Minggu, 27 Februari 2011

PLURALISME AGAMA MENURUT PEMIKIR ISLAM EKSKLUSIF DI INDONESIA : REVIVALISME

1. Revivalisme Pra-Modernis
Kelompok Islam Radikal di Indonesia–yang kemudian dikenal dengan-Gerakan Salafi Militan tumbuh subur ketika kekuasaan Orde Baru tumbang. Di era pemerintahan Presiden Habibi, Gerakan Salafi Militan mengalami euforia yang ditandai dengan berdirinya Front Pembela Islam (FPI) yang dideklarasikan di Pondok Pesantren Al-Umm Cempaka Putih Ciputat pada 17 Agustus 1998 yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab. Laskar Jihad Ahlu al-Sunnah meskipun berdirinya organisasi ini dilatar belakangi oleh konflik di Ambon, tetapi orientasi perjuangan kelompok ini mengembangkan aliran Wahabi di Indoneia yang dianggap sebagai gerakan Salafi. Laskar Jihad diresmikan pada 14 Februari 1998 dengan panglima Dja’far Umar Thalib.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dideklarasikan pada tanggal 7 Agustus 2008 sebagai kesimpulan dari kongres MMI di Yogyakarta yang menetapkan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Amir Mujahidin. Selain itu, terdapat sayap yang berkonsentrasi untuk mengorganisir generasi muda antara lain, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang mengusung khilafah Islamiyah ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an dan lebih memokuskan perjuangan di kampus-kampus di seluruh Indonesia. KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan HAMMAS (Himpunan Aksi Mahasiswa Muslim antar Kampus).
Bagi kelompok Islam radikal seperti HTI, MMI, dan FPI diatas, paham pluralisme agama ditentang keras karena bertentangan dengan Islam (akidah). Jubir HTI, Ismail Yusanto sependapat dengan Anis Malik Thoha yang dengan keras juga dengan sangat kritis menolak pluralisme agama karena merupakan absurd. Pluralisme agama sangat bertentangan dengan QS. Ali-Imran [3]:[85].
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين

Berdasarkan ayat itu, Ismail Yusanto yakin bahwa kebenaran hanyalah milik monopoli Islam saja.
Bagi Ismail Yusanto, Jubir HTI, antara pluralitas dan pluralisme sangat berbeda. Pluralitas adalah sebuah keadaan dimana di tengah masyarakat terdapat banyak ragam ras, suku, bangsa, bahasa dan agama. Ini adalah sebuah kenyataan masyarakat sebagai hasil dari proses-proses sosiologis, biologis dan historis yang telah berjalan selama ini. Menurutnya, secara biologis, Allah Swt memang menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa dengan warna kulit, bentuk muka dan rambut serta bahasa yang berbeda-beda. Sedang secara sosiologis, karena manusia bebas memilih, maka wajar bila manusia mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Jadi, ragam agama, sebagaimana juga ragam ras, suku, bangsa dan bahasa adalah kenyataan yang sangat manusiawi, karenanya semua harus kita terima sebagai sebuah kenyataan masyarakat.
Menurutnya, berbeda dengan pluralitas, pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk menuju titik kebenaran yang sama (other way to the same truth). Karena itu, tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun bahwa agama itulah yang paling benar, dan juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau truth salvation bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat dari siksa neraka.
Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan menghantarkan pemeluknya menuju surga. HTI memandang, pluralitas dalam arti keragaman ras, suku, agama, bangsa, bahasa dan agama harus kita terima. Sedang pluralisme, apalagi pluralisme agama harus kita tolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam.
Sedangkan menurut Shidiq al-Jawi, tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Akidahnya, sehingga hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Akidah Islam adalah rahasia atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan bisa menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Akidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan, agar umat Islam takluk dan tunduk patuh sepenuh-penuhnya kepada kaum penjajah kafir. Itulah tujuan sebenarnya dari wacana pluralisme agama ini, tidak ada yang lain.
Sebelum perayaan Natal 25 Desember 2010, Ketua FPI Habib Rizieq Shihab dalam sebuah wawancara akan berjanji menciptakan situasi yang kondusif selama perayaan Natal. Habib Rizieq mengajak kepada semua umat beragama untuk membiarkan umat Kristiani merayakan Natal dengan aman dan tenang.
Ia berharap agar umat Kristiani merayakan perayaan Natal dengan tenang, aman, tanpa gangguan dari pihak manapun juga. Karena ajaran Islam tidak membenarkan untuk mengganggu umat agama mana pun juga. Hal itu disampaikan Habib Rizieq usai bertemu Kapolda Metro Jaya Irjen Sutarman di Mapolda Metro Jaya. Habib Rizieq mengungkapkan, sebagaimana perayaan Natal tahun-tahun sebelumnya, FPI mengimbau persatuan umat Kristiani pihak KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja Indonesia) untuk merayakan Natal sesuai aturan, tata tertib, dan jangan sampai ada hal-hal yang mengundang kontroversial.
Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI tidak akan mengganggu perayaan Natal yang merupakan hak umat Kristiani. Oleh karena itu ia menganjurkan untuk membiarkan umat Kristiani merayakan Natal dengan senang dan gembira.
Menurut Habib Rizieq, biarkan umat Islam meyakini agama Islam paling benar, selain Islam tidak benar. Walaupun ia dengan sadar mengakui keberbolehan umat lain mengklaim kebenarannya masing-maisng, akan tetai dirinya dengan sangat tegas bahwa diluar Islam tidak ada jalan keselamatan. Seperti halnya pernyataan MUI. Menurutnya, yang penting antara umat satu dengan lainnya tidak saling mengganggu, melecehkan, bahkan salin mencederai. Natal itu hak beribadah mereka, hak keyakinan mereka yang harus dihormati oleh seluruh bangsa Indonesia. Di sisi lain, menurut pemahaman Habib Rizieq, keragaman bangsa dan agama merupakan sebuah bentuk pluralitas. Namun begitu ia menolak pluralisme sebagai upaya mencampuradukkan agama. Oleh karena itu, ia sangat mendukung fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar