Jumat, 25 Februari 2011

SEJARAH MULTIKULTURALISME

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Kanada, Australia adalah dari sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori mulikulturalisme dan juga pendidikan multikultur. Ini dikarenakan mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyangnya.
Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka semakin majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya, interaksi kultural antar berbagai etnik tetap masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dikembangkan teori Cultural Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.
Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan, mengembangkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun pada dekade 1960-an masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Kelompok Amerika hitam, atau imigran Amerika latin atau etnik minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah, kemudian mereka mengembangkan multiculturalism, yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam membesarkan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka akan bangga dengan kebesaran bangsanya itu.

TITIK TEMU POSMODERNISME DAN MULTIKULTURALISME
Posmodernisme merupakan sebuah istilah yang sangat kompleks. Dalam bidang akademis istilah tersebut ramai dibicarakan pada sekitar tahun 1980-an. Secara istilah posmodernisme juga sukar untuk didefinisikan, karena begitu luasnya bidang kajian yang dicakupnya. Mulai dari seni, arsitektur, musik, film, sastra, sosiologi, antropologi, komunikasi, teknologi bahkan sampai pada fashion[i].
Karena kerumitan tersebut akhirnya banyak ahli yang menyarankan untuk memahami posmodernisme melalui apa itu modernisme[ii]. Modernisme yang berakar pada abad pencerahan eropa mempunyai beberapa ciri diantaranya:
1. Adanya kesadaran yang bersifat rasional, otonom, dan stabil
2. Rasionalitas ditempatkan dalam posisi tertinggi dan satu-satunya kebenaran
3. Cara untuk mengetahui hanya bisa diperoleh lewat ilmu pengetahuan
4. Pengetahuan yang didapat dari ilmu pengetahuan adalah “kebenaran” dan bersifat abadi
5. Kebenaran yang didapat dari ilmu pengetahuan akan mendorong kemajuan
6. Akal adalah adalah sumber yang menentukan sesuatu sebagai benar atau salah
7. Dalam dunia yang yang diatur oleh akal, yang nyata adalah sama dengan yang benar. Tidak ada pertentangan antara keduanya.
8. Ilmu pengetahuan adalah netral dan obyektif
9. Bahasa sebagai cara mengekspresikan, memproduksi dan menyebarkan pengetahuan harus juga bersifat rasional. Karena itu bahasa harus mengungkapkan hal yang nyata sehingga bisa dipersepsi oleh akal.
Dengan melihat beberapa ciri di atas tampak bahwa modernisme secara fundamental adalah mengenai keteraturan dan rasionalitas. Modernisme melihat apapun yang bertentangan dengan dua hal tersebut sebagai penyimpangan. Oleh karena itu modernisme sangat berkepentingan terhadap terciptanya oposisi biner antara “keteraturan” dan “ketidak-teraturan”, sehingga bisa menempatkan yang teratur sebagai yang superior. Dalam masyarakat barat “ketidak-teraturan” tersebut menjadi dalam teori posmodern dikenal sebagai konsep “yang lain”[iii] , di mana “yang lain” bisa berarti kaum gay, lesbian, kaum kulit hitam, non-rasionalis dan seterusnya. Fundamental itu yang kemudian digugat oleh posmodernisme. Lyotard misalnya, menyamakan keteraturan tersebut sebagai totalitas. Kemudian, masih menurut Lyotard, totalitas, keteraturan dan kestabilan tadi dipelihara dengan apa yang disebut “metanarasi”. Contoh dari metanarasi adalah keyakinan bahwa ras kulit putih sebagai ras yang unggul. Berbagai ideologi seperti marxisme, liberalisme, dan sebagainya juga digolongkan dalam metanarasi.
Mengapa narasi? Lyotard menggambarkan relasi sosial manusia melalui konsep “narasi” yaitu cara bagaimana dunia dipresentasikan ke dalam pelbagai konsep, ide, gagasan, dan cerita lewat interpretasi terhadap dunia tersebut, yang membentuk “kesadaran kolektif” tentang sebuah dunia baik itu besar maupun kecil. Gugatan terhadap narasi besar atau pandangan dominan yang selain mengedepankan “universalitas” dan berwatak “totaliter” terhadap dunia ini berarti mengizinkan tampilnya “narasi-narasi kecil”, yaitu narasi-narasi heterogen, yang diceritakan di dalam institusi-institusi lokal yang plural, dengan aturan main, keunikan dan determinasinya sendiri. Gugatan terhadap narasi besar di satu sisi dan pengakuan terhadap narasi kecil di sisi lain, dengan demikian, berarti pengakuan terhadap realitas multikultural. Pengakuan itu kemudian, ketika menjadi sebuah kesadaran rasional dan sebuah praksis, menjadi sebuah pandangan hidup.
Konsep “yang lain” kemudian gugatan atas “metanarasi” itulah yang menjadi katalis bagi berkembangnya teori-teori multikulturalisme sehingga dari sini bisa dilihat titik temu antara posmodernisme dan multikulturalisme itu sendiri. Kaum multikulturalis melihat metanarasi mengucilkan kelompok-kelompok minoritas. Dengan sifat dasarnya metanarasi memusatkan banyak sekali perhatian pada pengalaman kelompok-kelompok mayoritas. Hanya kelompok mayoritas yang bisa bersuara, sementara yang minoritas dimarjinalkan[iv]. Karena minoritas maka mereka dianggap tidak setara dan karena itu tidak perlu didengar. Tidak hanya itu hak-haknya juga dibuat tidak sama bahkan ditindas jika bersuara.
Dengan demikian multikulturalisme menyediakan wadah untuk penampakan “yang lain”. Kehadiran “yang lain” itu harus dipahami tanpa reduksi, atau distorsi. “Yang lain” itu harus tampil dalam soliditas dan keutuhannya masing-masing. Identitas adalah fakta yang eksotis dan dengan demikian mustahil digeneralisasi atau disimplifikasi. Perbedaan diterima sebagai sarana relasi, bukan ancaman desktruktif atau dijadikan alasan untuk menjalankan represi.
Dari paparan diatas bisa dilihat bahwa posmodernisme menciptakan iklim intelektual bagi teoritisi multikulturalisme untuk berkembang. Posmodernisme menyediakan kerangka berpikir bagi multikulturalisme. Dan dari situlah titik temu antara keduanya bisa dilihat.
CATATAN:
[i] Karena sulit untuk didefinisikan akhirnya banyak “olok-olok” atau dalam bahasa Alois A. Nugroho disebut mockery, menyangkut pengertian posmodern. Misalnya mantan wakil presiden amerika Al Gore, menyebutnya sebagai “kombinasi antara narsisme dan nihilisme”. Bahkan tokoh kartun Moe Szyslak dalam serial The Simpson menyebutnya sebagai “aneh dan benar-benar aneh”. Keanehan bisa dirasakan seandainya kita menonton film yang sangat bernuansa posmodern seperti “The Matrix”.
[ii] Istilah modernisme disini penulis gunakan secara “longgar” dalam arti sebagai pembeda dari posmodernisme. Sebenarnya istilah yang lebih tepat adalah “modernity”. Jika modernisme mengacu pada gerakan estetik pada abad ke 20, maka modernity merujuk pada ide filosofis,etis dan politis yang menjadi landasan bagi modernisme yang akarnya bisa ditelusuri pada jaman pencerahan eropa.
[iii] Dalam konsep kepustakaan posmodern di Indonesia konsep “the other” pada awalnya diterjemahkan sebagai “yang lain”, tapi pada terbitan buku-buku tentang posmodern mutakhir “the other” diterjemahkan sebagai “Liyan”. Lihat misalnya buku “Jacques Lacan, Diskurus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis” karangan March Blacher yang diterbitkan penerbit Jalasutra.
[iv] Dalam istilah Gayatri Spivak kelompok yang dipinggirkan disebut sebagai “sub-altern”. Bisakah sub-altern berbicara adalah adagium yang selalu dilontarkan Spivak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar