat mengalami wacana pergolakan pemikiran superioritas akal dan pembebasan-pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama (Kristen). dari pergolakan pemikiran inilah yang melahirkan liberalisme yang mengharapkan kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh sebab itu, menurut Adian Husaini ini sungguh merupakan pemahaman yang berbahaya. Pemikiran yang simplistik seperti ini akan membawa kepada kekaburan makna dari paham itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat bukan belajar untuk memahami, malah lebih senang untuk menghakimi. Paham pluralisme bahkan telah di artikan sebagai agama tersendiri yang memiliki tuhan dan ajaran yang khusus.
Doktrin agama tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan harus tunduk terhadap doktrin agama. para ilmuwan mengalami penyiksaan (masuk ke institusi gereja yang sangat terkenal dengan kejahatannya dan kekejamannya dan biasa dikenal dengan insquisisi) dari gereja sebab apa yang mereka temukan bertentangan dengan dokrin kekristenan. Menurut Adian Husaini, manusia diperintahkan menyakini kebenaran yang mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan. Sebab itu tidak mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang terpenting adalah bahwa akal manusia bisa mencapai tahap kepastian dan keyakinan (`ilm).

PLURALISME AGAMA MENURUT PEMIKIR MODERNISME KLASIK DI INDONESIA

2. Modernisme Klasik
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Menyikapi perkembangan tren pluralisme agama akhir-akhir ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Munas ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli 2005, mengeluarkan 11 fatwa. Fatwa itu antara lain berkaitan dengan sesat dan haramnya ajaran Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme. Dalam kaitan dengan Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme Agama dalam ketentuan umumnya dinyatakan:
Pertama, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Kedua, Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara/ daerah tertentu terdapat berbagai bentuk pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Ketiga, Liberalisme adalah memahami nas-nas agama (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan menggunakan akal dan pikiran yang bebas semata, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal dan pikiran semata; Keempat, Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sementara hubungan dengan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kala itu, definisi ini menurut MUI saja tanpa melibatkan para tokoh lintas intelektual Muslim yang lainnya selain dari MUI saja. Tanpa keterbukaan dialog dengan para pengusung dan pemikir inklusif-liberal-progresif lainnya.oleh karena itu berkenaan dengan hal tersebut, maka MUI mengeluarkan ketentuan hukum tentang pluralism agama di Indonesia:
Pertama, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud dalam bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam; kedua, umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. ketiga, dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain; keempat, bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan agama ibadah, umat Islam bersikapinklusif dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak merugikan.
Inilah ciri-ciri pandangan dan pemikiran modernisme-klasik yang secara tidak langsung mengadopsi peradaban Barat. Akan tetapi pada realitanya mereka masih terkungkung oleh teks yang kaku. Teks yang hanya bias dipahami dari sudut pandang Islam saja. Bukan dari sudut pandang Islam yang “universal”. Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

PLURALISME AGAMA MENURUT PEMIKIR ISLAM EKSKLUSIF DI INDONESIA : REVIVALISME

1. Revivalisme Pra-Modernis
Kelompok Islam Radikal di Indonesia–yang kemudian dikenal dengan-Gerakan Salafi Militan tumbuh subur ketika kekuasaan Orde Baru tumbang. Di era pemerintahan Presiden Habibi, Gerakan Salafi Militan mengalami euforia yang ditandai dengan berdirinya Front Pembela Islam (FPI) yang dideklarasikan di Pondok Pesantren Al-Umm Cempaka Putih Ciputat pada 17 Agustus 1998 yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab. Laskar Jihad Ahlu al-Sunnah meskipun berdirinya organisasi ini dilatar belakangi oleh konflik di Ambon, tetapi orientasi perjuangan kelompok ini mengembangkan aliran Wahabi di Indoneia yang dianggap sebagai gerakan Salafi. Laskar Jihad diresmikan pada 14 Februari 1998 dengan panglima Dja’far Umar Thalib.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dideklarasikan pada tanggal 7 Agustus 2008 sebagai kesimpulan dari kongres MMI di Yogyakarta yang menetapkan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Amir Mujahidin. Selain itu, terdapat sayap yang berkonsentrasi untuk mengorganisir generasi muda antara lain, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang mengusung khilafah Islamiyah ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an dan lebih memokuskan perjuangan di kampus-kampus di seluruh Indonesia. KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan HAMMAS (Himpunan Aksi Mahasiswa Muslim antar Kampus).
Bagi kelompok Islam radikal seperti HTI, MMI, dan FPI diatas, paham pluralisme agama ditentang keras karena bertentangan dengan Islam (akidah). Jubir HTI, Ismail Yusanto sependapat dengan Anis Malik Thoha yang dengan keras juga dengan sangat kritis menolak pluralisme agama karena merupakan absurd. Pluralisme agama sangat bertentangan dengan QS. Ali-Imran [3]:[85].
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين

Berdasarkan ayat itu, Ismail Yusanto yakin bahwa kebenaran hanyalah milik monopoli Islam saja.
Bagi Ismail Yusanto, Jubir HTI, antara pluralitas dan pluralisme sangat berbeda. Pluralitas adalah sebuah keadaan dimana di tengah masyarakat terdapat banyak ragam ras, suku, bangsa, bahasa dan agama. Ini adalah sebuah kenyataan masyarakat sebagai hasil dari proses-proses sosiologis, biologis dan historis yang telah berjalan selama ini. Menurutnya, secara biologis, Allah Swt memang menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa dengan warna kulit, bentuk muka dan rambut serta bahasa yang berbeda-beda. Sedang secara sosiologis, karena manusia bebas memilih, maka wajar bila manusia mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Jadi, ragam agama, sebagaimana juga ragam ras, suku, bangsa dan bahasa adalah kenyataan yang sangat manusiawi, karenanya semua harus kita terima sebagai sebuah kenyataan masyarakat.
Menurutnya, berbeda dengan pluralitas, pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk menuju titik kebenaran yang sama (other way to the same truth). Karena itu, tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun bahwa agama itulah yang paling benar, dan juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau truth salvation bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat dari siksa neraka.
Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan menghantarkan pemeluknya menuju surga. HTI memandang, pluralitas dalam arti keragaman ras, suku, agama, bangsa, bahasa dan agama harus kita terima. Sedang pluralisme, apalagi pluralisme agama harus kita tolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam.
Sedangkan menurut Shidiq al-Jawi, tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Akidahnya, sehingga hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Akidah Islam adalah rahasia atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan bisa menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Akidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan, agar umat Islam takluk dan tunduk patuh sepenuh-penuhnya kepada kaum penjajah kafir. Itulah tujuan sebenarnya dari wacana pluralisme agama ini, tidak ada yang lain.
Sebelum perayaan Natal 25 Desember 2010, Ketua FPI Habib Rizieq Shihab dalam sebuah wawancara akan berjanji menciptakan situasi yang kondusif selama perayaan Natal. Habib Rizieq mengajak kepada semua umat beragama untuk membiarkan umat Kristiani merayakan Natal dengan aman dan tenang.
Ia berharap agar umat Kristiani merayakan perayaan Natal dengan tenang, aman, tanpa gangguan dari pihak manapun juga. Karena ajaran Islam tidak membenarkan untuk mengganggu umat agama mana pun juga. Hal itu disampaikan Habib Rizieq usai bertemu Kapolda Metro Jaya Irjen Sutarman di Mapolda Metro Jaya. Habib Rizieq mengungkapkan, sebagaimana perayaan Natal tahun-tahun sebelumnya, FPI mengimbau persatuan umat Kristiani pihak KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja Indonesia) untuk merayakan Natal sesuai aturan, tata tertib, dan jangan sampai ada hal-hal yang mengundang kontroversial.
Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI tidak akan mengganggu perayaan Natal yang merupakan hak umat Kristiani. Oleh karena itu ia menganjurkan untuk membiarkan umat Kristiani merayakan Natal dengan senang dan gembira.
Menurut Habib Rizieq, biarkan umat Islam meyakini agama Islam paling benar, selain Islam tidak benar. Walaupun ia dengan sadar mengakui keberbolehan umat lain mengklaim kebenarannya masing-maisng, akan tetai dirinya dengan sangat tegas bahwa diluar Islam tidak ada jalan keselamatan. Seperti halnya pernyataan MUI. Menurutnya, yang penting antara umat satu dengan lainnya tidak saling mengganggu, melecehkan, bahkan salin mencederai. Natal itu hak beribadah mereka, hak keyakinan mereka yang harus dihormati oleh seluruh bangsa Indonesia. Di sisi lain, menurut pemahaman Habib Rizieq, keragaman bangsa dan agama merupakan sebuah bentuk pluralitas. Namun begitu ia menolak pluralisme sebagai upaya mencampuradukkan agama. Oleh karena itu, ia sangat mendukung fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama.

SAFII GOZALI: DISKURSUS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

B. Diskursus Pluralisme Agama di Indonesia
Agama merupakan salah satu diskursus yang sangat sensitif. Klaim-klaim kebenaran (claim of truth)–bahwa agamanyalah yang mutlak benar–dan klaim penyelamatan (claim of salvation)–bahwa jalan ke surga hanya ada pada agamanya saja, sementara pada agama lain adalah jembatan-jembatan menuju neraka.
Dalam fatwa MUI Juli 2005 ditegaskan bahwa pluralisme itu haram jika pluralisme dimaknai; pertama,menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini, bagi MUI, tidak benar menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam sendiri, yang benar adalah Islam yang salah. Oleh karena itu pemahaman pluralisme yang menganggap semua agama benar adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam; dan kedua, teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam ini termasuk sinkretisme.
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada beragam isu penting. Salah satu diantaranya adalah pluralisme agama (religious pluralism). Apalagi setiap penganut agama hidup dalam era globalisasi, sebuah era yang menjadikan dunia ini sebuah desa global (global village). Kini, seharusnya, kehadiran agama-agama bukan dijadikan sebagai sumber masalah (problem maker), akan tetapi sebagai pemberi solusi (problem solver) atas masalah-masalah sosial yang muncul.
Oleh karena itu, dalam diskursus pluralisme agama, perdebatan antara yang pro (inklusif) dan yang kontra (eksklusif) dirasa kurang detail, dalam rangka untuk memetakan pemikiran tentang pluralisme agama menurut para pemikir Muslim, terutama yang berkembang di Indonesia, maka penulis menggunakan tipologi aliran yang berkembang dalam pemikiran dunia Islam menurut Fazlur Rahman.
Akan tetapi, pemikiran tentang pro dan kontra terhadap pluralisme agama disini hanya akan dibatasi menurut wacana-wacana yang berkembang secara signifikan dalam perdebatannya di Indonesia. Dalam pembahasan di bawah ini memang tidak semua pemikir diulas secara mendalam terkait pemikiran dan wacananya terhadap pluralisme agama. Seperti halnya dengan beberapa tokoh neo-modernisme juga tidak diulas secara menyeluruh dalam bahasan ini. Ambil saja tokoh seperti neo-Modernis seperti Mukti Ali, M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah dan lain-lain sengaja tidak dibahas secara mendalam dalam bab ini karena mereka telah dibahas dalam bab terdahulu.

MUHAMAD SAFII GOZALI: PARADIGMA TENTANGF PLURALISME AGAMA PEMIKIRAN DI INDONESIA

2. Paradigma dan Bentuk-bentuk Pluralisme Agama
Menurut Anis Malik Thoha, tren-tren pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, pertama, humanisme sekuler, yaitu suatu sistem etika (ethical system) yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaran-ajaran agama. Kedua, teologi global (global theology), yaitu sebuah wacana atau pemikiran keagamaan lintar kultur. Ketiga, tren sinkretisme, yaitu suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampur unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak-belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru) dan Keempat, hikmah abadi yaitu "hakikat eksoteris" yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk "hakikat-hakikat eksoteris" dengan bahasa yang berbeda. Hakikat yang pertama adalah "hakikat transenden" yang tunggal, sementara yang kedua adalah “hakikat religius" yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam dan saling berlawanan dari hakikat transenden tadi.
Biyanto menyatakan bahwa, sedikitnya ada dua varian dalam wacana pluralisme keagamaan berkembang dalam perbincangan adalah; (a) kelompok penerima pluralisme keagamaan (soft pluralism; hard pluralisme; dan antara soft dan hard pluralism); dan (b) kelompok penolak pluralisme keagamaan (moderat; dan radikal). Munculnya perbedaan disebabkan oleh perbedaan asal-usul atau latar belakang sosial dan pendidikan.
Sehingga pada kesempatan lain Mukti Ali mengajukan beberapa pemikiran untuk mencapai suatu kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Di sini ada tiga pengertian pluralisme kontemporer yang telah dikembangkan, dan dijadikan dasar analisis bahwa dalam teologi maupun sejarah Islam. Ketiga pengertian itu adalah:
Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya, untuk membangun peradaban bersama. Dalam pengertian ini, seperti tampak dalam sejarah Islam, pluralisme lebih dari sekedar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, “Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.
Kedua, pluralisme dengan pengertian yang pertama, berarti mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain. Tetapi pluralisme melebihi toleransi. Pluralisme mengandaikan pengenalan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga ada mutual understanding yang membuat satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif, untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban. Ini telah terjadi dalam sejarah Islam. Spanyol (Andalusia) menjadi contoh yang paling ekspresif.
Ketiga, berdasarkan pengertian kedua, maka pluralisme bukan relativisme. Pengenalan yang mendalam atas yang lain akan membawa konsekuensi mengakui sepenuhnya nilai-nilai dari kelompok yang lain. Toleransi aktif ini menolak paham relativisme, misalnya pernyataan simplistis, “bahwa semua agama itu sama saja”. Justru yang ditekankan keberbedaan itu merupakan potensi besar, untuk komitmen bersama membangun toleransi aktif, untuk membangun peradaban kemanusiaan.
Ketiga pengertian pluralisme ini, secara teologis ini berarti bahwa manusia harus memang harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara terbaik (fastabiqûl khairât, “berlomba-lomba dalam kebaikan”, dalam istilah Al-Qur′an) secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir mengenai kebenaran kepada Tuhan. Karena tidak ada satu carapun yang bisa dipergunakan secara objektif untuk mencapai kesepakatan mengenai kebenaran yang mutlak ini.
Namun demikian, gerakan puritanisme yang konservatif didalam Muhammadiyah tetap ada. Sehingga, Muhammadiyah boleh dibilang telat dalam melahirkan kader-kader yang progresif dan liberal. Kalaupun ada, kelompok-kelompok yang progresif tersebut tidak terlalu menonjol sebagaimana kader-kader NU. Setelah kran reformasi dibuka, banyak kader-kader Muhammadiyah yang mulai muncul dengan ide-ide segar.
Menurut Sukidi Mulyadi, meruyaknya kader-kader Liberal-Progresif di tubuh Muhammadiyah tidak lepas dari peranan Ahmad Syafii Maarif. Ahmad Syafii Maarif dalam hal ini merupakan transformator yang berperan besar dalam melahirkan kader-kader Liberal-Progresif. Bermunculannya kader Muhammadiyah yang Liberal dan Progresif hampir bersamaan ketika Ahmad Syafii Maarif memimpin Muhammadiyah.

MUHAMMAD SAFII GOZALI: PENGERTIAN PLURALISME AGAMA

1. Pengertian Pluralisme Agama
Di Indonesia, pemahaman tentang pluralisme sebenarnya telah cukup lama diperkenalkan pada masyarakat Indonesia. Rintisan ini telah dimulai oleh Harun Nasution lewat bukunya ”Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” . Dalam tulisannya, Harun Nasution berpendapat bahwa agama Islam merupakan suatu nilai yang terbuka. Islam yang inklusif yang mau berdialog terbuka dengan budaya, etnis dan agama yang lain. Islam merupakan keberlangsungan dari tradisi-tradisi agama sebelumnya. Dengan demikian, Islam memiliki kekerabatan yang erat dengan tradisi agama-agama lain untuk saling melengkapi, bukan membatalkan. Tren pemikiran ini kemudian diteruskan oleh generasi kedua Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid, dan Last but not Least oleh Ahmad Syafii Maarif yang merupakan perwakilan dari kelompok Reformis-Modernis (Attajdid wal hadatsah).
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
John Courtney Murray menyatakan bahwa pluralisme adalah kelompok orang dengan perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan-pertentangan, pandangan dan identitas yang hidup dalam suatu komunitas sosial-politik, yang karena perbedaan dan pertentangan tersebut harus dihargai sebagai kekayaan perspektif. Oleh karena itu yang lebih fundamental adalah prinsip bersama tersebut tidak boleh menghambat dan menghalangi setiap kelompok agama untuk mempertahankan identitasnya masing-masing. Selain prinsip tersebut juga mengakui dan menghormati agama lain bukan berarti membenarkan atau bahkan menyamakan semua agama benar. Menurut John Hick, baik tidaknya sebuah misi agama dan status manusia amat ditentukan oleh komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya semata-semata oleh klaim kebenaran saja (truth claim).
John Hick lebih mengedepankan “pluralisme” sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu.
“Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar (selain Kristen), bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?”
Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian.
Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu kesamaan yang kasar (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersamaTuhan.
Pada kesempatan lain, Sheikh Rashid Ghanousi menjelaskan bahwa monoteisme tidak menentang perbedaan, pluralisme, kebebasan, toleransi, ataupun demokrasi tetapi justru merupakan landasan bagi semuanya itu. Monoteisme merupakan antitesis dari politeisme, kediktatoran, dan segala bentuk pelanggaran. Tidak semua perbedaan dikutuk dalam Islam, apalagi harus dilenyapkan. Namun perbedaan merupakan landasan asli dan gejala yang menguji kemahabesaran dan kemahaindahan makhluk Allah Swt. Sedangkan Paul F. Knitter mendifinisikan pluralisme agama sebagai sebuah model pemahaman untuk menemukan kebenaran dengan mengajukan dialog korelasional antar agama, agar bisa saling mendengar dan tertantang untuk saling berbicara dan membandingkan diantara mereka.
Dalam perkembangannya, pluralisme agama memiliki paradigma yang beragam, paling tidak ada lima. Kelima paradigma tersebut antara lain;
1. Pluralisme Fenomenalis (phenomenalist pluralism), pluralisme ini memandang agama-agama sebagai wujud respon yang berbeda terhadap realitas transenden;
2. Pluralisme Universalis (universalist pluralism), pandangan yang menekankan keniscayaan dan keharusan adanya suatu teologi universal berdasarkan pemahaman sejarah agama-agama;
3. Pluralisme Etis atau Setereosentris (ethical or setereocentric pluralism), memandang keadilan sebagai ukuran semua agama;
4. Pluralisme Ontologis (ontological pluralism), menyatakan bahwa pluralisme tidak hanya membicarakan keragaman ‘yang ada’, tetapi yang ada itu sendiri adalah pluralistik; dan
5. Pluralisme Konfusionalis (confessionalist pluralism), menyatakan bahwa setiap agama seharusnya menegaskan partikularitasnya termasuk klaim finalitas.
Menurut Wijdan, dkk (2007), sedikitnya terdapat tiga persepsi dalam umat Islam terhadap pluralisme, yaitu; pertama, persepsi positif didukung oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid; kedua, persepsi negatif didukung oleh lawan-lawan Madjid dan Abdurrahman Wahid; dan ketiga, persepsi netral yang didukung oleh para cendekiawan Muslim di Indonesia. Padahal, antara pluralisme dengan landasan Islam sendiri sebenarnya tidak ada kontradiksi mengenai kesaksian tentang monoteisme (syahadat tauhid) yang mutlak. Orang yang beriman adalah bersaudara, oleh karenanya dalam Al-Qur′an secara terus menerus disebut dengan umat manusia.
Pluralisme agama bukan berarti pencampuradukan atau sinkretisme keyakinan. Pluralisme juga bukan berarti bahwa setiap agama adalah sama. Pluralisme agama adalah mencari titik temu dari masing-masing agama. Titik temu itu berfungsi sebagai alat pengikat dari beragam perbedaan sehingga keunikan masing-masing agama dapat dikomunikasikan, bukan untuk dipertandingkan.
Oleh karena itu pluralisme agama tidak hanya dengan mengatakan bahwa sebuah masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya akan menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme agama juga tidak boleh hanya dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Gagasan pluralisme, terutama pada persoalan agama bertujuan untuk menghargai perbedaan yang terdapat pada ajaran-ajaran agama. Keperbedaan tersebut kadangkala melahirkan sesuatu kekacauan. Oleh karena itu menurut Alwi Shihab, ketika seorang pluralis berinteraksi dengan aneka ragam agama, ia tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati agama lain, namun ia juga dituntut untuk mempertahankan keyakinannya sendiri.
Pluralisme agama akan mengantarkan seorang penganut agama memiliki rasa kebersamaan terhadap umat beragama lain, karena ia tidak hidup sendirian melainkan berdampingan dengan umat beragama lain juga. Pluralisme berarti fragmentasi bahasa, agama, atau batasan-batasan lain. Menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi berbagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, pada level formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.

MUHAMAD SAFII GOZALI

BAB II

PLURALISME AGAMA DAN DEMOKRASI



A. Akar Sejarah Pluralisme Agama
Wacana pluralisme ini telah merubah realitas keberagaman agama-agama serta mempengaruhi teologi yang ada pada tiap agama-agama untuk dirubah. Contoh kasus adalah ungkapan Azyumardi Azra mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari berbagai macam bentuk dan Islam itu bukan satu tetapi Islam adalah banyak macam dan alirannya.
Oleh karenanya, perdebatan pluralisme agama ini menjadi salah satu diskursus yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda NU dan Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing masing.
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme agama muncul pada masa pencerahan (enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pluralisme agama dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain dipengaruhi oleh tuntutan akan kebenaran mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor sosio-politis dan faktor ilmiah.
Apabila dirunut kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang ajaran agama. Kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat.
Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama, pluralisme agama adalah respon teologis terhadap political pluralism (liberalisasi politik) yang telah cukup lama digulirkan sebagai wacana oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikkan oleh Amerika Serikat. Kecenderungan umum dunia Barat pada waktu itu telah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka relegious pluralism pada hakikatnya adalah gerakan politik par excellen dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama "by virtue of being human", tidak ada ras, suku bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.
Menurut Harry Truman Simanjuntak, pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini sudah muncul sejak kehadiran manusia purba di Nusantara. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak prasejarah itu telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia. Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan sebuah keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tidak terbantahkan.
Latar belakang terjadinya pluralisme dan multikulturalisme di Nusantara, yang merupakan sejarah panjang terbentuknya keindonesiaan, ia gambarkan secara detail lewat berbagai “persentuhan” budaya pada masa prasejarah. Temuan-temuan fosil dari lapisan plestosen bawah di Sangiran, misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitupun jenis dan bahan peralatan yang digunakan.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan.
Kompleksitas masyarakat juga tampak di bidang sosial. “Salah satu keragaman budaya yang paling menonjol pada bahasa, yang merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal, Austronesia. Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar budaya bangsa Indonesia,” paparnya. Kompleksitas kehidupan dan interaksi masyarakat dengan “dunia luar” telah pula ikut menciptakan kompleksitas budaya.“Kalau sekarang muncul eksklusivisme kelompok yang kian menonjol, dimana rasa persaudaraan dan semangat kebersamaan semakin hilang, dan konflik-konflik sosial yang menafikan kemajemukan muncul di berbagai tempat, semua itu terjadi karena sebagai bangsa kita kurang memahami fondasi keindonesiaan,” paparnya.
Isu pluralitas agama dan budaya merupakan salah satu dari dua isu aktual yang tengah dihadapi era global ini oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama guna menyongsong masa depannya disamping isu konsumerisme-materialisme yang menepikan aspek spiritualitas manusia.
Dalam wilayah teologi di luar Islam sudah terjadi sejak awal abad 20, oleh teolog-teolog dari gereja reformasi dan aliran teologi pembebasan, yaitu teologi pluralis, khususnya dalam kerangka menghargai kehadiran dan eksistensi agam lain. Teologi ini dimulai ketika Konsili Vatikan II, teolog Katholik mengubah paham teologinya dari “tidak ada keselamatan di luar gereja menjadi keselamatan ada dimana-mana”.
Pluralisme berasal dari bahasa Latin pluralis (jamak). Pluralisme dicirikan oleh keyakinan-keyakinan seperti berikut ini;
1. Realitas fundamental bersifat jamak; berbeda dengan dualism (yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada 2) dan monism yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu);
2. Ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir, dan pada dirinya independen;
3. Alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk. Tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.
Dalam Kamus Filsafat diterangkan juga beberapa pandangan filsuf tentang pluralisme keterkaitannya dengan monisme.
1. Realitas tidak tersusun satu substansi yang unik atau salah satu dari jenis substansi;
2. Realitas dapat dipecahkan kedalam sejumlah lingkungan yang berbeda yang sama sekali tidak dapat direduksikan kepada suatu kesatuan. Gagasan ini dapat dilihat dalam bidang ontologi saat eksistensi disimpulkan dari banyak prinsip mutlak, atau dalam bidang etika saat nilai sama sekali terpisahkan dari eksistensi (misalnya dalam filsafat Nilai Neo-Kantian);
Seseorang juga dapat bicara tentang pluralisme sebagai,
a. Dalam bidang sosial, yaitu sejauh masyarakat dipandang sebagai tersusun dari pelbagai ragam kelompok yang relatif independen dari organisasi yang mewakili bidang-bidang dan pekerjaan yang berbeda-beda. Alasan untuk ini ialah bahwa semua nilai yang sungguh-sungguh manusiawi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan masyarakat. Bertentangan dengan ini adalah monism totaliter yang hanya mengenal negara sebagai sumber dari semua kekuasaan untuk mengatur masyarakat.
Masyarakat modern cenderung kearah,
b. Pluralisme ekstrim. Paham ini menyatakan bahwa semua kehidupan sosial hendaknya diatur semata-mata menurut sudut-sudut pandangan dari kelompok-kelompok individualistik. Dalam situasi ini, dalil atau pembelaan khusus dari kelompok-kelompok tertentu dapat menjadi ancaman yang menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa (anarki) atau membiarkan otoritas sipil menjadi barang mainan. Ini dapat dengan mudah menjurus kepada penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas (diktator mayoritas).
Berkaitan dengan pluralisme sosiologis adalah,
c. Pluralisme filosofis, disini orang-orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Secara mendasar, berkaitan dengan prinsip-prinsip pertama khususnya berkaitan dengan agama dan makna terdalam dari kehidupan manusia. Situasi dapat menimbulkan konflik-konflik yang mendalam, khususnya dalam bidang-bidang dimana suatu sistem nilai yang umum harus diandaikan supaya sampai pada tindakan sosial dan politik yang umum dalam suatu masyarakat tertentu. Konflik seperti itu hanya dapat diatasi dengan mengakui bahwa kita semua memiliki sesuatu secara umum melalui pemilihan martabat manusia yang sama;
Tipe lain adalah,
d. Pluralisme yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan yang menganggap semua keyakinan filosofis dan religious dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.
Persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bukan hal baru dalam sejarah agama-agama , semakin menegaskan dirinya sebagai persoalan urgen dan sublim bagi umat beragama ketika manusia dihadapkan pada suatu masa yang disebut dengan zaman pasca modern. Membicarakan kemajemukan (baca: pluralisme agama), meminjam istilah Amin Abdullah, ibarat “put a new wine in the old bottle”. Botolnya tetap itu juga, dalam arti bahwa kemajemukan adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada. Hanya saja cara membuat minuman anggur akan bisa terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan cara pembuatan minuman yang ada.
M. Rasjidi mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara obyektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Ia secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (obyek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang Al-Qur′an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang Al-Qur′an tetapi juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel memuat/ mengandung Kalam Tuhan.

M SAFII GOZALI: SKRIPSI FAK HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana negara-negara lain di dunia, negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara demokrasi. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan rakyat (as-siyasah lil ummah). Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih sering kita temui perilaku yang tidak demokratis, misalnya berupa tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai perbedaan dan kemajemukan etnis, budaya dan agama serta kepercayaan-keyakinan umat yang satu dengan yang lain. Sikap dan perilaku tidak demokratis tersebut tidak hanya dilakukan oleh sebagian pejabat atau pemerintah saja, tetapi bahkan oleh sebagian ormas Islam yang mengklaim dirinya sebagai penganut Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين قل إنما يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فهل أنتم مسلمون
Akan tetapi terkadang, pihak-pihak yang gemar mengusung dan menggaung-gaungkan Islam ini ternyata realitasnya cenderung menafikan sifat dasar Islam yang penuh kasih dan sayang ini. Termasuk dalam meyakini prinsip musyawarah (al-syura/ dialog keterbukaan), persamaan derajat (al-musawa/ equality), keadilan (al-‘adalah/ justice), dan kebebasan (al-hurriyah/ freedom) sebagai pilar demokrasi yang selaras dengan Islam. Ternyata, mereka masih setengah-setengah.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sistem demokrasi dipandang sebagai pilihan terbaik bahkan ideal oleh sebagian besar bahkan hampir semua negara di belahan dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan hampir bersamaan dengan berakhirnya peristiwa tersebut juga menyatakan diri sebagai negara demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat. Maksudnya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Oleh karena itu, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) harus berada di tangan rakyat. Dalam pelaksanaannya rakyat akan mewakilkan kepada wakil-wakil rakyat, yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Para wakil rakyat itu mempunyai kewajiban untuk menyalurkan keinginan atau aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan hendaknya dilaksanakan sesuai dengan aspirasi rakyat.
Hal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang penggalan alinea keempat, “...disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” Pada konferensi International Commission of Jurists (organisasi internasional para ahli hukum) di Bangkok, Thailand tahun 1965 dinyatakan bahwa syarat-syarat suatu negara dan pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah adanya:
1. Perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara
2. Badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan umum yang bebas
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Pluralisme agama yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Sehingga diharapkan seluruh pemeluk agama bersifat inklusif (terbuka) terhadap pemeluk agama lain, sebab tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.
Sedangkan, term pluralisme tidak hanya menoleransi adanya keragaman etnis, budaya, ras dan agama, tetapi juga dengan rendah hati dan bijaksana mengakui kebenaran masing-masing pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran absolut dalam agamanya sendiri, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Maka pluralisme dijadikan sebagai bentuk konkret dalam menjalankan kerukunan beragama.
Dalam fatwa MUI Juli 2005 ditegaskan bahwa pluralisme itu haram jika pluralisme dimaknai; pertama,menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini, bagi MUI, tidak benar menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam sendiri, yang benar adalah islam yang salah. Oleh karena itu pemahaman pluralisme yang menganggap semua agama benar adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam; dan kedua, teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam ini termasuk sinkretisme.
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada beragam isu penting. Salah satu diantaranya adalah pluralisme agama (religious pluralism). Apalagi setiap penganut agama hidup dalam era globalisasi, sebuah era yang menjadikan dunia ini sebuah desa global (global village). Kini, seharusnya, kehadiran agama-agama bukan dijadikan sebagai sumber masalah (problem maker), akan tetapi sebagai pemberi solusi (problem solver) atas masalah-masalah sosial yang muncul.
Para pemuka agama harus duduk dalam satu meja mendialogkan berbagai agenda kemanusiaan yang sedang dihadapi untuk mencari jalan keluar dari berbagai agenda tersebut. Memahami arti pentingnya eksistensi agama-agama lain merupakan bangunan filosofis yang amat penting sebelum berbagai agenda kemanusiaan didialogkan dan agar toleran kepada sesama. Hal itu bahkan mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti, to be religious is to be interreligious.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, kebhinnekaan (keragaman umat manusia) sudah terbentuk secara alamiah. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, terbentuknya madzhab-mazhab fiqih, seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafii, dan madzhab Hanbal merupakan kenyataan sejarah diakuinya pluralisme dalam hukum.
“Pada sisi lain, fenomena kemenangan gerakan Islam (Islamic movement) di pentas politik kerap menjadi sorotan para pengamat Barat dan pengamat muslim sekuler. Salah satu alasan yang sengaja mereka hembuskan adalah bahwa gerakan Islam mempunyai hidden agenda yaitu mendirikan Negara Islam yang berlandaskan ideologi Islam. Sehingga meskipun kemenangan gerakan Islam lewat proses demokrasi kerap kali tudingan itu tertuju kepada gerakan Islam sehingga dikalangan para pengamat Barat, sebagaimana dikutip oleh John L. Esposito ada kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya hijack democracy (pembajakan demokrasi) oleh gerakan Islam yang tampil di kancah politik”.

Bahwa, Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat non-muslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.
Agama merupakan salah satu diskursus yang sangat sensitif. Klaim-klaim kebenaran (claim of truth), bahwa agamanyalah yang mutlak benar dan klaim penyelamatan (claim of salvation), bahwa jalan ke surga hanya ada pada agamanya saja, sementara pada agama lain adalah jembatan-jembatan menuju neraka.
Sejalan dengan kondisi diatas, Karen Amstrong berpendapat:
“...Di tengah kondisi seperti ini, banyak pemeluk agama tertentu (yang berpaham eksklusif tadi), memonopoli klaim kebenaran dan keselamatan (claim of truth and salvation). Jika kita melihat dari segi sosiologisnya, klaim kebenaran dan keselamatan agama itu hanyalah memicu terjadinya konflik sosial-politik, yang berujung – dengan meminjam istilah Karen Amrstrong – melakukan pertempuran agung untuk membela dasar-dasar agama”.

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.
Siapa pun tidak dapat mengingkari bahwa masyarakat Indonesia dari semenanjung Aceh hingga Irian Jaya dengan jumlah pulau sekitar 13.000 buah merupakan masyarakat yang multikultural. Apabila dilihat dari sukunya, maka penduduk Indonesia dihuni oleh mayoritas suku Jawa, kemudian Sunda, Madura, kemudian disusul suku-suku kecil lainnya seperti suku yang mendiami di Bali, Lombok, Dayak di Kalimantan, serta suku-suku di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Masing-masing daerah dan suku tersebut memiliki kebudayaan, keyakinan, dan tentunya karakteristik ritual agama yang berbeda-beda. Walaupun sama-sama menganut Islam, akan tetapi antara Islam Jawa dengan Islam di Kalimantan secara tradisi dan kebiasaan ritual yang membaur dengan budaya lokal menjadikan sedikit berbeda antara keduanya.
Suku-suku dan daerah-daerah bahkan memiliki karakteristik kepercayaan, keyakinan, dan keagamaan yang berbeda-beda. Pada masyarakat suku Jawa, Sunda, dan Madura lebih identik dengan Islam, masyarakat suku Bali identik dengan Hindu dan Budha, masyarakat Dayak, Manado, Kepulauan Maluku, Irian Jaya lebih identik dengan Kristen dan Katholik. Oleh karena itu sebagai salah satu negara kepulauan dengan keragaman dan kemajemukan suku, ras, budaya, warna kulit, dan agamanya maka tidak salah jika founding father’s ini melambangkan NKRI dengan “Bhineka Tunggal Ika”, yaitu meskipun berbeda-beda tetapi hakikatnya tetap satu jua dalam keragaman dan kemajemukan suku bangsa, budaya dan agama.
Sudah menjadi keputusan final para pendiri bangsa NKRI bahwa Pancasila merupakan pengikat persatuan dan kesatuan dalam keanekaragaman di Indonesia. Selama ini Pancasila memang menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini dalam tataran ideologi Agama. Melaluinya, kehidupan agama itu dapat dirajut di dalam harmoni yang cukup melegakan. Sebagai dasar negara, Pancasila telah meletakkan bagaimana seharusnya hubungan antara sesama masyarakat dalam perbedaan etnis, suku, ras, dan agama, keyakinan, dan antar golongan tersebut dapat disatukan dan dibina dalam keragaman dan kemajemukan. Dasar filosofi yang terkandung di dalam Pancasila tersebut memang telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa.
Bayangkan saja kehidupan sosial dalam keberagamaan di ndonesia yang mayoritas 80% pemeluk Islam, 15% Kristen-Katolik, dan sekitar lebih dari 5% Hindu-Budha dan Konghucu dari sejak kemerdekaan sampai saat ini hidup rukun, berdampingan dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya dalam tataran hubungan kemasyarakatan dan agama dalam satu kesatuan NKRI. Hal ini sangat logis karena antara pemeluk yang satu dengan pemeluk yang lain mempunyai keyakinan akidah yang berbeda jauh tetapi tetap dapat menjalin hubungan dengan harmonis.
Pemeluk Islam, sebagai penduduk mayoritas ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang multi agama, etnis dan ideologi, perlu menghayati ajaran Islam yang mendorong terciptanya saling pengertian diantara sesama pemeluk agama. Namun harmoni tersebut terkadang juga dibumbui dengan peristiwa yang tidak menguntungkan. Di tengah kehidupan ini masih saja terdapat kekhawatiran dan kecemburuan yang didasari oleh prasangka-prasangaka (prejudice) atas kegiatan masing-masing agama. Tengok saja pada akhir tahun 1990-an, terdapat berbagai kerusuhan agama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno, sedikitnya terdapat lebih dari 600 gereja dirusak dan juga serangan terhadap gereja-gereja di Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok dan daerah-daerah lainnya di Jawa.
Menurut Umar Surur, pengeboman terhadap gereja dan fasilitas-fasilitas keagamaan lainnya itu lebih banyak dipicu oleh faktor agama dan faktor ekonomi politik. Hingga tahun 2006, konflik agama masih terjadi di beebrapa bagian di Republik ini. Konflik Poso dan Ambon yang menyisakan derita diantara kedua kubu, juga masih menjadi tanda Tanya kapan kan usai.
Meskipun konflik bernuansa agama ini tidak bersifat murni agama, namun secara sepintas orang awam akan melihatnya sebagai konflik agama. Padahal kenyataannya adalah konflik kepentingan kaum yang beragama baik itu masalah ekonomi, sosial maupun politik. Hanya saja karena dianggap sebagai perang agama, maka akan mempengaruhi elemen lain untuk saling membela atas nama agama. Agama memang bisa menggerakkan konflik menjadi semakin keras.
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat berkaitan erat dengan penghargaannya atas pluralisme agama. Hal ini akan menjadi tolok ukur, apakah bangsa tersebut berhasil menegakkan nilai-nilai pluralis, seperti toleransi, kesetaraan dan kooperasi; atau hanya sekedar jargon saja. Penegakan pluralisme merupakan “suatu keharusan” yang tidak bisa dinafikan dengan alasan apapun. Mengabaikan nilai tersebut berarti mencederai demokrasi yang sedang di bangun.
Fenomena kekerasan terhadap pemeluk lain belakangan ini merupakan ciri dari kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme agama itu sendiri. Karena, artikulasi yang benar dari pluralisme bukan hanya membiarkan yang lain, the other, untuk hidup dengan caranya sendiri, tetapi juga bagaimana memahami dan menghargai keyakinan the other tersebut dalam bingkai kemanusiaan.
Ide pluralisme agama diharapkan membawa paham kesetaraan antar orang beriman kearah kerja sama diantara umat beragama (dan juga yang tidak beragama) untuk menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sebagainya. Sayangnya, kurangnya pemahaman terhadap pluralisme diperparah oleh orang-orang yang justru anti dengan pemahaman pluralisme itu sendiri, serta menuduh pluralisme agama sebagai bagian dari paham impor yang harus diwaspadai.
Pengaruh globalisasasi memberikan pola baru pada agama-agama, dari globalisasi muncul dua aliran yang salah satunya ingin merubah doktrin agama sesuai perubahan zaman (menerima globalisasi) dan satu aliran lagi ingin mempertahankan agama pada posisinya (menolak globalisasi), tetapi kedua-duanya mengorbankan akidah (teologi) dari masing-masing agama. kedua pola tersebut terbentuk pada gagasan pluralisme agama. Kemudian wacana Pluralisme agama yang bergulir di Indonesia tidak lepas dari peranan para cendekiawan dan sarjanawan.
Wacana pluralisme bagi kalangan Islam yang menganggap Islam sudah tidak boleh menerima budaya dan ilmu pengetahuan dari luar Islam, mengagetkan umat Islam dan umat agama lainnya. Padahal dari sejak kelahirannya bangsa ini (Indonesia) telah hidup bersama dengan keanekaragaman dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika saling bertoleransi antar umat beragama. Akan tetapi menurut kaum pluralis toleransi belum memberikan bukti nyata sehingga banyak pertikaian antar umat beragama disebabkan klaim kebenaran. Padahal kemunculan konflik antar umat beragama yang terjadi adalah disebabkan unsur sosial, politik dan ekonomi bukan masalah agama.
Menurut beberapa tokoh yang anti-pluralisme, alih-alih ingin mencari solusi pertikaian yang terjadi, kaum pluralis membawa wacana pluralisme agama dengan janji serta solusi yang bisa membawa kemaslahatan, tetapi ternyata kaum pluralis bukan membawa solusi penyelesaian pertikaian melainkan membawa paham pembenaran terhadap semua agama, dengan cara merubah teologi-teologi yang sudah ada.
Sebagai pemikir Muslim, kita hendaknya memperhatikan bahwa para sarjanawan Barat memandang agama sebagai obyek kajian keilmuan, serta dalam penelitiannya pun harus seobyektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan historis bukan secara normatif. Mereka belajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap tidak/ belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk mencapai kesempurnaannya.
Padahal, dalam Islam terdapat sesuatu yang pokok (usul) yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu' bisa berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya. Nah, oleh karena itu Islam sebagai agama yang sesuai dengan zaman dan tempat di mana Islam itu berkembang, maka prinsip tidak menggeneralisasikan Barat dengan semuanya negatif, sangat dibutuhkan agar cita-cita Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar mewujud.
Namun demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima. Khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat kolektivitas dan homogenitas yang tinggi. Nilai-nilai pluralistik bukan sesuatu yang given atau terberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan. Dengan kata lain, fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan orang yang hidup didalamnya memahami dan menghargai pluralisme. Oleh karena itu, penegakan pluralisme merupakan kewajiban mendasar bagi mereka yang peduli dengan demokrasi dan keberlangsungan hidup bangsa ini.
B. Hipotesis
Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif tentang pandangan dan perjuangannya menegakkan dan pembelaannya terhadap pluralisme agama bukanlah basi-basi intelektual saja. Mereka berdua di Indonesia bahkan di dunia internasional dikenal sebagai pejuang kemanusiaan demi tegaknya demokratisasi di Indonesia. Keduanya sangat intens dan konsisten memperjuangkan kehidupan yang harmonis, damai dan saling memberi-menerima antar umat beragama dengan argumen yang kokoh (dengan pemahaman Islam universal-rahmatan lil ‘alamin-kemanusiaan dan keutuhan sebuah bangsa).
Mereka berdua berpijak pada pilar-pilar dan karakteristik tegaknya demokrasi di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Bagi mereka, Pancasila adalah ideologi final karena sangat menghargai keberagaman dan kemajemukan. Keduanya membela prinsip-prinsip pluralisme agama dengan pemahaman Islam, NKRI, Pancasila dan kemanusiaan dalamkehidupan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, pluralisme agama menjadi salah satu pilar tercapainya demokratisasi di Indonesia.
Keduanya juga dengan rela mencurahkan seluruh pikiran, tenaga dan waktunya untuk memperjuangkan penghargaan pluralisme agama dalam demokratisasi di Indonesia. Terutama pembelaannya kepada kaum lemah, tertindas, dan minoritas. Jika pluralisme agama tidak ditegakkan, maka demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah tercapai. Pluralisme agama merupakan satu bangunan dari beberapa bangunan yang membentuk demokrasi Pancasila.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini yaitu :
1. Latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif mengenai pluralisme agama dan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana perjuangan Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif dalam menegakkan pluralisme dalam kehidupan demokrasi di Indonesia?
3. Apa relevansi pluralisme agama terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia?
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dari pokok masalah yang disebutkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan latar belakang pandangan dan perjuangan dari kedua tokoh mengenai pluralisme agama di Indonesia.
b. Untuk menjelaskan segi persamaan maupun perbedaan dari pandangan kedua tokoh tentang relevansinya pluralisme agama dalam demokratisasi di Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
a. Menambah khasanah keilmuan Islam bagi para pembaca terutama mengenai pluralisme agama di Indonesia.
b. Menjadi salah satu rujukan dalam diskursus relevansinya kerukunan antar umat beragama dalam demokratisasi di Indonesia menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
E. Studi Kepustakaan
Penelitian skripsi tentang pluralisme agama belum banyak dilakukan, karena memang topik debatable. Toh, para pengusung yang membela pluralisme mengatakan bahwa pluralisme merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan sejarah kehidupan umat manusia.
Topik pluralisme setidak-tidaknya sudah banyak yang menuliskan dalam bentuk buku. Akan tetapi yang menulis dalam bentuk hasil penelitian mendalam belum begitu banyak. Salah satunya adalah;
Pertama, Disertasi dari Anis Malik Thoha dengan judul,“Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis”. Disertasi ini secara garis besar memuat bantahan-bantahan terhadap nihilisme dan eksklusivisme paham pluralis agama (pluralisme agama). Menurutnya, pluralisme agama justru akan bersikap tertutup dan tidak universal sebagaimana pluralisme yang selama ini dipahami; Anis Malik Thoha menolak gagasan pluralisme agama, karena pluralisme agama akan menjadikan eksklusif Islam.
Kedua, Disertasi dari Abdul Moqsith Ghazali dengan judul, “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur′an”. Disertasi ini berbeda dengan disertasi Anis Malik Thoha. Abdul Moqsith Ghazali menerima gagasan pluralisme agama dengan menggali dalil-dalil Al-Qur′an, hadist, pendapat ijma’ para ulama klasik dan kontemporer tentang keniscayaan pluralisme beragama. Ia menjelaskan bahwa pluralisme agama sudah ada sejak zaman sebelum Islam ada. Oleh karenanya, pluralisme merupakan sebuah keharusan sejarah.
Terlepas dari debat filosofi pemikiran dan tindakannya, sebagaimana umum diketahui, jauh sebelum jadi presiden, Abdurrahman Wahid memang sering memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap ne¬gara. Perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan pemikirannya yang di luar kebiasaan umum selalu diposisikan sebagai “pesaing politik” dari negara. Menjadi tak heran, kalau ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia sepanjang Orde Baru. Begitu juga dengan Ahmad Syafii Maarif yang selalu kritis terhadap pemerintahan SBY saat ini.
Jika Presiden Soeharto dengan kalangan tentara dan birokrasi, pada saat itu, dianggap sayap negara (the state), maka Abdurrahman Wahid dengan NU dan kalangan pro-demokrasi adalah sayap masyarakat sipil (the civil society). Begitu juga dengan Ahmad Syafii Maarif yang tetap konsisten dengan keteguhan perjuangannya membela kaum minoritas yang terpinggirkan oleh kelompok Islam sendiri. Negara dan civil society selalu berhadapan dan bersitegang akibat proses demokratisasi yang selalu membentur benteng otoritarianisme-birokrasi raksasa politik Orde Baru. Juga tak aneh kemudian, bila komentar-komentarnya dan gerakannya selalu menghiasi halaman-halaman media massa sebanding lurus dengan penampilan negara yang kian hegemonik.
Demikian juga keberaniannya menentang arus utama negara dan dalam hal-hal tertentu juga arus masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan dan pikirannya, serta kesetiaannya pada Islam dan nilai-nilai kebangsaan, menjadikannya sebagai tokoh yang populer dan disegani sekaligus dimusuhi dan dicaci-maki sepanjang hidupnya.
Menurut studi yang dilakukan Suaidi Asy’ari, bahwa dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, partisipasi NU dan Muhammadiyah yang berkesinambungan sebagai organisasi perantara sangatlah penting dalam mendukung proses demokratisasi di Indonesia. Ia menyimpulkan bahwa, (mungkin juga) sebagaimana peneliti-peneliti maupun pengamat-pengamat sebelumnya, bahwa berkenaan dengan NU dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia, NU yang berbasiskan ijma’ tidak murni oportunistik atau tak berprinsip, tetapi hal itu merupakan sebuah pengejawantahan pemahaman NU mengenai perannya dalam politik Indonesia, yang dibentuk oleh sifat pluralistik negeri Indonesia. Kesiapan NU untuk berbagi, bergabung, dan mendukung para politisi dan pemimpin selain (diluar) NU menunjukkan sebuah kesadaran politik yang sangat dibutuhkan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sisi lain, Muhammadiyah dengan basis ijtihad politiknya menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya organisasi sosial, melainkan juga sebuah kekuatan politik yang kuat, yang menjadi keharusan bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Kajian ini berangkat dari wacana pluralisme dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan berdemokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Bahkan, keduanya oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sebagai pejuang nilai-nilai universalisme Islam, pejuang kemanusiaan dalam konteks pluralisme agama di Indonesia.
Penelitian dengan tema relevansi pluralisme agama terhadap demokratisasi di Indonesia belum banyak dikaji. Bahkan mungkin belum pernah dikaji dalam level skripsi. Oleh karena itu peneliti merasa sangat tertantang dan tertarik untuk meneliti pemikiran dari Abdurrahman Wahid (dari kalangan NU) dan Ahmad Syafii Maarif (dari kalangan Muhammadiyah) tentang sikap dan perjuangannya dalam membela pluralisme agama di Indonesia.
Karena itu pendapat keduanya (Ahmad Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid) tentang keindonesiaan, demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan kemanusiaan terkadang menuai kritik pedas. Resiko inilah yang harus ditanggung oleh mantan PP Muhammadiyah dan mantan PBNU. Muhammadiyah merupakan tenda bagi kaum puritanis yang cenderung tidak toleran dengan pandangan keagamaan yang tidak ortodoks. Sedangkan NU dianggap sebagai ormas tradisionalis-tekstualis. Akan tetapi pada sisi praksis-praktisnya tetap fleksibel.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian disertasi diatas. Disertasi diatas lebih memfokuskan pada kajian teks-teks secara umum, bukan pemikiran-aksi salah satu tokoh dan hanya terkait tema pluralisme agama saja. Sedangkan, pada penelitian ini, peneliti lebih cenderung kepada penelitian tokoh. Terkait dengan perjuangan pluralisme agama dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia.
F. Kerangka Teoritik
Berbagai kajian tentang pluralisme di Indonesia mendasarkan dirinya pada pemahaman teks (nas Al-Qur′an).
Beberapa tokoh dunia Muslim sudah mencoba mengelaborasi perspektif pluralisme keagamaan ini antara lain seperti Ismail Raji al-Faruqi, M. Mahmoud Ayoub, Seyyed Hossein Nasr, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, Hasan Askari, Mohamed Arkoun, Mohamed Talbi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya. Di Indonesia, kita bisa menyebut diantaranya Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Syafii Maarif, Kautsar Azhari Noor, Zainun Kamal, Musdah Mulia, M. Syafii Anwar, Amin Abdullah. Sampai pemikir muda lainnya, seperti Ulil Abshar Abdala, Abdul Moqsith Ghazali, dan Zuhairi Misrawi.
Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan, yaitu;
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Al-Qur′an.
Misalnya, QS. ali-Imran [3]:[85];

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين



QS. ali-Imran [3]:[19];

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

QS. al-Maidah [5]:[3];

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
QS. an-Nisa [4]:[144];

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله عليكم سلطانا مبينا
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasional bukan yang substansial esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini.
Misalnya, QS. al-Kafirun [109]:[6];

لكم دينكم ولي دين
QS. al-Baqarah [2]:[256];

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم

QS. al-Maidah [5]:[69];

إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابؤون والنصارى من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Dan QS. al-An'am [6]:[108]

ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم كذلك زينا لكل أمة عملهم ثم إلى ربهم مرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون
Kajian ini berangkat dari wacana pluralisme dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan berdemokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Bahkan, keduanya oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sebagai pejuang nilai-nilai universalisme Islam, pejuang kemanusiaan dalam konteks pluralisme agama dalam rangka menegakkan demokrasi di Indonesia.
G. Metode Penelitian
Sebagai salah satu sarana memudahkan penyusunan skripsi ini, maka disusunlah metode penelitian sebagai panduan yang akan mengarahkan jalannya penelitian ini. Cara ini juga dalam rangka usaha mencari data yang lebih mendalam serta untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka dan literatur lainnya sebagai sumber data utama, sehingga lebih disebut sebagai penelitian dokumenter (documentary research). Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis-faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang tokoh.

2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis-eksplanatoris. Penelitian ini akan berusaha memaparkan bangunan pemikiran pluralism dalam madzhab Sunni secara umum sebelum akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti, yakni pemikiran pluralisme agama dan demokrasi menurut Abdurrahman Wahid (kalangan tradisonalis – NU) dan Ahmad Syafii Maarif (kalangan modernis – Muhahammadiyah). Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi tentang substansi kedua tokoh ini dengan membangun beberapa korelasi yang dianggap signifikan. Pada akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik pemikiran pluralisme Sunni secara umum sebelum membahas secara detail dalam diskusi pemikiran kedua tokoh tersebut.
3. Pengumpulan Data
Studi ini merupakan penelitian literartur (library research). Oleh karenanya pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menelusuri dan me-recover buku-buku dan tulisan-tulisan yang disusun oleh Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Dalam hal ini sebagai sumber primer, serta sebagai sumber sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan orang lain tentang kedua tokoh tersebut.
4. Analisis Data
Data-data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis deduktif dan komparatif. Menggunakan metode induktif yaitu menganalisis dan memaparkan data-data yang bersifat khusus, kemudian menderivekasikannya dalam bentuk umum.
Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat khusus untuk membentuk suatu generalisasi. Dalam konteks ini, akan dianalisis kerangka umum pemikiran pluralisme Sunni dan paradigma pemikiran pluralisme dan demokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif kemudian mendeduksikannya dengan pendekatan normatif menjadi suatu kesimpulan yang legitimate di mata fiqih.
Metode komparatif yaitu menganalisis data yang ada dengan cara membandingkan antara dua yang satu dengan yang lain, kemudian dicari letak persamaan dan perbedaannnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Metode ini menjelaskan hubungan atau relasi dari dua fenomena atau sistem pemikiran. Dalam komparasi, sifat-sifat hakiki dari obyek penelitian dapat menjadi lebih jelas dan tajam. Perbandingan ini akan menentukan secara tegas persamaan dan perbedaan sehingga hakikat obyek dipahami dengan semakin murni. Dengan demikian akan terlihat secara lebih utuh dan proporsional karakter pemikiran pluralisme dalam demokratisasi yang dibangun oleh Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
5. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan sosio-historis. Pendekatan sosiohistoris, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui latar belakang sosio cultural seorang tokoh, karena pemikiran seorang tokoh merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya itu. Metode sosio-historis dimaksudkan sebagai suatu metode pemahaman terhadap suatu pendapat dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, dan lingkungan di mana dan oleh siapa pendapat tersebut muncul.
H. Sistematika Pembahasan
Agar dapat menjadi deskripsi secara umum dan mempermudah pembahasan skripsi ini, secara runtutdapat dirumuskan dalam enam bab, yang secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :
Bab pertama, pendahuluan, sekaligus sebagai pedoman yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini, pada bab ini juga dikemukakan beberapa sub bahasan antara lain; latar belakang masalah, hipotesis, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, tinjauan umum diskurus pluralisme agama dan demokrasi di Indonesia. Hal ini dilakukan karena penelitian ini sendiri mengenai pluralisme agama di Indonesia berkembang berbagai wacana, baik yang pro maupun yang kontra. Oleh karenanya dirasa perlu menjelaskan pengertian pluralisme agama dan demokrasi Pancasila secara singkat, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme agama di Indonesia.
Kemudian pada bab selanjutnya, bab ketiga, menjelaskan tentang tokoh Abdurrahman Wahid yang menjadi salah satu obyek kajian. Bab ini terbagi dalam tiga sub bab di mana pembahasan ini meliputi latar belakang sosial dan intelektual, pandangan Abdurrahman Wahid mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia, pandangan tentang pluralisme agama dan demokratisasi di Indonesia, dan dasar-dasar pemikirannya. Berpijak dari hal ini, dapat terbaca pola pemikiran Abdurrahman Wahid tersebut tentang pandangan dan perjuangan pluralisme agama dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.
Kemudian pada bab selanjutnya, bab keempat, menjelaskan tentang tokoh Ahmad Syafii Maarifyang menjadi salah satu obyek kajian pada sisi lain. Bab ini terbagi dalam tiga sub bab di mana pembahasan ini meliputi latar belakang sosial dan intelektual, pandangan Ahmad Syafii Maarif mengenai visi Islam dan pluralisme agama terkait hubungan agama dan negara di Indonesia, pandangan tentang pluralisme agama dan demokratisasi di Indonesia. Berpijak dari hal ini, dapat terbaca pola pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut tentang pandangan dan perjuangan pluralisme agama dalam rangka demokratisasi di Indonesia.
Bab kelima, analisis perbandingan pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif tentang paradigma pemikiran,pandangan dan perjuangan terhadap pluralisme agama di Indonesia. Yang terdiri dari analisis latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif, agama versus negara, dan pluralisme dan demokratisasi di Indonesia.
Bab keenam, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan sebagai jawaban atas pokok masalah, disertai juga dengan saran-saran bila memang diperlukan dan keterbatasan penelitian ini.