Selasa, 22 Maret 2011

AHLI WARIS, BESARNYA PEMBAGIAN MASING-MASING DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS ATAS HARTA PENINGGALAN


AHLI WARIS, BESARNYA PEMBAGIAN MASING-MASING DAN
KEWAJIBAN AHLI WARIS ATAS HARTA PENINGGALAN
oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali


Pendahuluan
Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.
Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.
Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid."
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hukum waris merupakan salah satu wilayah hukum yang terabaikan dalam kampaye pemerintah untuk menasionalisasi hukum. Pengabaian tersebut selaras dengan sikap pemerintah terhadap tatanan normatif non-negara, yang tidak saja merupakan hasil dari ideologi hukum nasional yang berhulu pada UUD yang mendahulukan persatuan dan kesatuan, tapi juga karena negara seakan sudah kehabisan akal bagaimana menangani keragaman tradisi kewarisan yang ada di tengah masyarakat.
Persoalannya bukan semata hukum yang bagaimana dan seperti apakah yang akan digunakan sebagai pijakan utama dalam hukum waris nasional (apakah tradisi hukum Islam, hukum adat atau hukum sipil Barat) tapi lebih pada bagaimana menyatukan praktik-praktik yang selama ini diikuti[1].

A.     Ahli Waris dan Besarnya Bagian Masing-masing
1.      Pengertian Ahli Waris
Ahli waris ada dua macam, pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak, atau menurut sebagian mazhab Hanafiyah, karena sebab perjanjian (janji setia). Yang terakhir ini, di Indonesia tidak lagi populer, karena hampir tidak pernah diketahui ada yang mempraktekkannya. Dalam rumusan kompilasi, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (pasal 171 huruf c KHI). Dengan demikian, yang dimaksud dengan ahli waris oleh kompilasi, adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani’ al-irs).
Adapun yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (pasal 171 huruf b KHI). Harta peninggalan atau tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (pasal 171 huruf d KHI). Ini dibedakan dengan harta warisan yang siap dibagi waris, yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (pasal 171 huruf e KHI).
Dilihat dari bagian yang diterima, atau berhak atau tidaknya mereka menerima warisan, ahli waris dibedakan menjadi tiga:
1.      Ahli waris ashab al-furud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya, seperti 1/2, 1/3, dan lain-lain.
2.      Ahli waris ashab al-‘usubah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-furud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain-lain.
Ada juga ahli waris yang selain menerima bagian tertentu (ashab al-furud) juga menerima sisa, seperti ayah.
Dalam kompilasi kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
1.      a.   menurut hubungan darah:
o   golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
o   golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
b.   menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
2.      Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda (pasal 174 KHI)
3.      Ahli waris zawi al-arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima bagian. Kecuali apabila ahli waris yang termasuk ashab al-furud dan ashab al-‘usubah tidak ada. Contohnya, cucu perempuan garis perempuan (bint bint)
Ahli waris zawi al-arham ini tidak dijelaskan dalam kompilasi, boleh jadi pertimbangannya dalam kehidupan sekarang keberadaan zawi al-arham jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Namun karena keungkinan adanya zawi al-arham merupakan sesuatu yang bisa terjadi, maka di sini tetap diuraikan. Kadang-kadang untuk mengatasi keberadaan zawi al-arham, ditempuh melalui wasiat wajibah, atau wasiat. Karena bisa saja, zawi al-arham yang mempunyai hubungan darah sangat dekat, tidak berhak menerima bagian warisan.
Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi:
1.      Ahli waris hajib yaitu ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya menghalangi hak waris ahli waris yang jauh hubungannya. Contohnya, anak laki-laki menjadi penghalang bagi saudara perempuan.
2.      Ahli waris mahjub yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan terhalang untuk mewarisi
Halangan mewarisi karena dekat jauhnya hubungan kekerabatan di sini, bersifat temporer, artinya apabila ahli waris hajib tidak ada, maka ahli waris berikutnya dapat menerima warisan. Berbeda dengan penghalang mewarisi yang disebut dengan mawani’ irs.
Halangan (hijab) dapat berbentuk, pertama, menghalangi secara total (hijab hirman), seperti saudara perempuan sekandung mestinya menerima bagian 1/2, karena bersama dengan anak laki-laki yang berhak menerima bagian sisa (‘asabah), maka saudara perempuan sekandung tidak dapat menerima bagian. Kedua, menghalangi sebagian atau mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris (hijab nuqsan). Contohnya ibu, sedianya menerima bagian 1/3 jika tidak bersama dengan anak atau saudara lebih dari dua orang. Apabila ibu bersama dengan anak atau saudara lebih dari dua orang, maka bagian ibu berkurang menjadi 1/6 bagian.
Prisipnya ahli waris yang menghalangi (hajib) adalah mereka yang lebih dekat hubungan kekerabatannya, sedangkan ahli waris yang terhijab (mahjub) adalah mereka yang jauh hubungan kekerabatannya.
Pasal 174 KHI telah menyebutkan ahli waris menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan secara garis besar tidak dirinci secara detail. Apabila ahli waris yang dicantumkan pada pasal 174 KHI tersebut dirinci, ahli waris laki-laki 13 (tiga belas) orang, ahli waris perempuan 8 (delapan) orang, jadi seluruhnya 21 orang:
1.      Ahli waris nasabiyah laki-laki:
1)     Ayah
2)     Kakek (dari garis ayah)
3)     Anak laki-laki
4)     Cucu laki-laki garis laki-laki
5)     Saudara laki-laki sekandung
6)     Saudara laki-laki seayah
7)     Saudara laki-laki seibu
8)     Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
9)     Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
10) Paman, saudara laki-laki ayah sekandung
11) Paman, saudara laki-laki ayah seayah
12) Anak laki-laki paman sekandung
13) Anak laki-laki paman seayah
Urutan tersebut disusun berdasarkan kedekatan kekerabatan ahli waris tersebut dengan si pewaris. Kalau semua ahli waris tersebut ada, maka yang mendapat warisan adalah anak laki-laki dan ayah.
2.      Ahli waris nasabiyah perempuan:
1)     Ibu
2)     Nenek dari garis ibu
3)     Nenek dari garis ayah
4)     Anak perempuan
5)     Cucu perempuan garis laki-laki
6)     Saudara perempuan sekandung
7)     Saudara perempuan seayah
8)     Saudara perempuan seibu
Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika pewaris meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah ibi, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan sekandung.
Jika semua ahli waris sababiyah laki-laki dan perempuan tersebut ada, maka yang dapat menerima warisan adalah ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan. Adapun ahli waris sababiyah, terdiri dari duda (suami) atau janda (istri).
Dan apabila semua ahli waris nasabiyah dan sababiyah tersebut ada pasa saat pewaris meninggal, maka yang berhak menerima bagian adalah: anak laki-laki dan perempuan, ayah, ibu, janda atau duda. Dasar hukum bagian waris yang diterima oleh ahli waris tersbeut adalah QS. Al-Nisa’, 4: 11-12[2].
Menurut A. Rachmad Budiono[3], ahli waris dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Ahli waris menurut sistem kewarisan patrilineal, terdiri dari:
1)     Ahli waris dzul faraid
2)     Ahli waris asabah
3)     Ahli waris dzul arham
b.      Ahli waris menurut sistem kewarisan bilateral, terdiri dari:
1)     Ahli waris dzul faraid
2)     Ahli waris dzul qarabat
3)     Mawali

2.      Besarnya bagian masing-masing
a.      Ahli waris Nasabiyah
Dibedakan menjadi dua, pertama, ashab al-furud al-muqaddarah yaitu ahli waris yang menerima bagian tertentu yang telah ditentukan Al-Qur’an. Kedua,ashab al-‘usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah diambil oleh ashab al-furu al-muqaddarah.
Besarnya bagian tertentu dijelaskan dalam al-Qur’an, mulai dari ½, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Adapun bagian sisa ada tiga kategori, pertama, ‘asabah bi nafsih yaitu bagian sisa yang diterima karena status dirinya, seperti: anak laki-laki, cucu laki-laki garis laki-laki, atau saudara laki-laki sekandung. Kedua, ‘asabah bi al-gair yaitu bagian sisa yang diterima oleh ahli waris karena bersamaan dengan ahli waris lain yang telah menerima sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia kembali menerima bagian tertentu semula. Dalam penerimaan ‘asabah bi al-gair ini berlaku ketentuan laki-laki menerima bagian dua kali bagian perempuan.
Ahli waris yang menerima bagian ‘asabah bi al-gair adalah sebagai berikut:
1.      Anak perempuan bersama anak laki-laki
2.      Cucu perempuan garis laki-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki
3.      Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
Ketiga, ‘asabah ma’a al-gair yaitu bagian sisa diterima ahli waris karena bersama dengan ahli waris kain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tersebut tidak ada, maka ia kembali mendapat bagian tertentu seperti semula. Ahli warisnya terdiri dari; saudara perempuan sekandung baik satu atau lebih, ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan, dan saudara perempuan seayah (satu atau lebih) ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan.
Bagian warisan ashab al-furud al-muqaddarah menurut urutan pasal dalam KHI:
1.      Anak perempuan; menerima bagian;
-          1/2 bila hanya seorang;
-          2/3 bila dua orang atau lebih;
-          Sisa, bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian anak laki-laki.
(QS. Al-Nisa’, 4: 11)
Dinyatakan dalam pasal 176 KHI;
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
2.      Ayah, menerima bagian:
-          sisa, bila tidak ada far’u waris (anak atau cucu);
-          1/6 bila bersama anak laki-laki (dan atau anak perempuan);
-          1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja;
-          2/3 sisa dalam masalah garrawain (ahli warisnya terdiri dari: suami/isteri, ibu dan ayah)
Pasal 177 KHI menyatakan bagian ayah yang tidak lazim dalam fiqh, karena biasanya ayah bagiannya adalah sisa apabila tidak ada anak.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. (QS. Al-Nisa’, 4: 11)
3.      Ibu, menerima bagian;
-          1/6 bila ada anak atau dua saudara lebih;
-          1/3 bila tidak ada anak atau saudara dua lebih, dan atau bersama satu orang saudara saja;
-          1/3 sisa dalam masalah garrawain
(QS. An-Nisa’, 4: 11)
Pasal 178 KHI menyatakan:
(1)   Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2)   Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
4.      Saudara perempuan seibu, menerima bagian:
-          1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah
-          1/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah, saudara-saudara seibu –baik laki-laki maupun perempuan—terhijab oleh anak (laki-laki maupun perempuan) dan ayah.
(Lihat QS. Al-Nisa’, 4: 12)
Pasal 181 KHI:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian
5.      Saudara perempuan sekandung, menerima;
-          ½ satu orag, tidak ada anak dan ayah,
-          2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah,
-          Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian saudara laki-laki (‘asabah bil gair)
-          Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki (‘asabah ma’al gair)
6.      Saudara perempuan seayah, menerima bagian:
-          ½ satu orang, tidak ada anak dan ayah,
-          2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah,
-          Sisa, bersama saudara laki-laki seayah,
-          1/6 bersama satu saudara perempuan sekandung, sebagai pelengkap 2/3 (sulusain)
-          Sisa (asabah ma’al gair) karena ada anak dan cucu perempuan garis laki-laki
(QS. Al-Nisa’, 4: 176)
Dalam pasal 182 ditegaskan;
Bila seorang maninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua beranding satu bagi saudara perempuan.
7.      Kakek dari garis ayah (prinsipnya dianalogikan kepada ayah, kecuali dalam keadaan bersama-sama saudara-saudara sekandung atau seayah, ada perbedaan pendapat), menerima bagian;
-          1/6 bila bersama anak atau cucu,
-          Sisa, tidak ada anak atau cucu,
-          1/6 + sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan,
-          1/3 / muqasamah dalam keadaan bersama saudara-saudara sekandung atau seayah, memilih yang menguntungkan
-          1/6 / 1/3 x sisa / muqasamah sisa bersama saudara-saudara sekandung atau seayah dan ahli waris lain, dengan ketentuan memilih yang menguntungkan.
8.      Nenek, menerima bagian:
-          1/6 baik seorang atau lebih
9.      Cucu perempuan garis laki-laki, menerima bagian:
-          ½ satu orang tidak ada mu’assib (penyebab menerima sisa),
-          2/3 dua orang atau lebih,
-          1/6 bersama satu anak perempuan (penyempurna 2/3)
-          Sisa (asabah bil gair) bersama cucu laki-laki garis laki-laki

b.     Ahli waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah semuanya menerima bagian furud al muqaddarah sebagai berikut:
1.      Suami, menerima;
-          ½ bila tidak ada anak atau cucu
-          ¼ bila ada anak atau cucu
2.      Isteri, meneria:
-          ¼ bila tidak ada anak atau cucu
-          1/8 bila ada anak atau cucu
(QS. An-Nisa’, 4: 12)
Bagian suami dan istri (duda atau janda) dijelaskan dalam KHI pasal 179 dan 180:
Pasal 179:
Duda mendapat separuh bagian bila pewarisan tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
Pasal 180;
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.

B.     Kewajiban Ahli Waris atas Harta Peninggalan
Dalam ketentuan umum pasal 172 huruf d KHI dijelaskan, bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Dalam terminolog fiqh, harta peninggalan disebut dengan tirkah. Agar harta peninggalan tersebut, dapat dibagi sebagai harta warisan, maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Pasal 171 huruf c menjelaskan, harta warisan yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

1.      Biaya Keperluan Sakit dan Perawatan Jenazah
Biaya keperluan pengobatan ketika si pewaris sakit menjadi beban dari harta peninggalan pewaris. Demikian juga biaya perawatan jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, mengusung dan menguburkan jenazah. Besar biaya tersebut diselesaikan secara wajar dan makruf. Tidak boleh terlalu kurang, juga tidak boleh berlebihan. Firman Allah memberi petunjuk:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ
ِArtinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Bila harta peninggalannya tidak mencukupi biaya tersebut bagaimana? Para Ulama berbeda pendapat,Ulaman Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa kewajiban menanggung biaya perawatan tersebut terbatas keluarga yang semasa hidupnya ditanggung oleh si mati. Ulama lain berpendapat lebih luas, yaitu keluarga si mati secara umum ikut bertanggung jawab, jika harta peninggalan tidan mencukupinya.
Apabila keluarga si mati tidak mampu, maka biaya perawatan jenazah diambilkan dari Baitul Mal, atau dalam bahasa Kompilasi disebut Balai Harta Keagamaan. Imam Malik berpendapat cukup berani bahwa apabila si mati tidak memiliki harta peninggalan, maka perawatan jenazah langsung dibebankan ke Baitul Mal atau Balai Harta Keagamaan, tidak menjadi tanggung jawab keluarga.
Sementara pendapat mayoritas Ulama patut dipedomani, sebaiknya yang bertanggung jawab adalah keluarga untuk menyelesaikan masalah pewarisan, apakah meninggalkan harta atau tidak. Mereka yang menerima, jika pewaris meninggalkan harta, maka mereka pula yang semestinya bertanggung jawab.

2.      Pelunasan Utang
Utang merupakan tanggung jawab yang harus dibayar oleh orang yang utag sesuai dengan waktu yang ditentukan. Apabila orang yang utag meninggal dunia, maka pada prinsipnya tanggung jawab membayarnya beralih kepada keluarganya. Umumnya utang yang menjadi tanggung jawab keluarga adalah bersifat antar individu. Karena itu Islam menganjurkan agar transaksi utang piutang dicatat secara tertib.

3.      Pelaksanaan Wasiat
Menurut Abu Dawud dan ulama salaf, wasiat adalah perbuatan wajib. Kalau misalnya pewaris tidak berwasiat pada saat-saat menjelang ajalnya, harta peninggalannya diambil maksimal 1/3 untuk memenuhi wasiat, sebagai wasiat wajibah. Dasarnya surat al-Baqarah, 2: 180;
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Imam Malik berpendapat bahwa apabila si mati tidak berwasiat, hartanya tidak perlu diambil untuk keperluan wasiat. Ini karena Malik tidak menganggap bahwa wasiat itu perbuatan wajib. Sementara Imam Syafii menyatakan meskipun si mati tidak berwasiat, hartanya tetap dikurangi 1/3 untuk wasiat.
Mayoritas Ulama berkesimpulan bahwa wasiat tidak fardu ‘ain, karena itu jika si mati tidak berwasiat, hartanya tidak diambil untuk wasiat, jika berwasiat maka hartanya wajib diambil1/3 untuk wasiat.
Dalam KHI pasal 171 huruf f menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Dalam pasal 194 KHI diatur mengenai ketentuan wasiat yaitu:
(1)   Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain.
(2)   Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat
(3)   Pemilikan terhadap harta seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Teknis pelaksanaan wasiat, dijelaskan dalam pasal 195 yang berbunyi:
(1)   Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris
(2)   Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3)   Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4)   Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan Notaris.
Dari uraian di atas, dalam rumusan KHI dinyatakan dalam pasal 175:
(1)   Kewajiban ahli waris terhapa pewaris adalah:
a.      mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b.      menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang
c.       menyelesaikan wasiat pewaris
d.      membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak
(2)   Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa ahli waris terdiri dari dua macam, pertama ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah. Dilihat dari bagian diterimanya ahli waris dibagi menjadi tiga, pertama  ashhab al-furud, kedua ashhab al-‘ushubah, dan ketiga zawi al-arham. Dalam Kompilasi Hukum Islam ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu; pertama menurut hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan, kedua apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Sedang dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ahli waris hajib dan ahli waris mahjub.
Besarnya bagian ahli waris dibedakan menjadi dua, pertama, ashab al-furud al-muqaddarah yaitu ahli waris yang menerima bagian tertentu yang telah ditentukan Al-Qur’an. Kedua,ashab al-‘usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah diambil oleh ashab al-furu al-muqaddarah. Sedang kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan ada tiga, yaitu biaya keperluan sakit dan perawatan jenazah, pelunasan utang dan pelaksanaan wasiat.

DAFTAR PUSTAKA
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistim Hukum Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Alvabet, 2008)
Rachmad Budiono, A., Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. ke 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Rajawali Press, 1997)





[1] Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistim Hukum Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Alvabet, 2008): 437
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Rajawali Press, 1997): 383-388
[3] A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. ke 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999): 14-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar