Selasa, 22 Maret 2011

KEPRIBADIAN MANUSIA MENURUT FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI (2)


BAB II
SETTING DAN OBJEK PENELITIAN

A.    Setting Penelitian
Dunia ilmu pengetahuan kontemporer mengalami perubahan-perubahan yang berarti. Pada abad XVI hingga abad XIX sebagaimana digambarkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi (1995) dalam buku Tauhid, para ilmuwan kontemporer mengambil sikap menjaga jarak terhadap agama bahkan meninggalkan agama. Antara ilmuwan dan agamawan bersikap saling berhadapan. Antara ilmu dan agama terpisah, yang pada gilirannya menghasilkan ilmu atau sains yang sekuler. Sikap ini ternyata tidak hanya menjadi sikap ilmuwan Barat yang non-Muslim pada umumnya, tapi juga yang Muslim
Sikap tersebut pada saat ini mulai menunjukkan perubahan. Salah satu perubahan yang paling berarti adalah mulai munculnya sikap yang positif terhadap masuknya al-Qur’an dan al-Hadis. Paul Feyerabend dalam buku The Against Method adalah contoh ilmuwan Barat yang menyuarakan masuknya kitab suci sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sikap ini pada dasarnya menggambarkan harapan akan adanya integrasi dan interkoneksi antara sains moderen yang (sudah terlanjur) sekularistik dengan kitab suci. Sikap ini mulai menguat sejak adanya digulirkannya isu islamisasi ilmu oleh Ismail Raji al-Faruqi (1982) dan Syed Muhammad Naquib al-Attas (1989) yang masing-masing menulis buku The Islamization of Knowledge dan Islam and the Philosophy of Science. Mereka dengan caranya sendiri-sendiri mencoba mempopulerkan gagasan integrasi dan interkoneksi itu. Lebih jauh dari itu, sebagaimana yang digagas oleh Syed Vali Reza Nasr (Nashori, 2002) yang mengharapkan adanya islamisasi disiplin-disiplin ilmu, berkembanglah sains terutama ilmu-ilmu sosial humaniora yang bersifat integratif-interkonektif sehingga berkembanglah wacana islamic psychology, islamic economics, islamic anthropology, islamic sociology, dan sebagainya. Apa yang berkembang ini menunjukkan menguatnya sikap yang positif terhadap gagasan ilmu yang integratif-interkonektif.
Apa yang digambarkan di atas adalah perubahan sikap terhadap wacana Menarik untuk mencermati, apakah ilmuwan musperguruan tinggi Muslim yang memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan keilmuan integratif interkonektif juga memiliki yang positif? Jawabnya adalah belum tentu. Hanna Djumhana Bastaman (2005) dalam buku Integrasi Psikologi dengan Islam menggambarkan bahwa ada lima sikap yang mungkin ditunjukkan oleh ilmuwan Muslim, dalam hal ini adalah pengajar yang berasal dari perguruan tinggi Islam.
Sikap pertama adalah proaktif. Istilah yang digunakan Bastaman adalah sikap idealistik. Mereka bersikap positif terhadap gagasan dan upaya Islamisasi sains pada umumnya dan pendekatan pembelajaran keilmuwan integratif-interkonektif. Mereka mencoba menyempurnakan ilmu yang dipelajarinya dengan melandasinya dengan nilai-nilai Islami. Dalam konteks pendekatan pembelajaran keilmuwan integratif-interkonektif, mereka melakukannya dengan berbagai macam cara di antaranya adalah memilih mengelompokkan ayat-ayat suci berkaitan dengan topik yang hendak diajarkannya, melakukan telaah kepustakaan yang membahas keterkaitan agama dengan disiplin ilmu tertentu yang menjadi tanggung jawabnya, berdiskusi dengan ilmuwan dan agamawan yang sama-sama berminat pada wacana integrasi-interkoneksi, melakukan telaah kritis terhadap berbagai asas atau asumsi keilmuan yang berkembang, memasukkan nilai-nilai Islami dalam perkuliahan, mempublikasikan hasil-hasil pemikirannya.
Menurut Mujib, dalam Psikologi Islam manusia terstruktur dari jasmani dan ruhani. Ruh bukan hanya sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tapi satu jauhar (substance) yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani. Sinergi antara jasmani dan ruhani menjadikan nafsani yang tumbuh sejak usia empat bulan dalam alam kandungan. Struktur nafsani ini terbagi atas tiga bagian yaitu kalbu, akal dan nafsu. Integrasi ketiga jenis nafsani ini menimbulkan apa yang disebut dengan kepribadian (Mujib, 2006).
Di samping sikap yang proaktif di atas, ternyata masih ada empat sikap lain yang cenderung negatif, yaitu apatik, fanatik, sekularistik dan antagonistik (Bastaman, 2005). Sikap apatik ditunjukkan oleh pengajar perguruan tinggi Islam yang bersikap acuh tak acuh dan tak ada minat membicarakan agama dengan disiplin ilmu umum atau hal-hal yang empiris. Sikap fanatik ditunjukkan oleh pendapat bahwa agama telah mencukupi segala-galanya dalam kehidupan manusia. Sains pada dasarnya sudah tercakup dalam agama. Gagasan ilmu yang integratif-interkonektif dengan demikian tak perlu dilakukan. Sikap sekularistik ditunjukkan dengan menganggap tak ada hubungan antara sains dan agama, sehingga keduanya harus dipisah dan dibedakan. Sikap antagonistik ditunjukkan oleh sikap menerima dan mengamalkan apa yang ada dalam ilmu dan dalam agama sekalipun keduanya bertentangan.
Proses integrasi-interkoneksi dilakukan oleh ilmuwan yang memiliki sikap idealis melalui serangkaian metode. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Hanna Djumhana Bastaman (2005) dan Fuad Nashori (2005). Pola pertama hingga ketiga diterangkan oleh Nashori sementara pola kelima hingga kesembilan diterangkan oleh Bastaman. Keduanya menerangkan pola keempat. Penjelasan atas pola-pola tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pola objektivikasi, yaitu proses mentransformasikan pandangan-pandangan yang normatif menjadi pandangan yang objektif atau menjadi teori yang terukur. Jika al-Qur’an dan al-Sunnah yang normatif itu hendak dijadikan teori, maka perlu mengalami proses transformasi. Misalkan, teori tentang tafakkur (Malik B. Badri, 1988), kelapangdadaan (Nashori, 2005), mimpi yang benar atau al-ru’ya al-shadiqah (Nashori, 2002), dan sebagainya.
Kedua, pola rekonstruksi teori, yaitu membangun teori baru berdasarkan cara pandang Islam yang diturunkan dari ajaran al-Qur’an, al-Sunnah dan khazanah pemikiran dalam Islam. Pandangan atau temuan psikologi Barat tetap dibutuhkan, selama sesuai, untuk memperluas bahan dan penafsiran, bukan sebagai grand theory-nya. Misalkan, jenis-jenis mimpi yang meliputi mimpi psiko-fisik (jismiyah), mimpi psikologis (nafsaniyah), dan mimpi psiko-spiritual (ruhaniyah).
Ketiga, pola kritik teori, yaitu menggunakan cara pandang islam (Islamic thought) melakukan kritik terhadap teori-teori yang berkembang dalam psikologi konvensional. Misalkan, melakukan kritik terhadap konsep Tuhan menurut Freud (Nashori, 2002).
Keempat, pola similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari Islam, padahal belum tentu sama. Misalkan, menganggap sama antara al-ruh dengan spirit, al-nafs dengan soul, nafs al-muthmainnah dengan Superego, nafs al-lawwamah dengan Ego, dan nafs al-ammarah dengan Id (Rahardjo, 1996).
Kelima, pola paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang berasal dari Islam dengan konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasi, tanpa mengidentikkan keduanya. Misalkan,  menganggap paralel antara konsep fitrah dengan citra diri (self-image), ilham dengan inspirasi, dan fathanah dengan kecerdasan spiritual (Mujib, 2006).
Keenam, pola komplementasi, yaitu antara Islam dan sains saling mengisi, dan saling memperkuat, tetapi tetap mempertahankan eksistensinya masing-masing. Misalnya manfaat doa dan shalat secara kesehatan mental dijelaskan dengan metode katarsis dalam psikoterapi (Mujib, 2006).
Ketujuh, pola komparasi, yaitu membandingkan konsep atau teori sains dengan Islam mengenai agejala-gejala yang sama. Misalnya teori motivasi dan makna hidup dalam psikologi dibandingkan dengan motivasi dan makna hidup di dalam Islam (Mujib, 2005).
Kedelapan, pola induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dan teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah pemikiran metafisik atau gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip Islam. Misalnya keteraturan fungsi-fungsi psikologis pada diri manusia dihubungkan dengan sunnah Allah dan Maha rabb-Nya (Mujib, 2006).
Kesembilan, pola verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ajaran Islam. Misalnya penemuan pola-pola gelombang otak pada tipe gamma dengan laju 40 Hz dapat menjelaskan fenomena wahyu yang diterima oleh Nabi Saw melalui mimpi, sebab pada tipe gelombang otak ini seseorang telah sadar penuh, baik dalam kondisi terjaga atau tidur yang disertai mimpi. Seorang muslim yang tidak percaya akan “kesadaran dalam tidur” berarti ia menolak sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diturunkan melalui mimpi.
Dalam penelitian ini metode integrasi dan interkoneksi yang dilakukan menggunakan komparasi.
B.    Objek Penelitian
 Dalam penelitian ini, konsep struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali dikomparasikan. Adapun objek yang hendak dikomparasikan adalah:
1.           Hakikat manusia menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali
2.           Struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali
3.           Fungsi dari unsur-unsur dalam struktur kepribadian  menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar