Minggu, 27 Februari 2011

M SAFII GOZALI: SKRIPSI FAK HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana negara-negara lain di dunia, negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara demokrasi. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan rakyat (as-siyasah lil ummah). Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih sering kita temui perilaku yang tidak demokratis, misalnya berupa tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai perbedaan dan kemajemukan etnis, budaya dan agama serta kepercayaan-keyakinan umat yang satu dengan yang lain. Sikap dan perilaku tidak demokratis tersebut tidak hanya dilakukan oleh sebagian pejabat atau pemerintah saja, tetapi bahkan oleh sebagian ormas Islam yang mengklaim dirinya sebagai penganut Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين قل إنما يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فهل أنتم مسلمون
Akan tetapi terkadang, pihak-pihak yang gemar mengusung dan menggaung-gaungkan Islam ini ternyata realitasnya cenderung menafikan sifat dasar Islam yang penuh kasih dan sayang ini. Termasuk dalam meyakini prinsip musyawarah (al-syura/ dialog keterbukaan), persamaan derajat (al-musawa/ equality), keadilan (al-‘adalah/ justice), dan kebebasan (al-hurriyah/ freedom) sebagai pilar demokrasi yang selaras dengan Islam. Ternyata, mereka masih setengah-setengah.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sistem demokrasi dipandang sebagai pilihan terbaik bahkan ideal oleh sebagian besar bahkan hampir semua negara di belahan dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan hampir bersamaan dengan berakhirnya peristiwa tersebut juga menyatakan diri sebagai negara demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat. Maksudnya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Oleh karena itu, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) harus berada di tangan rakyat. Dalam pelaksanaannya rakyat akan mewakilkan kepada wakil-wakil rakyat, yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Para wakil rakyat itu mempunyai kewajiban untuk menyalurkan keinginan atau aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan hendaknya dilaksanakan sesuai dengan aspirasi rakyat.
Hal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang penggalan alinea keempat, “...disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” Pada konferensi International Commission of Jurists (organisasi internasional para ahli hukum) di Bangkok, Thailand tahun 1965 dinyatakan bahwa syarat-syarat suatu negara dan pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah adanya:
1. Perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara
2. Badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan umum yang bebas
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Pluralisme agama yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Sehingga diharapkan seluruh pemeluk agama bersifat inklusif (terbuka) terhadap pemeluk agama lain, sebab tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi.
Sedangkan, term pluralisme tidak hanya menoleransi adanya keragaman etnis, budaya, ras dan agama, tetapi juga dengan rendah hati dan bijaksana mengakui kebenaran masing-masing pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran absolut dalam agamanya sendiri, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Maka pluralisme dijadikan sebagai bentuk konkret dalam menjalankan kerukunan beragama.
Dalam fatwa MUI Juli 2005 ditegaskan bahwa pluralisme itu haram jika pluralisme dimaknai; pertama,menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini, bagi MUI, tidak benar menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam sendiri, yang benar adalah islam yang salah. Oleh karena itu pemahaman pluralisme yang menganggap semua agama benar adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam; dan kedua, teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam ini termasuk sinkretisme.
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada beragam isu penting. Salah satu diantaranya adalah pluralisme agama (religious pluralism). Apalagi setiap penganut agama hidup dalam era globalisasi, sebuah era yang menjadikan dunia ini sebuah desa global (global village). Kini, seharusnya, kehadiran agama-agama bukan dijadikan sebagai sumber masalah (problem maker), akan tetapi sebagai pemberi solusi (problem solver) atas masalah-masalah sosial yang muncul.
Para pemuka agama harus duduk dalam satu meja mendialogkan berbagai agenda kemanusiaan yang sedang dihadapi untuk mencari jalan keluar dari berbagai agenda tersebut. Memahami arti pentingnya eksistensi agama-agama lain merupakan bangunan filosofis yang amat penting sebelum berbagai agenda kemanusiaan didialogkan dan agar toleran kepada sesama. Hal itu bahkan mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti, to be religious is to be interreligious.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, kebhinnekaan (keragaman umat manusia) sudah terbentuk secara alamiah. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, terbentuknya madzhab-mazhab fiqih, seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafii, dan madzhab Hanbal merupakan kenyataan sejarah diakuinya pluralisme dalam hukum.
“Pada sisi lain, fenomena kemenangan gerakan Islam (Islamic movement) di pentas politik kerap menjadi sorotan para pengamat Barat dan pengamat muslim sekuler. Salah satu alasan yang sengaja mereka hembuskan adalah bahwa gerakan Islam mempunyai hidden agenda yaitu mendirikan Negara Islam yang berlandaskan ideologi Islam. Sehingga meskipun kemenangan gerakan Islam lewat proses demokrasi kerap kali tudingan itu tertuju kepada gerakan Islam sehingga dikalangan para pengamat Barat, sebagaimana dikutip oleh John L. Esposito ada kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya hijack democracy (pembajakan demokrasi) oleh gerakan Islam yang tampil di kancah politik”.

Bahwa, Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat non-muslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.
Agama merupakan salah satu diskursus yang sangat sensitif. Klaim-klaim kebenaran (claim of truth), bahwa agamanyalah yang mutlak benar dan klaim penyelamatan (claim of salvation), bahwa jalan ke surga hanya ada pada agamanya saja, sementara pada agama lain adalah jembatan-jembatan menuju neraka.
Sejalan dengan kondisi diatas, Karen Amstrong berpendapat:
“...Di tengah kondisi seperti ini, banyak pemeluk agama tertentu (yang berpaham eksklusif tadi), memonopoli klaim kebenaran dan keselamatan (claim of truth and salvation). Jika kita melihat dari segi sosiologisnya, klaim kebenaran dan keselamatan agama itu hanyalah memicu terjadinya konflik sosial-politik, yang berujung – dengan meminjam istilah Karen Amrstrong – melakukan pertempuran agung untuk membela dasar-dasar agama”.

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.
Siapa pun tidak dapat mengingkari bahwa masyarakat Indonesia dari semenanjung Aceh hingga Irian Jaya dengan jumlah pulau sekitar 13.000 buah merupakan masyarakat yang multikultural. Apabila dilihat dari sukunya, maka penduduk Indonesia dihuni oleh mayoritas suku Jawa, kemudian Sunda, Madura, kemudian disusul suku-suku kecil lainnya seperti suku yang mendiami di Bali, Lombok, Dayak di Kalimantan, serta suku-suku di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Masing-masing daerah dan suku tersebut memiliki kebudayaan, keyakinan, dan tentunya karakteristik ritual agama yang berbeda-beda. Walaupun sama-sama menganut Islam, akan tetapi antara Islam Jawa dengan Islam di Kalimantan secara tradisi dan kebiasaan ritual yang membaur dengan budaya lokal menjadikan sedikit berbeda antara keduanya.
Suku-suku dan daerah-daerah bahkan memiliki karakteristik kepercayaan, keyakinan, dan keagamaan yang berbeda-beda. Pada masyarakat suku Jawa, Sunda, dan Madura lebih identik dengan Islam, masyarakat suku Bali identik dengan Hindu dan Budha, masyarakat Dayak, Manado, Kepulauan Maluku, Irian Jaya lebih identik dengan Kristen dan Katholik. Oleh karena itu sebagai salah satu negara kepulauan dengan keragaman dan kemajemukan suku, ras, budaya, warna kulit, dan agamanya maka tidak salah jika founding father’s ini melambangkan NKRI dengan “Bhineka Tunggal Ika”, yaitu meskipun berbeda-beda tetapi hakikatnya tetap satu jua dalam keragaman dan kemajemukan suku bangsa, budaya dan agama.
Sudah menjadi keputusan final para pendiri bangsa NKRI bahwa Pancasila merupakan pengikat persatuan dan kesatuan dalam keanekaragaman di Indonesia. Selama ini Pancasila memang menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini dalam tataran ideologi Agama. Melaluinya, kehidupan agama itu dapat dirajut di dalam harmoni yang cukup melegakan. Sebagai dasar negara, Pancasila telah meletakkan bagaimana seharusnya hubungan antara sesama masyarakat dalam perbedaan etnis, suku, ras, dan agama, keyakinan, dan antar golongan tersebut dapat disatukan dan dibina dalam keragaman dan kemajemukan. Dasar filosofi yang terkandung di dalam Pancasila tersebut memang telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa.
Bayangkan saja kehidupan sosial dalam keberagamaan di ndonesia yang mayoritas 80% pemeluk Islam, 15% Kristen-Katolik, dan sekitar lebih dari 5% Hindu-Budha dan Konghucu dari sejak kemerdekaan sampai saat ini hidup rukun, berdampingan dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya dalam tataran hubungan kemasyarakatan dan agama dalam satu kesatuan NKRI. Hal ini sangat logis karena antara pemeluk yang satu dengan pemeluk yang lain mempunyai keyakinan akidah yang berbeda jauh tetapi tetap dapat menjalin hubungan dengan harmonis.
Pemeluk Islam, sebagai penduduk mayoritas ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang multi agama, etnis dan ideologi, perlu menghayati ajaran Islam yang mendorong terciptanya saling pengertian diantara sesama pemeluk agama. Namun harmoni tersebut terkadang juga dibumbui dengan peristiwa yang tidak menguntungkan. Di tengah kehidupan ini masih saja terdapat kekhawatiran dan kecemburuan yang didasari oleh prasangka-prasangaka (prejudice) atas kegiatan masing-masing agama. Tengok saja pada akhir tahun 1990-an, terdapat berbagai kerusuhan agama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno, sedikitnya terdapat lebih dari 600 gereja dirusak dan juga serangan terhadap gereja-gereja di Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok dan daerah-daerah lainnya di Jawa.
Menurut Umar Surur, pengeboman terhadap gereja dan fasilitas-fasilitas keagamaan lainnya itu lebih banyak dipicu oleh faktor agama dan faktor ekonomi politik. Hingga tahun 2006, konflik agama masih terjadi di beebrapa bagian di Republik ini. Konflik Poso dan Ambon yang menyisakan derita diantara kedua kubu, juga masih menjadi tanda Tanya kapan kan usai.
Meskipun konflik bernuansa agama ini tidak bersifat murni agama, namun secara sepintas orang awam akan melihatnya sebagai konflik agama. Padahal kenyataannya adalah konflik kepentingan kaum yang beragama baik itu masalah ekonomi, sosial maupun politik. Hanya saja karena dianggap sebagai perang agama, maka akan mempengaruhi elemen lain untuk saling membela atas nama agama. Agama memang bisa menggerakkan konflik menjadi semakin keras.
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat berkaitan erat dengan penghargaannya atas pluralisme agama. Hal ini akan menjadi tolok ukur, apakah bangsa tersebut berhasil menegakkan nilai-nilai pluralis, seperti toleransi, kesetaraan dan kooperasi; atau hanya sekedar jargon saja. Penegakan pluralisme merupakan “suatu keharusan” yang tidak bisa dinafikan dengan alasan apapun. Mengabaikan nilai tersebut berarti mencederai demokrasi yang sedang di bangun.
Fenomena kekerasan terhadap pemeluk lain belakangan ini merupakan ciri dari kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme agama itu sendiri. Karena, artikulasi yang benar dari pluralisme bukan hanya membiarkan yang lain, the other, untuk hidup dengan caranya sendiri, tetapi juga bagaimana memahami dan menghargai keyakinan the other tersebut dalam bingkai kemanusiaan.
Ide pluralisme agama diharapkan membawa paham kesetaraan antar orang beriman kearah kerja sama diantara umat beragama (dan juga yang tidak beragama) untuk menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sebagainya. Sayangnya, kurangnya pemahaman terhadap pluralisme diperparah oleh orang-orang yang justru anti dengan pemahaman pluralisme itu sendiri, serta menuduh pluralisme agama sebagai bagian dari paham impor yang harus diwaspadai.
Pengaruh globalisasasi memberikan pola baru pada agama-agama, dari globalisasi muncul dua aliran yang salah satunya ingin merubah doktrin agama sesuai perubahan zaman (menerima globalisasi) dan satu aliran lagi ingin mempertahankan agama pada posisinya (menolak globalisasi), tetapi kedua-duanya mengorbankan akidah (teologi) dari masing-masing agama. kedua pola tersebut terbentuk pada gagasan pluralisme agama. Kemudian wacana Pluralisme agama yang bergulir di Indonesia tidak lepas dari peranan para cendekiawan dan sarjanawan.
Wacana pluralisme bagi kalangan Islam yang menganggap Islam sudah tidak boleh menerima budaya dan ilmu pengetahuan dari luar Islam, mengagetkan umat Islam dan umat agama lainnya. Padahal dari sejak kelahirannya bangsa ini (Indonesia) telah hidup bersama dengan keanekaragaman dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika saling bertoleransi antar umat beragama. Akan tetapi menurut kaum pluralis toleransi belum memberikan bukti nyata sehingga banyak pertikaian antar umat beragama disebabkan klaim kebenaran. Padahal kemunculan konflik antar umat beragama yang terjadi adalah disebabkan unsur sosial, politik dan ekonomi bukan masalah agama.
Menurut beberapa tokoh yang anti-pluralisme, alih-alih ingin mencari solusi pertikaian yang terjadi, kaum pluralis membawa wacana pluralisme agama dengan janji serta solusi yang bisa membawa kemaslahatan, tetapi ternyata kaum pluralis bukan membawa solusi penyelesaian pertikaian melainkan membawa paham pembenaran terhadap semua agama, dengan cara merubah teologi-teologi yang sudah ada.
Sebagai pemikir Muslim, kita hendaknya memperhatikan bahwa para sarjanawan Barat memandang agama sebagai obyek kajian keilmuan, serta dalam penelitiannya pun harus seobyektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan historis bukan secara normatif. Mereka belajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap tidak/ belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk mencapai kesempurnaannya.
Padahal, dalam Islam terdapat sesuatu yang pokok (usul) yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu' bisa berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya. Nah, oleh karena itu Islam sebagai agama yang sesuai dengan zaman dan tempat di mana Islam itu berkembang, maka prinsip tidak menggeneralisasikan Barat dengan semuanya negatif, sangat dibutuhkan agar cita-cita Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar mewujud.
Namun demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima. Khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat kolektivitas dan homogenitas yang tinggi. Nilai-nilai pluralistik bukan sesuatu yang given atau terberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan. Dengan kata lain, fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan orang yang hidup didalamnya memahami dan menghargai pluralisme. Oleh karena itu, penegakan pluralisme merupakan kewajiban mendasar bagi mereka yang peduli dengan demokrasi dan keberlangsungan hidup bangsa ini.
B. Hipotesis
Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif tentang pandangan dan perjuangannya menegakkan dan pembelaannya terhadap pluralisme agama bukanlah basi-basi intelektual saja. Mereka berdua di Indonesia bahkan di dunia internasional dikenal sebagai pejuang kemanusiaan demi tegaknya demokratisasi di Indonesia. Keduanya sangat intens dan konsisten memperjuangkan kehidupan yang harmonis, damai dan saling memberi-menerima antar umat beragama dengan argumen yang kokoh (dengan pemahaman Islam universal-rahmatan lil ‘alamin-kemanusiaan dan keutuhan sebuah bangsa).
Mereka berdua berpijak pada pilar-pilar dan karakteristik tegaknya demokrasi di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Bagi mereka, Pancasila adalah ideologi final karena sangat menghargai keberagaman dan kemajemukan. Keduanya membela prinsip-prinsip pluralisme agama dengan pemahaman Islam, NKRI, Pancasila dan kemanusiaan dalamkehidupan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, pluralisme agama menjadi salah satu pilar tercapainya demokratisasi di Indonesia.
Keduanya juga dengan rela mencurahkan seluruh pikiran, tenaga dan waktunya untuk memperjuangkan penghargaan pluralisme agama dalam demokratisasi di Indonesia. Terutama pembelaannya kepada kaum lemah, tertindas, dan minoritas. Jika pluralisme agama tidak ditegakkan, maka demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah tercapai. Pluralisme agama merupakan satu bangunan dari beberapa bangunan yang membentuk demokrasi Pancasila.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini yaitu :
1. Latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif mengenai pluralisme agama dan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana perjuangan Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif dalam menegakkan pluralisme dalam kehidupan demokrasi di Indonesia?
3. Apa relevansi pluralisme agama terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia?
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dari pokok masalah yang disebutkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan latar belakang pandangan dan perjuangan dari kedua tokoh mengenai pluralisme agama di Indonesia.
b. Untuk menjelaskan segi persamaan maupun perbedaan dari pandangan kedua tokoh tentang relevansinya pluralisme agama dalam demokratisasi di Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
a. Menambah khasanah keilmuan Islam bagi para pembaca terutama mengenai pluralisme agama di Indonesia.
b. Menjadi salah satu rujukan dalam diskursus relevansinya kerukunan antar umat beragama dalam demokratisasi di Indonesia menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
E. Studi Kepustakaan
Penelitian skripsi tentang pluralisme agama belum banyak dilakukan, karena memang topik debatable. Toh, para pengusung yang membela pluralisme mengatakan bahwa pluralisme merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan sejarah kehidupan umat manusia.
Topik pluralisme setidak-tidaknya sudah banyak yang menuliskan dalam bentuk buku. Akan tetapi yang menulis dalam bentuk hasil penelitian mendalam belum begitu banyak. Salah satunya adalah;
Pertama, Disertasi dari Anis Malik Thoha dengan judul,“Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis”. Disertasi ini secara garis besar memuat bantahan-bantahan terhadap nihilisme dan eksklusivisme paham pluralis agama (pluralisme agama). Menurutnya, pluralisme agama justru akan bersikap tertutup dan tidak universal sebagaimana pluralisme yang selama ini dipahami; Anis Malik Thoha menolak gagasan pluralisme agama, karena pluralisme agama akan menjadikan eksklusif Islam.
Kedua, Disertasi dari Abdul Moqsith Ghazali dengan judul, “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur′an”. Disertasi ini berbeda dengan disertasi Anis Malik Thoha. Abdul Moqsith Ghazali menerima gagasan pluralisme agama dengan menggali dalil-dalil Al-Qur′an, hadist, pendapat ijma’ para ulama klasik dan kontemporer tentang keniscayaan pluralisme beragama. Ia menjelaskan bahwa pluralisme agama sudah ada sejak zaman sebelum Islam ada. Oleh karenanya, pluralisme merupakan sebuah keharusan sejarah.
Terlepas dari debat filosofi pemikiran dan tindakannya, sebagaimana umum diketahui, jauh sebelum jadi presiden, Abdurrahman Wahid memang sering memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap ne¬gara. Perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan pemikirannya yang di luar kebiasaan umum selalu diposisikan sebagai “pesaing politik” dari negara. Menjadi tak heran, kalau ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia sepanjang Orde Baru. Begitu juga dengan Ahmad Syafii Maarif yang selalu kritis terhadap pemerintahan SBY saat ini.
Jika Presiden Soeharto dengan kalangan tentara dan birokrasi, pada saat itu, dianggap sayap negara (the state), maka Abdurrahman Wahid dengan NU dan kalangan pro-demokrasi adalah sayap masyarakat sipil (the civil society). Begitu juga dengan Ahmad Syafii Maarif yang tetap konsisten dengan keteguhan perjuangannya membela kaum minoritas yang terpinggirkan oleh kelompok Islam sendiri. Negara dan civil society selalu berhadapan dan bersitegang akibat proses demokratisasi yang selalu membentur benteng otoritarianisme-birokrasi raksasa politik Orde Baru. Juga tak aneh kemudian, bila komentar-komentarnya dan gerakannya selalu menghiasi halaman-halaman media massa sebanding lurus dengan penampilan negara yang kian hegemonik.
Demikian juga keberaniannya menentang arus utama negara dan dalam hal-hal tertentu juga arus masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan dan pikirannya, serta kesetiaannya pada Islam dan nilai-nilai kebangsaan, menjadikannya sebagai tokoh yang populer dan disegani sekaligus dimusuhi dan dicaci-maki sepanjang hidupnya.
Menurut studi yang dilakukan Suaidi Asy’ari, bahwa dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, partisipasi NU dan Muhammadiyah yang berkesinambungan sebagai organisasi perantara sangatlah penting dalam mendukung proses demokratisasi di Indonesia. Ia menyimpulkan bahwa, (mungkin juga) sebagaimana peneliti-peneliti maupun pengamat-pengamat sebelumnya, bahwa berkenaan dengan NU dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia, NU yang berbasiskan ijma’ tidak murni oportunistik atau tak berprinsip, tetapi hal itu merupakan sebuah pengejawantahan pemahaman NU mengenai perannya dalam politik Indonesia, yang dibentuk oleh sifat pluralistik negeri Indonesia. Kesiapan NU untuk berbagi, bergabung, dan mendukung para politisi dan pemimpin selain (diluar) NU menunjukkan sebuah kesadaran politik yang sangat dibutuhkan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sisi lain, Muhammadiyah dengan basis ijtihad politiknya menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya organisasi sosial, melainkan juga sebuah kekuatan politik yang kuat, yang menjadi keharusan bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Kajian ini berangkat dari wacana pluralisme dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan berdemokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Bahkan, keduanya oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sebagai pejuang nilai-nilai universalisme Islam, pejuang kemanusiaan dalam konteks pluralisme agama di Indonesia.
Penelitian dengan tema relevansi pluralisme agama terhadap demokratisasi di Indonesia belum banyak dikaji. Bahkan mungkin belum pernah dikaji dalam level skripsi. Oleh karena itu peneliti merasa sangat tertantang dan tertarik untuk meneliti pemikiran dari Abdurrahman Wahid (dari kalangan NU) dan Ahmad Syafii Maarif (dari kalangan Muhammadiyah) tentang sikap dan perjuangannya dalam membela pluralisme agama di Indonesia.
Karena itu pendapat keduanya (Ahmad Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid) tentang keindonesiaan, demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan kemanusiaan terkadang menuai kritik pedas. Resiko inilah yang harus ditanggung oleh mantan PP Muhammadiyah dan mantan PBNU. Muhammadiyah merupakan tenda bagi kaum puritanis yang cenderung tidak toleran dengan pandangan keagamaan yang tidak ortodoks. Sedangkan NU dianggap sebagai ormas tradisionalis-tekstualis. Akan tetapi pada sisi praksis-praktisnya tetap fleksibel.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian disertasi diatas. Disertasi diatas lebih memfokuskan pada kajian teks-teks secara umum, bukan pemikiran-aksi salah satu tokoh dan hanya terkait tema pluralisme agama saja. Sedangkan, pada penelitian ini, peneliti lebih cenderung kepada penelitian tokoh. Terkait dengan perjuangan pluralisme agama dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia.
F. Kerangka Teoritik
Berbagai kajian tentang pluralisme di Indonesia mendasarkan dirinya pada pemahaman teks (nas Al-Qur′an).
Beberapa tokoh dunia Muslim sudah mencoba mengelaborasi perspektif pluralisme keagamaan ini antara lain seperti Ismail Raji al-Faruqi, M. Mahmoud Ayoub, Seyyed Hossein Nasr, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, Hasan Askari, Mohamed Arkoun, Mohamed Talbi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya. Di Indonesia, kita bisa menyebut diantaranya Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Syafii Maarif, Kautsar Azhari Noor, Zainun Kamal, Musdah Mulia, M. Syafii Anwar, Amin Abdullah. Sampai pemikir muda lainnya, seperti Ulil Abshar Abdala, Abdul Moqsith Ghazali, dan Zuhairi Misrawi.
Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan, yaitu;
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Al-Qur′an.
Misalnya, QS. ali-Imran [3]:[85];

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين



QS. ali-Imran [3]:[19];

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

QS. al-Maidah [5]:[3];

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
QS. an-Nisa [4]:[144];

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله عليكم سلطانا مبينا
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasional bukan yang substansial esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini.
Misalnya, QS. al-Kafirun [109]:[6];

لكم دينكم ولي دين
QS. al-Baqarah [2]:[256];

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم

QS. al-Maidah [5]:[69];

إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابؤون والنصارى من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Dan QS. al-An'am [6]:[108]

ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم كذلك زينا لكل أمة عملهم ثم إلى ربهم مرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون
Kajian ini berangkat dari wacana pluralisme dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan berdemokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Bahkan, keduanya oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sebagai pejuang nilai-nilai universalisme Islam, pejuang kemanusiaan dalam konteks pluralisme agama dalam rangka menegakkan demokrasi di Indonesia.
G. Metode Penelitian
Sebagai salah satu sarana memudahkan penyusunan skripsi ini, maka disusunlah metode penelitian sebagai panduan yang akan mengarahkan jalannya penelitian ini. Cara ini juga dalam rangka usaha mencari data yang lebih mendalam serta untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka dan literatur lainnya sebagai sumber data utama, sehingga lebih disebut sebagai penelitian dokumenter (documentary research). Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis-faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang tokoh.

2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis-eksplanatoris. Penelitian ini akan berusaha memaparkan bangunan pemikiran pluralism dalam madzhab Sunni secara umum sebelum akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti, yakni pemikiran pluralisme agama dan demokrasi menurut Abdurrahman Wahid (kalangan tradisonalis – NU) dan Ahmad Syafii Maarif (kalangan modernis – Muhahammadiyah). Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi tentang substansi kedua tokoh ini dengan membangun beberapa korelasi yang dianggap signifikan. Pada akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik pemikiran pluralisme Sunni secara umum sebelum membahas secara detail dalam diskusi pemikiran kedua tokoh tersebut.
3. Pengumpulan Data
Studi ini merupakan penelitian literartur (library research). Oleh karenanya pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menelusuri dan me-recover buku-buku dan tulisan-tulisan yang disusun oleh Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Dalam hal ini sebagai sumber primer, serta sebagai sumber sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan orang lain tentang kedua tokoh tersebut.
4. Analisis Data
Data-data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis deduktif dan komparatif. Menggunakan metode induktif yaitu menganalisis dan memaparkan data-data yang bersifat khusus, kemudian menderivekasikannya dalam bentuk umum.
Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat khusus untuk membentuk suatu generalisasi. Dalam konteks ini, akan dianalisis kerangka umum pemikiran pluralisme Sunni dan paradigma pemikiran pluralisme dan demokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif kemudian mendeduksikannya dengan pendekatan normatif menjadi suatu kesimpulan yang legitimate di mata fiqih.
Metode komparatif yaitu menganalisis data yang ada dengan cara membandingkan antara dua yang satu dengan yang lain, kemudian dicari letak persamaan dan perbedaannnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Metode ini menjelaskan hubungan atau relasi dari dua fenomena atau sistem pemikiran. Dalam komparasi, sifat-sifat hakiki dari obyek penelitian dapat menjadi lebih jelas dan tajam. Perbandingan ini akan menentukan secara tegas persamaan dan perbedaan sehingga hakikat obyek dipahami dengan semakin murni. Dengan demikian akan terlihat secara lebih utuh dan proporsional karakter pemikiran pluralisme dalam demokratisasi yang dibangun oleh Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
5. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan sosio-historis. Pendekatan sosiohistoris, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui latar belakang sosio cultural seorang tokoh, karena pemikiran seorang tokoh merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya itu. Metode sosio-historis dimaksudkan sebagai suatu metode pemahaman terhadap suatu pendapat dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, dan lingkungan di mana dan oleh siapa pendapat tersebut muncul.
H. Sistematika Pembahasan
Agar dapat menjadi deskripsi secara umum dan mempermudah pembahasan skripsi ini, secara runtutdapat dirumuskan dalam enam bab, yang secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :
Bab pertama, pendahuluan, sekaligus sebagai pedoman yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini, pada bab ini juga dikemukakan beberapa sub bahasan antara lain; latar belakang masalah, hipotesis, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, tinjauan umum diskurus pluralisme agama dan demokrasi di Indonesia. Hal ini dilakukan karena penelitian ini sendiri mengenai pluralisme agama di Indonesia berkembang berbagai wacana, baik yang pro maupun yang kontra. Oleh karenanya dirasa perlu menjelaskan pengertian pluralisme agama dan demokrasi Pancasila secara singkat, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme agama di Indonesia.
Kemudian pada bab selanjutnya, bab ketiga, menjelaskan tentang tokoh Abdurrahman Wahid yang menjadi salah satu obyek kajian. Bab ini terbagi dalam tiga sub bab di mana pembahasan ini meliputi latar belakang sosial dan intelektual, pandangan Abdurrahman Wahid mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia, pandangan tentang pluralisme agama dan demokratisasi di Indonesia, dan dasar-dasar pemikirannya. Berpijak dari hal ini, dapat terbaca pola pemikiran Abdurrahman Wahid tersebut tentang pandangan dan perjuangan pluralisme agama dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.
Kemudian pada bab selanjutnya, bab keempat, menjelaskan tentang tokoh Ahmad Syafii Maarifyang menjadi salah satu obyek kajian pada sisi lain. Bab ini terbagi dalam tiga sub bab di mana pembahasan ini meliputi latar belakang sosial dan intelektual, pandangan Ahmad Syafii Maarif mengenai visi Islam dan pluralisme agama terkait hubungan agama dan negara di Indonesia, pandangan tentang pluralisme agama dan demokratisasi di Indonesia. Berpijak dari hal ini, dapat terbaca pola pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut tentang pandangan dan perjuangan pluralisme agama dalam rangka demokratisasi di Indonesia.
Bab kelima, analisis perbandingan pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif tentang paradigma pemikiran,pandangan dan perjuangan terhadap pluralisme agama di Indonesia. Yang terdiri dari analisis latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif, agama versus negara, dan pluralisme dan demokratisasi di Indonesia.
Bab keenam, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan sebagai jawaban atas pokok masalah, disertai juga dengan saran-saran bila memang diperlukan dan keterbatasan penelitian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar