Minggu, 27 Februari 2011

MUHAMMAD SAFII GOZALI: PENGERTIAN PLURALISME AGAMA

1. Pengertian Pluralisme Agama
Di Indonesia, pemahaman tentang pluralisme sebenarnya telah cukup lama diperkenalkan pada masyarakat Indonesia. Rintisan ini telah dimulai oleh Harun Nasution lewat bukunya ”Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” . Dalam tulisannya, Harun Nasution berpendapat bahwa agama Islam merupakan suatu nilai yang terbuka. Islam yang inklusif yang mau berdialog terbuka dengan budaya, etnis dan agama yang lain. Islam merupakan keberlangsungan dari tradisi-tradisi agama sebelumnya. Dengan demikian, Islam memiliki kekerabatan yang erat dengan tradisi agama-agama lain untuk saling melengkapi, bukan membatalkan. Tren pemikiran ini kemudian diteruskan oleh generasi kedua Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid, dan Last but not Least oleh Ahmad Syafii Maarif yang merupakan perwakilan dari kelompok Reformis-Modernis (Attajdid wal hadatsah).
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
John Courtney Murray menyatakan bahwa pluralisme adalah kelompok orang dengan perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan-pertentangan, pandangan dan identitas yang hidup dalam suatu komunitas sosial-politik, yang karena perbedaan dan pertentangan tersebut harus dihargai sebagai kekayaan perspektif. Oleh karena itu yang lebih fundamental adalah prinsip bersama tersebut tidak boleh menghambat dan menghalangi setiap kelompok agama untuk mempertahankan identitasnya masing-masing. Selain prinsip tersebut juga mengakui dan menghormati agama lain bukan berarti membenarkan atau bahkan menyamakan semua agama benar. Menurut John Hick, baik tidaknya sebuah misi agama dan status manusia amat ditentukan oleh komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya semata-semata oleh klaim kebenaran saja (truth claim).
John Hick lebih mengedepankan “pluralisme” sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu.
“Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar (selain Kristen), bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?”
Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian.
Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu kesamaan yang kasar (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersamaTuhan.
Pada kesempatan lain, Sheikh Rashid Ghanousi menjelaskan bahwa monoteisme tidak menentang perbedaan, pluralisme, kebebasan, toleransi, ataupun demokrasi tetapi justru merupakan landasan bagi semuanya itu. Monoteisme merupakan antitesis dari politeisme, kediktatoran, dan segala bentuk pelanggaran. Tidak semua perbedaan dikutuk dalam Islam, apalagi harus dilenyapkan. Namun perbedaan merupakan landasan asli dan gejala yang menguji kemahabesaran dan kemahaindahan makhluk Allah Swt. Sedangkan Paul F. Knitter mendifinisikan pluralisme agama sebagai sebuah model pemahaman untuk menemukan kebenaran dengan mengajukan dialog korelasional antar agama, agar bisa saling mendengar dan tertantang untuk saling berbicara dan membandingkan diantara mereka.
Dalam perkembangannya, pluralisme agama memiliki paradigma yang beragam, paling tidak ada lima. Kelima paradigma tersebut antara lain;
1. Pluralisme Fenomenalis (phenomenalist pluralism), pluralisme ini memandang agama-agama sebagai wujud respon yang berbeda terhadap realitas transenden;
2. Pluralisme Universalis (universalist pluralism), pandangan yang menekankan keniscayaan dan keharusan adanya suatu teologi universal berdasarkan pemahaman sejarah agama-agama;
3. Pluralisme Etis atau Setereosentris (ethical or setereocentric pluralism), memandang keadilan sebagai ukuran semua agama;
4. Pluralisme Ontologis (ontological pluralism), menyatakan bahwa pluralisme tidak hanya membicarakan keragaman ‘yang ada’, tetapi yang ada itu sendiri adalah pluralistik; dan
5. Pluralisme Konfusionalis (confessionalist pluralism), menyatakan bahwa setiap agama seharusnya menegaskan partikularitasnya termasuk klaim finalitas.
Menurut Wijdan, dkk (2007), sedikitnya terdapat tiga persepsi dalam umat Islam terhadap pluralisme, yaitu; pertama, persepsi positif didukung oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid; kedua, persepsi negatif didukung oleh lawan-lawan Madjid dan Abdurrahman Wahid; dan ketiga, persepsi netral yang didukung oleh para cendekiawan Muslim di Indonesia. Padahal, antara pluralisme dengan landasan Islam sendiri sebenarnya tidak ada kontradiksi mengenai kesaksian tentang monoteisme (syahadat tauhid) yang mutlak. Orang yang beriman adalah bersaudara, oleh karenanya dalam Al-Qur′an secara terus menerus disebut dengan umat manusia.
Pluralisme agama bukan berarti pencampuradukan atau sinkretisme keyakinan. Pluralisme juga bukan berarti bahwa setiap agama adalah sama. Pluralisme agama adalah mencari titik temu dari masing-masing agama. Titik temu itu berfungsi sebagai alat pengikat dari beragam perbedaan sehingga keunikan masing-masing agama dapat dikomunikasikan, bukan untuk dipertandingkan.
Oleh karena itu pluralisme agama tidak hanya dengan mengatakan bahwa sebuah masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya akan menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme agama juga tidak boleh hanya dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Gagasan pluralisme, terutama pada persoalan agama bertujuan untuk menghargai perbedaan yang terdapat pada ajaran-ajaran agama. Keperbedaan tersebut kadangkala melahirkan sesuatu kekacauan. Oleh karena itu menurut Alwi Shihab, ketika seorang pluralis berinteraksi dengan aneka ragam agama, ia tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati agama lain, namun ia juga dituntut untuk mempertahankan keyakinannya sendiri.
Pluralisme agama akan mengantarkan seorang penganut agama memiliki rasa kebersamaan terhadap umat beragama lain, karena ia tidak hidup sendirian melainkan berdampingan dengan umat beragama lain juga. Pluralisme berarti fragmentasi bahasa, agama, atau batasan-batasan lain. Menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi berbagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, pada level formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum mas ghozali,saya menyambut baik atas aktifnya njenengan di blog,karna saya tau kapasitas njenengan Gus, semoga banyak ilmu yang ti telurkan dari tulisan tulisan njenengan.

    titip salam kagem rencang rencang pondok Al- Miftah sedoyo....".

    "banyak kenangan yang telah saya dapatkan dari Al- Miftah". saya rindu kalian semua.

    BalasHapus
  2. Gus...' ini blog saya yang baru.." yang atas sudah tidak saya pake karna ada permasalahan, blog njenengan dikasih tuker link gus " katanya biar gampang promosinya.

    BalasHapus