Minggu, 27 Februari 2011

MUHAMAD SAFII GOZALI: PARADIGMA TENTANGF PLURALISME AGAMA PEMIKIRAN DI INDONESIA

2. Paradigma dan Bentuk-bentuk Pluralisme Agama
Menurut Anis Malik Thoha, tren-tren pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, pertama, humanisme sekuler, yaitu suatu sistem etika (ethical system) yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaran-ajaran agama. Kedua, teologi global (global theology), yaitu sebuah wacana atau pemikiran keagamaan lintar kultur. Ketiga, tren sinkretisme, yaitu suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampur unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak-belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru) dan Keempat, hikmah abadi yaitu "hakikat eksoteris" yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk "hakikat-hakikat eksoteris" dengan bahasa yang berbeda. Hakikat yang pertama adalah "hakikat transenden" yang tunggal, sementara yang kedua adalah “hakikat religius" yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam dan saling berlawanan dari hakikat transenden tadi.
Biyanto menyatakan bahwa, sedikitnya ada dua varian dalam wacana pluralisme keagamaan berkembang dalam perbincangan adalah; (a) kelompok penerima pluralisme keagamaan (soft pluralism; hard pluralisme; dan antara soft dan hard pluralism); dan (b) kelompok penolak pluralisme keagamaan (moderat; dan radikal). Munculnya perbedaan disebabkan oleh perbedaan asal-usul atau latar belakang sosial dan pendidikan.
Sehingga pada kesempatan lain Mukti Ali mengajukan beberapa pemikiran untuk mencapai suatu kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Di sini ada tiga pengertian pluralisme kontemporer yang telah dikembangkan, dan dijadikan dasar analisis bahwa dalam teologi maupun sejarah Islam. Ketiga pengertian itu adalah:
Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya, untuk membangun peradaban bersama. Dalam pengertian ini, seperti tampak dalam sejarah Islam, pluralisme lebih dari sekedar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, “Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.
Kedua, pluralisme dengan pengertian yang pertama, berarti mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain. Tetapi pluralisme melebihi toleransi. Pluralisme mengandaikan pengenalan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga ada mutual understanding yang membuat satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif, untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban. Ini telah terjadi dalam sejarah Islam. Spanyol (Andalusia) menjadi contoh yang paling ekspresif.
Ketiga, berdasarkan pengertian kedua, maka pluralisme bukan relativisme. Pengenalan yang mendalam atas yang lain akan membawa konsekuensi mengakui sepenuhnya nilai-nilai dari kelompok yang lain. Toleransi aktif ini menolak paham relativisme, misalnya pernyataan simplistis, “bahwa semua agama itu sama saja”. Justru yang ditekankan keberbedaan itu merupakan potensi besar, untuk komitmen bersama membangun toleransi aktif, untuk membangun peradaban kemanusiaan.
Ketiga pengertian pluralisme ini, secara teologis ini berarti bahwa manusia harus memang harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara terbaik (fastabiqûl khairât, “berlomba-lomba dalam kebaikan”, dalam istilah Al-Qur′an) secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir mengenai kebenaran kepada Tuhan. Karena tidak ada satu carapun yang bisa dipergunakan secara objektif untuk mencapai kesepakatan mengenai kebenaran yang mutlak ini.
Namun demikian, gerakan puritanisme yang konservatif didalam Muhammadiyah tetap ada. Sehingga, Muhammadiyah boleh dibilang telat dalam melahirkan kader-kader yang progresif dan liberal. Kalaupun ada, kelompok-kelompok yang progresif tersebut tidak terlalu menonjol sebagaimana kader-kader NU. Setelah kran reformasi dibuka, banyak kader-kader Muhammadiyah yang mulai muncul dengan ide-ide segar.
Menurut Sukidi Mulyadi, meruyaknya kader-kader Liberal-Progresif di tubuh Muhammadiyah tidak lepas dari peranan Ahmad Syafii Maarif. Ahmad Syafii Maarif dalam hal ini merupakan transformator yang berperan besar dalam melahirkan kader-kader Liberal-Progresif. Bermunculannya kader Muhammadiyah yang Liberal dan Progresif hampir bersamaan ketika Ahmad Syafii Maarif memimpin Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar