Minggu, 27 Februari 2011

MUHAMAD SAFII GOZALI

BAB II

PLURALISME AGAMA DAN DEMOKRASI



A. Akar Sejarah Pluralisme Agama
Wacana pluralisme ini telah merubah realitas keberagaman agama-agama serta mempengaruhi teologi yang ada pada tiap agama-agama untuk dirubah. Contoh kasus adalah ungkapan Azyumardi Azra mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari berbagai macam bentuk dan Islam itu bukan satu tetapi Islam adalah banyak macam dan alirannya.
Oleh karenanya, perdebatan pluralisme agama ini menjadi salah satu diskursus yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda NU dan Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing masing.
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme agama muncul pada masa pencerahan (enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pluralisme agama dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain dipengaruhi oleh tuntutan akan kebenaran mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor sosio-politis dan faktor ilmiah.
Apabila dirunut kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang ajaran agama. Kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat.
Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama, pluralisme agama adalah respon teologis terhadap political pluralism (liberalisasi politik) yang telah cukup lama digulirkan sebagai wacana oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikkan oleh Amerika Serikat. Kecenderungan umum dunia Barat pada waktu itu telah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka relegious pluralism pada hakikatnya adalah gerakan politik par excellen dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama "by virtue of being human", tidak ada ras, suku bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.
Menurut Harry Truman Simanjuntak, pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini sudah muncul sejak kehadiran manusia purba di Nusantara. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak prasejarah itu telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia. Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan sebuah keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tidak terbantahkan.
Latar belakang terjadinya pluralisme dan multikulturalisme di Nusantara, yang merupakan sejarah panjang terbentuknya keindonesiaan, ia gambarkan secara detail lewat berbagai “persentuhan” budaya pada masa prasejarah. Temuan-temuan fosil dari lapisan plestosen bawah di Sangiran, misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitupun jenis dan bahan peralatan yang digunakan.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan.
Kompleksitas masyarakat juga tampak di bidang sosial. “Salah satu keragaman budaya yang paling menonjol pada bahasa, yang merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal, Austronesia. Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar budaya bangsa Indonesia,” paparnya. Kompleksitas kehidupan dan interaksi masyarakat dengan “dunia luar” telah pula ikut menciptakan kompleksitas budaya.“Kalau sekarang muncul eksklusivisme kelompok yang kian menonjol, dimana rasa persaudaraan dan semangat kebersamaan semakin hilang, dan konflik-konflik sosial yang menafikan kemajemukan muncul di berbagai tempat, semua itu terjadi karena sebagai bangsa kita kurang memahami fondasi keindonesiaan,” paparnya.
Isu pluralitas agama dan budaya merupakan salah satu dari dua isu aktual yang tengah dihadapi era global ini oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama guna menyongsong masa depannya disamping isu konsumerisme-materialisme yang menepikan aspek spiritualitas manusia.
Dalam wilayah teologi di luar Islam sudah terjadi sejak awal abad 20, oleh teolog-teolog dari gereja reformasi dan aliran teologi pembebasan, yaitu teologi pluralis, khususnya dalam kerangka menghargai kehadiran dan eksistensi agam lain. Teologi ini dimulai ketika Konsili Vatikan II, teolog Katholik mengubah paham teologinya dari “tidak ada keselamatan di luar gereja menjadi keselamatan ada dimana-mana”.
Pluralisme berasal dari bahasa Latin pluralis (jamak). Pluralisme dicirikan oleh keyakinan-keyakinan seperti berikut ini;
1. Realitas fundamental bersifat jamak; berbeda dengan dualism (yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada 2) dan monism yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu);
2. Ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir, dan pada dirinya independen;
3. Alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk. Tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.
Dalam Kamus Filsafat diterangkan juga beberapa pandangan filsuf tentang pluralisme keterkaitannya dengan monisme.
1. Realitas tidak tersusun satu substansi yang unik atau salah satu dari jenis substansi;
2. Realitas dapat dipecahkan kedalam sejumlah lingkungan yang berbeda yang sama sekali tidak dapat direduksikan kepada suatu kesatuan. Gagasan ini dapat dilihat dalam bidang ontologi saat eksistensi disimpulkan dari banyak prinsip mutlak, atau dalam bidang etika saat nilai sama sekali terpisahkan dari eksistensi (misalnya dalam filsafat Nilai Neo-Kantian);
Seseorang juga dapat bicara tentang pluralisme sebagai,
a. Dalam bidang sosial, yaitu sejauh masyarakat dipandang sebagai tersusun dari pelbagai ragam kelompok yang relatif independen dari organisasi yang mewakili bidang-bidang dan pekerjaan yang berbeda-beda. Alasan untuk ini ialah bahwa semua nilai yang sungguh-sungguh manusiawi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan masyarakat. Bertentangan dengan ini adalah monism totaliter yang hanya mengenal negara sebagai sumber dari semua kekuasaan untuk mengatur masyarakat.
Masyarakat modern cenderung kearah,
b. Pluralisme ekstrim. Paham ini menyatakan bahwa semua kehidupan sosial hendaknya diatur semata-mata menurut sudut-sudut pandangan dari kelompok-kelompok individualistik. Dalam situasi ini, dalil atau pembelaan khusus dari kelompok-kelompok tertentu dapat menjadi ancaman yang menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa (anarki) atau membiarkan otoritas sipil menjadi barang mainan. Ini dapat dengan mudah menjurus kepada penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas (diktator mayoritas).
Berkaitan dengan pluralisme sosiologis adalah,
c. Pluralisme filosofis, disini orang-orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Secara mendasar, berkaitan dengan prinsip-prinsip pertama khususnya berkaitan dengan agama dan makna terdalam dari kehidupan manusia. Situasi dapat menimbulkan konflik-konflik yang mendalam, khususnya dalam bidang-bidang dimana suatu sistem nilai yang umum harus diandaikan supaya sampai pada tindakan sosial dan politik yang umum dalam suatu masyarakat tertentu. Konflik seperti itu hanya dapat diatasi dengan mengakui bahwa kita semua memiliki sesuatu secara umum melalui pemilihan martabat manusia yang sama;
Tipe lain adalah,
d. Pluralisme yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan yang menganggap semua keyakinan filosofis dan religious dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.
Persoalan pluralisme dan multikulturalisme yang bukan hal baru dalam sejarah agama-agama , semakin menegaskan dirinya sebagai persoalan urgen dan sublim bagi umat beragama ketika manusia dihadapkan pada suatu masa yang disebut dengan zaman pasca modern. Membicarakan kemajemukan (baca: pluralisme agama), meminjam istilah Amin Abdullah, ibarat “put a new wine in the old bottle”. Botolnya tetap itu juga, dalam arti bahwa kemajemukan adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada. Hanya saja cara membuat minuman anggur akan bisa terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan cara pembuatan minuman yang ada.
M. Rasjidi mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara obyektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Ia secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (obyek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang Al-Qur′an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang Al-Qur′an tetapi juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel memuat/ mengandung Kalam Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar