Minggu, 27 Februari 2011

ISLAM KULTURAL MENURUT GUS DUR

P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 1 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
Islam Kultural
(Telaah atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)
M. Misbah*)
*) Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.) dan menjadi dosen-tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Abstract: Plurality that exist in Indonesia have resulted acculturation and adaptation of religion's universal values with culture. This matter can generate many conflicts, so demanded religion's follower to make reinterpretation of their religious understanding so that would develop harmony in life and tolerance one another in a region or state. Abdurrahman Wahid's (Gus Dur) understanding to Islam as rahmatan lil ' alamin religion which have universal values, and supported by his education and environmental background where he live, make him having the cultural religious concept. Gus Dur has a notion that Islam shall come up in this plural life with friendly appearance, by applying Islam morally and socio-culturally without confrontative attitude. By this way, Islam can become social's ethics in nation's daily life and to bring Islam down to earth (indigenous). Islam should not come up as certain political form (formalization and symbolization of Islam). Keywords: Cultural Islam, Political Islam, Cultural Acculturation, Cultural diversity (cultural plurality).
Pendahuluan
Indonesia adalah negara-bangsa (nation-state) yang majemuk. Berbagai ras, suku, bahasa, kebudayaan, agama dan kepercayaan hidup di negeri ini. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas sekaligus harapan bangsa ini. Menurut Blaise Pascal seperti dikutip Harold Coward, pluralisme yang tidak diintegrasikan dalam bentuk kesatuan (unity) adalah kekacauan (chaos), sedangkan kesatuan yang tidak menjaga pluralitas adalah tirani (tyranny).1
Pertemuan berbagai agama khususnya, dan faktor-faktor lain —seperti budaya, kepercayaan— di bumi Indonesia ini menuntut para pemeluk agama memikirkan ulang pemahaman tentang agama masing-masing dan agama orang lain. Di samping itu, mereka juga harus memikirkan sistem pemerintahan yang dapat mengakomodasi pluralitas tersebut.
Slogan “Politik No, Ekonomi Yes!” pernah mencuat di pentas kehidupan politik Indonesia pada sawal Orde Baru. Di kalangan umat Islam slogan ini dipertegas lagi menjadi “Partai Politik Islam No, Islam Yes!”. Duapuluh lima tahun kemudian, secara formal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tetap memiliki basis dukungan dari umat Islam sampai sekarang. Selain itu, Islam secara formalitas (secara alternatif) bangkit dan semakin berkembang dengan munculnya ICMI pada awal tahun 1990-an. Secara politik hal ini mengindikasikan bahwa Islam (kaum muslimin) dapat berperan dalam kehidupan
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 2 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
kenegaraan di Indonesia dengan duduk atau menempati posisi-posisi kelembagaan, baik di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif.
Namun, warna Islam yang semakin politis ternyata juga mendapat tentangan dari kalangan umat Islam sendiri yang ingin tetap menampilkan diri di luar dunia perpolitikan. Kelompok ini lebih senang memerankan Islam secara “moral dan sosial-kultural”. Mereka tidak ingin mereduksi Islam ke dalam pelembagaan formal seperti pembentukan organisasi-organisasi Islam, penguasaan birokrat dan lain-lain.2
Abdurrahman Wahid menggunakan pendekatan antropologi kultural3 dalam menganalisis aspek-aspek lokal yang dapat ditampilkan dengan wajah yang ramah terhadap budaya lokal dan persoalan-persoalan keindonesiaan, khususnya problema pluralitas agama dan kepercayaan, yaitu dengan cara menerapkan metode ushul fiqh dan al-qawa’id al-fiqhiyah dalam memahami teks dan konteks.
Dalam memahami berbagai hal, pandangan-pandangan Abdurrahman Wahid ini banyak dibentuk oleh tradisi fiqh mazhab Syafi’i yang lebih toleran terhadap keragaman dibanding mazhab-mazhab lainnya, serta oleh ajaran tasawuf dan pemikiran sosial al-Ghazali.4
Dalam tulisan ini, penulis membahas padangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Islam kulturalnya, mengenai Islam dan negara Indonesia, serta Islam dan Keragaman Budaya.
Sekilas tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid –biasa dipanggil Gus Dur- lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, K.H. A. Wahid Hasyim Asy’ari adalah putra pendiri NU, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Ayahnya adalah mantan Menteri Agama RI pertama yang berperan aktif dalam Panitia Sembilan untuk merumuskan Piagam Jakarta.
Semenjak kecil, Gus Dur sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang pluralis. Karena hubungan keluarga dan aktivitas ayahnya, ia berinteraksi dengan berbagai kalangan dari latar-belakang yang berbeda-beda. Di antaranya para kiai NU dan politisi dari dalam dan luar negeri, termasuk kalangan non-muslim. Ia menyelesaikan Pendidikan Sekolah dasar di Jakarta tahun 1953. Dari tahun 1953 sampai tahun 1957, ia belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama).5 Ketika sekolah di Yogyakarta inilah, ia tinggal di rumah K.H. Junaid, seorang pemimpin modernis dan ulama Muhammadiyah yang menjabat sebagai anggota Majlis Tarjih. Dari tahun 1957 sampai 1959 ia belajar di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Dari tahun 1959 sampai tahun 1963 ia mengajar di Muallimat Bahrul Madrasah di pesantren Tambak Beras, Jombang, dan kemudian ia juga pindah dan belajar di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantrennya, Gus Dur berangkat ke Timur Tengah tepatnya ke Mesir untuk belajar di Universitas al-Azhar Kairo, dan kemudian pindah ke Baghdad.
Gus Dur belajar di al-Azhar dari tahun 1964 sampai 1966. Ia tidak puas belajar di al-Azhar karena menemukan sempitnya wawasan di sana. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 3 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
perpustakaan American University di Kairo, mengikuti berbagai seminar dan forum-forum diskusi. Ia juga banyak menonton sepak-bola dan film-film Perancis. Pada tahun 1966 ia pindah ke jurusan Sastra Arab pada fakultas Adab di Universitas Baghdad. Ia belajar di sana selama empat tahun.
Pada tahun 1971 ia pulang ke Indonesia dan aktif di dunia pesantren, serta menduduki berbagai jabatan di sejumlah pesantren. Ia menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang dari tahun 1972-1974. Tahun 1974-1980 ia menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Sejak tahun 1978 ia memimpin Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan sampai sekarang (Maret 2005). Pada tahun 1979 menjadi Katib Am syuriah NU. Pada Muktamar NU ke-27, Desember 1984,6 Gus Dur terpilih sebagai ketua umum Tanfiziyah. Kemudian ia terpilih lagi pada muktamar NU ke-28 (Desember 1989), dan Muktamar NU ke-29 (Desember 1994).7
Hubungannya dengan pemerintah Orde Baru sangat kompleks. Ia kadang-kadang terkesan dekat dengan pemerintah, tetapi di sisi lain ia seringkali jadi oposan. Hubungannya dengan kelompok-kelompok Islam di luar NU dan di dalam tubuh NU sendiri tidak terlalu mesra.
Di luar NU, Gus Dur menjabat ketua Kelompok Kerja (Pokja) Forum Demokrasi; menjadi salah satu Dewan Presidium WCRP (World Council of Religion and Peace); anggota Dewan Pembina dan Pendiri Pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon Perez Peace Centre) yang bermarkas di Tel Aviv, Israel; serta ia menjadi Penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law di Den Haag, Belanda.
Setelah tumbangnya rejim Orde Baru, Gus Dur bersama-sama Amien Rais, Megawati Soekarno Putri dan Sri Sultan Hamengkubuwono X (keempatnya terkenal sebagai kelompok Ciganjur) menyatakan sikap tekad mereka terhadap keharusan reformasi dan berbagai masalah menjelang Sidang Istimewa DPR/MPR.8 Pasca Orde Baru, sepak terjang Gus Dur tetap kontroversial. Ia mengunjungi (sowan) mantan Presiden Soeharto, ketika kebanyakan tokoh reformis, mahasiswa dan masyarakat Indonesia menuntut diadilinya mantan orang terkuat Indonesia itu. Ia juga membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk warga NU, dan terlibat mempromosikan partai itu. Ia dikecam oleh tokoh-tokoh NU lainnya yang kemudian mendirikan Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI), dan Partai Nahdhatul Umat (PNU).9
Setelah terjadinya proses reformasi di Indonesia , akhirnya pada tanggal 20 Oktober 1999 dengan dukungan dari aliansi partai yang menamakan diri “Poros Tengah”, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilantik menjadi Presiden RI yang ke-4. Gus Dur menduduki kursi kepresidenan RI hanya lebih kurang 1 tahun karena pada akhir tahun 2000 beliau diturunkan dari kursinya. Sekarang, dia menjabat sebagai ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa.
Islam Politik dan Tradisi
Salah satu persoalan mendasar yang ingin dipecahkan secara tuntas oleh para intelektual Sunni modern adalah menyangkut hubungan Islam dan Negara. Terdapat kesulitan besar dalam mencari
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 4 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
kaitan antara Islam dan negara bangsa atau wawasan kebangsaan sebab seakan-akan sifat Islam itu suprarasional. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal-usul etnisnya.10 Asumsi ini kemudian melahirkan semacam kewajiban bagi pemeluk Islam untuk mendirikan negara Islam. Ironisnya, negara Islam diteorisasikan sebagai negara Tuhan atau kerajaan Tuhan di muka bumi yang komponen-komponennya adalah umat Islam, hukum Islam (syari’ah), dan khalifah sebagai bayangan Tuhan di muka bumi.11
Di Indonesia, situasi hubungan antara Islam dan negara tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami kawasan dunia Islam lainnya. Untuk waktu yang agak lama, sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandegan politik (political stagnation) dalam hubungannya dengan negara. Islam Politik (political Islam) pernah dianggap sebagai pesaing (rival) kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Ketegangan ini baru bisa dikatakan relatif berhenti, setidaknya secara de jure, setelah semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada pertengahan tahun 1980-an.12
Gus Dur mencoba menetralisir ketegangan hubungan Islam dan negara dengan dua tawaran sekaligus; menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara, dan pribumisasi Islam. Dua tawaran ini antara yang satu dengan yang lain bersifat saling menunjang, yang mempunyai implikasi sosiologis-politis yang tidak terelakkan, yaitu menempatkan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.
Gagasan ini berangkat dari komitmennya yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam dan khazanah pemikiran Sunni tradisional sebagai sesuatu yang dianggapnya mempunyai kemampuan untuk membangun harmoni sosial, toleransi, serta membangun basis-basis kehidupan politik yang adil, egaliter dan demokratis. Gagasan yang lebih menitikberatkan kepada substansi daripada simbol atau bentuk formal negara ini sempat ditinggalkan oleh para tokoh Islam, terutama karena mereka terlalu disibukkan oleh polemik tentang bentuk formal negara dalam suasana konfrontasi penuh ketegangan dan sikap saling curiga sejak awal.13
Gus Dur nampaknya tidak a priori terhadap keharusan adanya struktur sosial, namun juga sangat berhati-hati dengan kemungkinan idealisasi struktur Islam. Gus Dur mengatakan bahwa dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai atau pola perilaku itu disebut al-akhlak al-karimah atau tata nilai moral yang mulia.14
Dari penjelasan di atas tergambarkan bahwa Islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika masyarakat bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, melainkan sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat agar sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia. Bentuk negara bangsa (nation state) yang dipakai, bukan bentuk kemasyarakatan yang lain semata-mata karena ia lebih efektif untuk
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 5 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
mencapai tujuan tersebut. Inilah yang dipandang sesuai dengan prinsip “tujuan dan cara pencapaiannya” (al-ghayah wa al-wasail).
Dengan prinsip tersebut akhirnya dilahirkan suatu terobosan pemikiran yang radikal dengan mengatakan bahwa organisasi politik Islam (sebagai simbol) itu tidaklah urgen karena justru akan mempersempit organisasi itu sendiri, yang pada akhirnya berimplikasi pada eksklusivitas Islam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari khittah NU sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan atau sosio-kultural, bukan sebagai organisasi sosial politik; yang merespon perubahan sosial, bukan perubahan politik. Oleh karena itu, boleh dikata bahwa yang penting adalah bukan labelnya (mereknya), me-lainkan isinya adalah Islam (nilai-nilai Islam).
Pemikiran Gus Dur ini sebagaimana dikatakan oleh Greg Barton,15 sangatlah dipengaruhi oleh background beliau sejak kecil, baik dari segi kondisi sosial di mana beliau hidup, maupun dari segi pendidikan dan wawasan yang diperolehnya. Oleh karena itu, hampir seluruh pemikiran Gus Dur lebih banyak menitikberatkan bagaimana Islam bisa ditampilkan secara ramah dalam kehidupan yang plural di Indonesia khususnya, tanpa adanya kontroversi sosial-keagamaan yang akan mengakibatkan perpecahan, peperangan, dan permusuhan antara anggota masyarakat yang berbeda agama.
Islam, Keragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya
Ketika Islam datang ke tanah Jawa, Islam segera beradaptasi dengan apa yang ada. Akulturasi antara Islam dengan budaya setempat berlangsung secara damai.16 Proses akulturasi dan adaptasi antara unsur-unsur budaya yang satu dengan budaya yang lain —atau dalam antropologi kultural disebut konsep integrasi kultural— ini tidak dapat dihindari karena pluralitas agama, budaya dan adat istiadat yang ada tidak-bisa-tidak saling bergesekan.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul fiqh, bahwa “al-‘adah muhakkamah,” adat itu dihukumkan, atau lebih lengkapnya, “adat adalah syari’at yang dihukumkan” (al-‘adat syari’ah muhakkamah), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.17 Karenanya, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri.
Dalam ilmu ushul fiqh, budaya lokal dalam bentuk kebudayaan itu disebut ’urf. Karena ’urf suatu masyarakat —sesuai dengan uraian di atas— mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya secara kritis dan tidak dibenarkan sikap yang hanya membenarkan semata. Hal ini sesuai dengan berbagai prinsip Islam sendiri yang menentang tradisionalisme.18
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 6 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
Gus Dur melihat Islam dan pluralisme itu dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme dalam Islam. Menurutnya, ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah 5 (lima) jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara personal (individu) maupun sebagai kelompok (impersonal). Kelima jaminan dasar tersebut tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yang terdiri dari: 1) Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; 2) Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; 3) Keselamatan keluarga dan keturunan; 4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan 5) Keselamatan profesi.19
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Tetapi, kelima dasar itu hanya akan menyajikan kerangka teoritik atau mungkin hanya berdimensi moralistik belaka yang tidak berfungsi, jika tidak didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam, di mana ia muncul dalam sejumlah unsur dominan seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.
Dalam realitas kehidupan, watak kosmopolitanisme Islam sekarang itu sudah terlihat mulai hilang sehingga sebagian kaum muslim kini sudah menjadi “kelompok yang berpandangan sempit dan sangat eksklusif”. Mereka akhirnya tidak mampu lagi mengambil bagian dalam peradaban manusia yang muncul di masa pasca industri. Realitas problem tersebut membuat Gus Dur berharap agar umat Islam tidak terjebak dalam tawaran idealisme aspek-aspek “Islam sebagai alternatif” Sebab tawaran seperti ini menurutnya “hanya akan membuat idealisasi Islam jatuh, sama dengan usaha formalisasi Islam yang menghasilkan bangunan normatif Islam yang eksklusif dan picik”.
Pandangan Gus Dur ini selaras dengan pandangan Nurcholish Madjid yang menginginkan agar universalisme dan kosmopolitanisme Islam itu tampil secara inklusif di tengah pluralitas budaya dan heterogenitas politik masyarakat.20 Hal ini karena pada dasarnya agama itu merupakan bagian dari manusia. Agama itu turun ke dunia bukan untuk menimbulkan peperangan, tetapi sebaliknya untuk menciptakan kedamaian, sebagai guidance bagi manusia bagaimana hidup yang baik, bergaul dengan orang sekitarnya, dan berhubungan dengan alam semesta, termasuk hubungan dengan Tuhan.21
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik ini, Gus Dur mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna tunggal” bagi kehidupan masyarakat dikesampingkan. Baginya, dengan melihat realitas objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik, Islam sebaiknya menempatkan diri sebagai faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tujuan akhirnya (ultimate aim) adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks kehidupan yang pluralistik, pendapat Gus Dur ini didukung oleh Kuntowijoyo. Ia mengakui bahwa peradaban Islam sendiri merupakan suatu sistem yang terbuka, artinya peradaban Islam mengakui sumbangan peradaban lain. Akibat dari sebagian sistem yang terbuka ini, peradaban
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 7 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
Islam menjadi subur di tengah pluralitas budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orisinal dan otentik, yang mempunyai karakteristik dan kepribadian tersendiri.22
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan menggunakan pendekatan antropologi kultural serta komitmennya yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam dan khazanah pemikiran Sunni tradisional, mampu memetakan hubungan Islam dan negara secara elegan. Di samping itu, dia mencoba memahami dan mengaplikasikan Islam di Indonesia yang majemuk dan sangat plural ini dalam tampilan yang ramah, yaitu dengan memerankan Islam secara moral dan sosio-kultural tanpa adanya sikap konfrontatif. Hal ini bertujuan agar Islam —baik dalam hubungannya dengan politik, negara Indonesia, maupun tradisi serta budaya yang sangat plural— dapat berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa, tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu (formalisasi Islam/simbolisasi Islam), melainkan sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara dan pribumisasi Islam.
Endnote
1 Harold Coward, Setting the Research For Canadian Religious Pluralism (TTP: ARC 25, 1997), hal. 123. Adapun pembicaraan tentang Islam kultural, tidak akan dapat dipisahkan dari persinggungan dengan pluralitas yang ada di Indonesia karena keduanya sangat berkaitan. Oleh karena itu, pluralisme yang menjadi pandangan Gus Dur juga sepintas akan mewarnai makalah ini.
2 Mursidi Musa, Yoyok, dkk., “Islam Politik dan Islam Kultural”, dalam Dialog, Prisma, 5 Mei 1995, hal. 65.
3 Dalam Antropologi Kultural berkembang konsep integrasi kultural (cultural integration), yang dimaksud adalah gejala saling menyesuaikan antarunsur kebudayaan, baca dalam Ralph Linton, Antropologi: Suatu Penyelidikan tentang Manusia (The study of Man), Terj. Firmansyah (Bandung: Jemmars, 1984), hal. 226.
4 Lihat “Memahami Semangat Baru Dunia Islam Indonesia: Percakapan dengan Abdurrahman Wahid,” dalam Jalan Baru Islam, Ed. Mark R. Woodward (Bandung: Mizan, 1998), hal. 131-142.
5 K.H. Ahmad Shiddiq (alm.) pernah mengungkapkan kebenarannya tentang apa yang dibaca oleh Gus Dur ketika ia sekolah di SMEP. Menurutnya, Gus Dur sudah membaca “Das Capital” karya Karl Marx. Ketika remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Paul Sartre (tokoh filosof eksistensialisme) dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamchand Gandhi. Lihat juga Imron Hamzah dan Choirul Anam, Ed. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan: Gus Dur Diadili Kiai-Kiai (Surabaya: Jawa Pos, 1989), hal. 11.
6 Tentang persiapan Muktamar NU ke-27, lihat Tempo, 15 Desember 1984, dan tentang hasil Muktamar, lihat Tempo, 25 Desember 1984.
7 Tentang perebutan kursi Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-29 dan perpecahan di tubuh NU, lihat Forum Keadilan, No. 19, 05 Januari 1995.
8 Tentang “Deklarasi Ciganjur”, lihat Tekad, No. 17, 23 November 1998, hal. 6-7.
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 8 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
9 Zaenal Fikri, Pluralisme dan Demokrasi, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Tidak dipublikasikan, 1999), hal. 24-30.
10 Abdurrahman Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, Pesantren, No. 3, Vol. VI, 1989, hal. 11.
11 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 132.
12 Organisasi yang pertama kali menerima Pancasila sebagai dasarnya adalah NU, dengan melalui MUNAS Ulama NU di Situbondo, Jatim tanggal 21 Desember 1983, setelah pada bulan Agustus 1983 Presiden Soeharto menginginkan agar semua organisasi sosial keagamaan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Lihat, Einahar Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989); dan Martin Van B., NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, TT), hal. 115-149.
13 Machasin, Islam Kultural, bahan diskusi untuk acara “Selamatan 60 Tahun Gus Dur” yang diselenggarakan oleh PMII cabang Yogyakarta di Hotel Santika, 30-31 Juli 2000. Hal ini sesuai dengan pendapat Masdar F. Mas’udi tentang “Islam Butuh Penyadaran Kultural Secara Kritis”, dalam Prisma, 05 Mei 1995, hal. 71, dengan mengatakan bahwa “selalu ada dua sayap dalam wacana politik umat Islam yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, gerakan politik dan yang berorientasi pada penumbuhan kesadaran (simbol-simbol Islam)”. Lihat, Islam, Demokrasi Atas Bawah, Penyunting Arief Afandi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
14 Umaruddin Masdar, Membaca, hal. 131-134.
15 Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid” dalam Greg Fealy & Greg Barton, Ed., Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU-Negara, Terj. LkiS (Yogyakarta: LkiS, 1997), hal. 167.
16 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, pengantar K.H. Cholil Bisri (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 66.
17 Lihat dalam al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani as Syafi’i (Kudus: Menara Kudus, TT), hal. 63. Lihat juga dalam Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. Keempat (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 550.
18 Tradisi itu belum tentu semua unsurnya tidak baik sehingga perlu diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diteliti, sedangkan tradisionalisme itu cenderung negatif karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, hal. 552. Contohnya adalah seperti tradisi peringatan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia (3, 7, 40, 100 sampai 1000 hari) itu diganti dengan bacaan tahlil atau membaca kalimat tauhid la ilaha illallah, ini merupakan cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran).
19 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 233.
20 Ibid., hal. 234.
21 Machasin, “Perlu Gerakan Pencerahan Islam” dalam “Islam Politik dan Islam Kultural”, Prisma, hal. 79.
22 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran, hal. 235.
Daftar Pustaka
Afandi, Arief. 1996. Islam, Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
P3M STAIN Purwokerto | M. Misbah 9 Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 45-58
As Syafi’i, Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani. TT. Al-Faraid Al-Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus.
Coward, Harold. 1997. Setting the Research For Canadian Religious Pluralism, TTP: ARC 25.
Fealy, Greg & Greg Barton, eds. 1997. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU-Negara, Terj. LkiS. Yogyakarta: LkiS.
Fikri, Zaenal. 1999. Pluralisme dan Demokrasi, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan KalijagaYogyakarta, tidak dipublikasikan.
Forum Keadilan, No. 19, 05 Januari 1995.
Hamzah, Imron dan Choirul Anam, Ed. 1989. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan: Gus Dur Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: Jawa Pos.
Linton, Ralph. 1984. Antropologi: Suatu Penyelidikan tentang Manusia (The study of Man), Terj. Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Machasin. 2000. Islam Kultural, bahan diskusi untuk acara “Selamatan 60 Tahun Gus Dur”, yang diselenggarakan oleh PMII cabang Yogyakarta di Hotel Santika, 30-31 Juli.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. Keempat. Jakarta: Paramadina.
Mas’udi, Masdar F. 1995. “Islam Butuh Penyadaran Kultural Secara Kritis” dalam Prisma, 05 Mei.
Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musa, Mursidi, Yoyok, dkk. 1995. “Islam Politik dan Islam Kultural”, dalam dialog Prisma.
Sitompul, Einahar. 1989. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tekad, No. 17, 23 November 1998.
Tempo, 15 Desember 1984, dan Tempo, 25 Desember 1984.
Van B., Martin. TT. NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LkiS.
Wahid, Abdurrahman. 1989. “Islam dan Masyarakat Bangsa”, Pesantren, No. 3, Vol. VI.
————————————, 1999. Membangun Demokrasi, pengantar K.H. Cholil Bisri. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Woodward, Mark R. (Ed.). 1998. Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar