Rabu, 09 Maret 2011

PLURALISME AGAMA DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA

PLURALISME AGAMA DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA
(Studi Komparatif Pemikiran Gus Dur dan Buya Syafii)
oleh: Muhamad Safii Gozali

“PERBEDAAN merupakan sesuatu yang diakui Islam. Sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan. Sampai sekarang, saya tidak bisa membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Oke, keimanan mereka salah menurut pandangan kita. Akan tetapi mereka tetap manusia yang harus kita perlakukan sama” Oleh karenanya, Saya ingin menjadi guru. Saya tidak mau orang ngomong sesuatu tanpa mengerti duduk perkaranya. Ada orang yang anti komunisme tanpa mengerti Komunisme itu apa. Ada yang anti neo-liberalisme tanpa tahu Liberalisme itu apa. Kita melarangnya itu kan… karena dangkalnya pemahaman kita akan Islam yang Universal, Islam yang rahmatan lil’alamin…?”

“SETELAH aku banyak belajar dan ngangsu kawruh dengan berbagai cendekiawan Muslim, aku tidak lagi berucap, “Professor Rahman (Fazlur Rahman-red), please give me one fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state. Sebuah ISLAM yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya”

A. KAJIAN PUSTAKA
Topik pluralisme setidak-tidaknya sudah banyak yang menuliskan dalam bentuk buku. Akan tetapi yang menulis dalam bentuk hasil penelitian “teks” dan “konteks” mendalam belum begitu banyak. Penelitian-penelitian ini antara lain;
Pertama, Disertasi dari Anis Malik Thoha dengan judul,“Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis”. Disertasi ini secara garis besar memuat bantahan-bantahan terhadap nihilisme dan eksklusivisme paham pluralis agama (pluralisme agama). Menurutnya, pluralisme agama justru akan bersikap tertutup dan tidak universal sebagaimana pluralisme yang selama ini dipahami; Anis Malik Thoha menolak gagasan pluralisme agama, karena pluralisme agama bukan seperti yang diyakini pengusung pluralisme tetapi malah sebaliknya menjadi eksklusif. Sepengetahuan penulis, kajian Anis ini penuh dengan nuansa egoisme kelompok radikal sehingga penyimpulannya pun sudah semestinya menolak pluralisme. Kajian ini tampak sekali mudah memvonis kajian dari Barat/ non-Islam sebagai kajian kafir, kajian yang ingin merusak Islam. Menurut penulis, kajian ini lebih bersifat Islam sebagai “doktrin” bukan Islam sebagai “ilmu”. Jadi dari awal kajiannya sudah bisa ditebak untuk menolak budaya-budaya kebaikan (walaupun ada keburukannya) dari Barat secara generalisir. Kajian ini juga berangkat dari teks pemahaman Islam-nya (Anis dan gerakan radikal saja) tanpa melibatkan keilmuan lainnya. Akan tetapi kajian ini tampak juga ketidak-konsistenan terhadap Barat. Seperti menerima ilmu-ilmu lainnya dari Barat. Intinya kajian ini “tektualis radikal-fundamentalis-eksklusif”.
Kedua, Disertasi dari Abdul Moqsith Ghazali dengan judul, “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur′an”. Disertasi ini berbeda dengan disertasi Anis Malik Thoha. Abdul Moqsith Ghazali menerima gagasan pluralisme agama dengan menggali dalil-dalil Al-Qur′an, hadist, pendapat ijma’ para ulama klasik dan kontemporer tentang keniscayaan pluralisme beragama. Ia menjelaskan bahwa pluralisme agama sudah ada sejak zaman sebelum Islam ada. Oleh karenanya, pluralisme merupakan sebuah keharusan sejarah. Oleh karena itu, dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, partisipasi NU dan Muhammadiyah yang berkesinambungan sebagai organisasi perantara sangatlah penting dalam mendukung proses demokratisasi di Indonesia.

B. KERANGKA TEORETIK
Beberapa tokoh dunia Muslim sudah mencoba mengelaborasi perspektif pluralisme keagamaan ini antara lain seperti Ismail Raji al-Faruqi, M. Mahmoud Ayoub, Seyyed Hossein Nasr, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, Hasan Askari, Mohamed Arkoun, Mohamed Talbi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya. Di Indonesia, kita bisa menyebut diantaranya Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Syafii Maarif, Kautsar Azhari Noor, Zainun Kamal, Musdah Mulia, M. Syafii Anwar, Amin Abdullah. Sampai pemikir muda lainnya, seperti Ulil Abshar Abdala, Abdul Moqsith Ghazali, dan Zuhairi Misrawi. Cendekiawan-cendekiawan ini cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan, yaitu;
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai “kelompok eksklusif”. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Al-Qur′an.
Misalnya,
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله عليكم سلطانا مبينا
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan, yaitu “kelompok inklusif”. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasional bukan yang substansial esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini.
Misalnya,
لكم دينكم ولي دين

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم

إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابؤون والنصارى من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون

ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم كذلك زينا لكل أمة عملهم ثم إلى ربهم مرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون

Kajian ini berangkat dari wacana pluralisme dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan berdemokrasi menurut Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Bahkan, keduanya oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sebagai pejuang nilai-nilai universalisme Islam, pejuang kemanusiaan dalam konteks pluralisme agama dalam rangka menegakkan demokrasi di Indonesia.

C. PARADIGMA DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
1. Abdurrahman Wahid
Apabila dilacak, dari segi kultural, Abdurrahman Wahid telah melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal; kedua, budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya Barat yang liberal, rasional, dan sekuler. Douglas E Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura, dan Einar M. Sitompul, secara umum, tampaknya semua sepakat menyebut Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Islam kontemporer yang kritis, Liberal-Progresif Neo-Modernis.
Abdurrahman Wahid sejak usia antara 13-14 tahun ia menderita sakit mata (min 14) karena “kutu bukunya”. Pada usia ini ia telah melahap habis The Talles karya filsuf Plato, buku Das Kapital-nya Karl Marx dan What Is To Be Done dan Infantile Communism-nya Lenin, Little Red Book-nya Mao Ze Dong, buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia khususnya dari Amerika seperti buku Biografi Abraham Lincoln, Biografi Harry S. Truman, Biografi Rooselvelt dan buku-bukunya gerakan Islam radikal, seperti Sayyid Qutb, Hasan al-Banna, Said Ramadan, Abul a’la al-Maududi, Ali Syariati dan ia telah menjelajahi ide-ide “romantisisme” di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, yakni Ikhwanul Muslimin. Akhirnya Gus Dur menolak semua ungkapan keislaman atau fundamentalisme IM karena menurutnya hal ini bertentangan dengan semangat Islam sendiri yang otentik dan asli sebagai ajaran yang rahmatan lil alamin.
Selain buku-buku diatas ketika usia 15 tahun (sewaktu sekolah di SMEP Yogyakarta) Gus Dur juga telah melahap habis novel-novel William Faulkner (1897-1962) dan Romantisme Revolusioner Vladimir Ilych Lenin, La Porte Etroite, karya Andree Gide. Pada usia selanjutnya Gus Dur juga melahap habis buku-buku silat seperti Pat Pou Kan Siam dan Hang Liong Sip Pat Chiang. Ketika dalam perjalanan intelektualnya di Kairo dan Baghdad pun Gus Dur juga telah mempelajari buku-buku dari Ali Khomenei (Syiah), buku Caballa, salah satu aliran mistik Yahudi. Gus Dur juga sangat mengilhami bacaan buku Non-Violence Politics karya Mahatma Gandhi, buku-buku The Story of Civilization 11 jilid karya William James Durant, tentang ajaran spiritualitas Spanyol seperti buku The Sun Also Rises karya Ernest Hemingway, al-Islam wa Ushulul Hukm karya Syaikh Ali Abd ar-Raziq (1888-1966), kitab al-Hikam (ajaran tasawuf), buku Ethica Nichomacea karya Aristoteles, dan buku-bukunya “Islam Kiri” Hasan Hanafi. Dalam literatur Islam Klasik Gus Dur sangat terinspirasi karya-karya Fiqh Mazhab as-Syafii, Fiqh Mazhab Hanafi, Teologi Imam Juwaini, Tasawuf Imam al-Ghazali, Kaidah Ushul Fiqh Imam as-Syatibi, buku-buku tentang dunia pewayangan, musik klasik, perfilman, dan olahraga sepakbola. Sedangkan dalam ranah nasional, Gus Dur terinspirasi karya-karya dan pemikiran tentang agama dan negara Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim. Secara keilmuan dan spiritualitas Gus Dur juga sangat dekat dengan KH. Muchith (Jenggawah), KH. Chasbullah Salim (Rembang), KH. Sobari (Tebuireng), KH. Adlan Ali, KH. Rozaq (Tegalparang), KH. Wahab (Sulang), KH. Iskandar (Lirboyo), KH. Achmad Shidiq (Jember), KH. Hamim Jazuli (Ploso Kediri).
Dalam konteks inilah, ia bersama Nurcholish Madjid lantas disebut sebagai kelompok Neo-Modernis. Setidaknya, generasi setelah KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, Munawir Sadzali dan Mukti Ali, KH. Sahal Mahfudz, KH. Maemoen Zubaer sebagai pemikir moderat-progresif, Abdurrahman Wahid bersama dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan M. Dawam Rahardjo yang semuanya dikenal masuk dalam gerbong “Islam Liberal-Progresif” atau “Neo-Modernisme Islam”. Dilanjutkan oleh intelektual progresif “jilid kedua” seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Bachtiar Effendy, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Jalaluddin Rakhmat, dan M. Syafii Anwar. Akhir-akhir ini juga muncul pemikir-pemikir Muslim Liberal-Neo-modernis-Progresif muda di Indonesia, antara lain Ahmad Syafii Maarif, Budhy Munawar Rahman, Zuhairi Misrawi, Abdul Moqsith Ghazali, dan Yudian Wahyudi dan lain-lain.

2. Ahmad Syafii Maarif
Dalam bukunya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, M. Syafii Anwar mengusulkan enam tipologi pemikiran politik cendekiawan Muslim Indonesia Era Orba. Keenam tipologi tersebut;
Pertama, tipologi formalistik, yaitu suatu tipe pemikir yang lebih mengedepankan ketaatan secara rigid pada format-format ajaran Islam sehingga orientasinya lebih kepada formalisasi ajaran dalam bentuk simbol-simbol tertentu; kedua, tipologi subtantivistik, yaitu tipe pemikir yang memandang hakikat sesuatu yang terkandung didalamnya yang dalam bahasanya Mohammad Hatta dikenal dengan “filsafat garam”, tidak ditampakkan tetapi sangat berpengaruh; ketiga, tipologi transformatik, yaitu tipe pemikir yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan; keempat, tipologi totalistik, yaitu tipe pemikir yang lebih mengedepankan Islam merupakan doktrin kaffah (total), memandang wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat abadi dan lengkap meliputi seluruh aspek kehidupan serta tidak tempat buat partikularitas dan pluralitas (pluralisme); kelima, tipologi idealistik, yaitu pemikiran yang menuju pada “Islam cita-cita” sebagai penggerak dari seluruh gerakan budaya, keagamaan, sosial dan politik bahkan kultural. Tipe ini berangkat dari “Islam sejarah” menuju “Islam cita-cita”; dan keenam, tipologi realistik, yaitu pemikiran yang berupaya mengaitkan dan memperhadapkan antara dimensi subtantif dari doktrin Islam dengan realitas sosio-kultural masyarakat pemeluknya.
M. Syafii Anwar sendiri memasukkan pemikiran Ahmad Syafii Maarif ke dalam tipologi pemikir idealistik. Menurutnya, Ahmad Syafii Maarif termasuk salah satu cendekiawan Muslim yang sangat intens dalam memperkenalkan dan mendorong orientasi menuju “Islam cita-cita”. Bagi Ahmad Syafii Maarif, orientasi kepada “Islam cita-cita” akan mengantarkan umat Muslim menjadi umat yang terbaik yang diperuntukkan bagi manusia (QS. [3]:[110]) dan menjadi teladan bagi umat manusia. “Islam cita-cita” pernah ada pada masa Rasulullah Saw dan masa Khulafaur Rasyidin. Akan tetapi sayangnya, masa ideal ini tidak berlangsung lama. Model teladan tersebut telah menghilang dari kehidupan politik Islam. Sebagaimana dikutip oleh M. Syafii Anwar, “Tingkah laku penguasa Muslim sesudah itu sulit untuk dijadikan contoh sebagai pencerminan cita-cita etika Al-Qur′an dan tata nilai yang dibentuknya”.
Oleh karenanya dari semula Ahmad Syafii Maarif menjadi pejuang negara Islam, ketika menginjak masa tuanya ia beralih haluan menjadi pejuang toleransi. Negara Indonesia, khususnya, dengan segala keberagamannya, konsep negara-bangsa dengan menganut Pancasila dan UUD 1945 merupakan sebuah pilihan sangat bijaksana. Mengingat penduduk Indonesia sangat multikultural.

“...berdasarkan analisis historis kritis, kita mendapatkan informasi yang akurat tentang wilayah pelaksanaan ajaran Islam yang sudah lama menyempit, tapi pada waktu yang sama selalu diteorikan bahwa Islam itu adalah doktrin yang serba meliputi. Sebenarnya, tidak ada yang salah pada teori ini. Yang menjadi masalah krusial adalah ketegangan yang dahsyat antara teori dan kenyataan historis umat Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi diseluruh bumi Muslim.
Sedikitnya ada tiga teori yang membahas tentang fundamentalisme dalam Islam, pertama, kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus global; kedua, membesarnya arus radikalisme dan fundamentalisme pada umat Islam didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap Palestina, Kashmir, Afganistan, dan Irak; ketiga, khusus di Indonesia, maraknya fundamentalisme di Indonesia lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat”.
“Saya beralih dari fundamentalis menuju pluralis-humanis karena secara keilmuan lebih banyak dialog dengan berbagai latar yang berbeda. Lebih banyak membaca tentang apa sebenarnya “Islam cita-cita” itu. Islam yang dipesankan Tuhan melalui Al-Qur′an-Nya. Selain itu juga tentu, pemahaman Islam saya lebih menitik beratkan pada Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Umat Islam harus menjadi ummatan wasthan. Umat yang bijaksana. Tidak memaksakan kehendak keyakinan umat beragama lain. Inilah pentingnya penghargaan terhadap pluralisme dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bahkan di dunia.

Setidak-tidaknya, setelah membaca dan memahami autobiografinya, terdapat tiga titik kisar yang menjadi aras menggeliatnya perjalanan pemikiran Ahmad Syafii Maarif.
Pertama, pergulatan pemikirannya dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau. Di sinilah kali pertama konstruksi imajiner Ahmad Syafii Maarif mulai terbangun. Ia sudah berani berpidato di depan publik dan mengisi ceramah di kampung-kampung. Ia pun getol dalam berdebat. Kedua, pergulatannya terjadi ketika ia meneruskan pelajaran ke Madrasah Muallimin Yogyakarta. Di sini wawasannya semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang “fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin menguat. Bahkan sampai belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens AS, paham agamanya belum mengalami perubahan. Ketiga, pencerahannya hadir ketika Ahmad Syafii Maarif singgah di lingkungan kampus Universitas Chicago. Di sini kebangkitan intelektual dan spiritualnya semakin meningkat. Ini adalah titik kisar ketiga dalam pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Fazlur Rahman adalah sosok yang sangat membantu Ahmad Syafii Maarif dalam mengembangkan pemikirannya. Kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan Al-Qur′an tengah membuat titik kisar terakhir di perjalanan Ahmad Syafii Maarif. Selain sosok tersebut, ia juga terpengaruh dengan sosok Buya Hamka dan Bung Hatta.
Budhy Munawar Rahman memasukkan Ahmad Syafii Maarif sebagai salah satu penggagas dan perintis lembaga (LSM) Maarif Institute yang berbasis Islam progresif sebagaimana Abdurrahman Wahid juga disamping pemikirannya bersifat progresif neo-modernis, ia juga mendirikan LSM the Wahid Institute. Sedangkan menurut Hamid Basyaib, Ahmad Syafii Maarif adalah seorang yang konsisten dalam mempersonifikasikan Al-Qur′an. Bagi Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur′an harus diperlakukan sebagai sesuatu yang hidup dan relevan dengan situasi. Selain tipologi intelektual idealistik, menurut M. Syafii Anwar, Ahmad Syafii Maarif juga dapat dimasukkan pada tipologi subtantivistik.

“...Di satu pihak ia meletakkan “Islam cita-cita” sebagai tujuan atau orientasi pemikiran dan perjuangan politik yang tertinggi, dan menegasikan “Islam sejarah” yang traumatik dan dibungkus pendekatan doktriner yang dianggapnya tidak Islami. Tetapi idealisasinya tentang Islam cita-cita dalam konteks politik, berbeda dengan pemikir formalistik dan totalistik.
Berbeda dengan mereka, Syafii Maarif melihat teori dan sistem politik Islam sebagai ruang yang fleksibel terhadap perubahan. Al-Qur′an tidak selayaknya disubordinasikan ke dalam pemikiran yang formalistik dan totalistik sehingga kehilangan “substansinya” (sebagai Islam rahmatan lil alamin-pen) dalam konseptualisasi pemikiran politik dan kenegaraan. Tetapi etika dan moral Al-Qur′an yang universal itu tetap harus memberikan inspirasi dan substansi terhadap teori politik dan kenegaraan yang setiap waktu terus berubah sesuai dengan kebutuhan waktu dan umat.”

D. PLURALISME AGAMA DAN DEMOKRATISASI
1. Abdurrahman Wahid
Sikap dan perjuangan Abdurrahman Wahid membela pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokoh-tokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain atau keyakinan lainnya. Abdurrahman Wahid berkeyakinan bahwa memaknai ajaran agama tidak akan pernah lepas dari sisi kemanusiaan. Apabila nilai-nilai kemanusiaan diabaikan, maka nilai-nilai keagamaan yang benar akan hilang. Tentu dengan tetap meyakini kebenaran ajarannya.
Penghargaan Abdurrahman Wahid terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog terbuka secara tulus menerima keperbedaan sehingga kelompok yang satu dengan kelompok yang lain bisa saling memberi dan menerima (take and give). Ia tidak segan-segan menyampaikan kebenaran universal baik itu datang dari Islam sendiri, Injil, Baghawad Gita atau yang lainnya. Sehingga ia menolak keras fatwa MUI yang telah mengharamkan pluralisme. Menurutnya, Indonesia bukan suatu negara yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu. MUI bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah. Menurutnya, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Perbedaan merupakan sesuatu yang diakui oleh Islam sendiri, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan perpisahan (tafarruq). Tentu saja adanya berbagai keyakinan tersebut, tidak perlu dipersamakan secara total, tidak perlu disamakan secara menyeluruh, karena masing-masing memiliki kepercayaan dan keyakinan atau akidah yang dianggap benar.
Dengan fatwanya, MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia. Ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI itu telah merugikan seluruh komponen bangsa. Menurut Abdurrahman Wahid, arogansi yang sudah diperlihatkan MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu. Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan keyakinan atau kepercayaan diluar itu hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia pada umumnya. UUD 1945 telah menjamin perlindungan bagi semua warga negara tanpa pandang agama, etnis, ataupun budayanya. Abdurrahman Wahid sangat menekankan bahwa parameter utama untuk dapat memelihara keragaman adalah mengelola kemampuan toleransi. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid selain Rasulullah Saw sebagai panutan utama, ia pernah mengaku sebagai pengagum Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, dan Ayatollah Ali Khomenei dan lain sebagainya. Disinilah nantinya akan terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran atau akidah yang dianut, namun hanya pada tingkat pencapaian materi.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah klasik adalah; (1) hifdzu an-nafs, jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum. (2) hifdzu ad-din, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. (3) hifdzu an-nasl, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan. (4) hifdzu al-mal, jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. dan (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Sewaktu masih menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ia tetap konsisten dengan pemikiran dan aksi pembelaan terhada pluralisme agama di Indonesia. Menurutnya, selama ini dakwah Islam cenderung dengan mudah menghakimi dan menganggap bahkan memusuhi pihak lain (umat lain) sebagai musuh. Sebagai Muslim yang tidak mau mengerti umat beragama lain. Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan oleh: pendangkalan agama dan institusi pemerintah sendiri tidak tanggap. Islam tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi yang bersaing vis a vis komponen-komponen lainnya karena corak sosial, kultural, dan masyarakat politik kepulauan Nusantara yang beragam maka upaya menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau pemberi warna tunggal hanya akan membawa ke dalam perpecahan secara keseluruhan. Cita ideal yang diperjuangkannya salah satunya melalui Fordem-nya ialah semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi.
Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik’. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama. Ia akrab dan sangat memahami term ahl al-kitab, term kufr terkait dengan perjuangan pluralismenya. Ia juga dengan cerdas-logis menjelaskan term yang sering digunakan pengusung anti-pluralisme yang menyatakan bahwa kepada sesama Muslim harus lembut dan kepada kafir harus keras. Menurutnya, ketika seorang pejabat mengatakan bahwa semua agama sama, tidak harus berarti bahwa semua agama adalah benar. Yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah bahwa semua agama sama di hadapan negara, sedangkan klaim kebenaran masing-masing agama tetap bisa dijaga.

2. Ahmad Syafii Maarif
Menurut Ahmad Syafii Maarif Al-Qur′an tidak berharap agar penduduk bumi ini beriman semuanya. Ia mendasarkan pada,

الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون

الذين يخشون ربهم بالغيب وهم من الساعة مشفقون

لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط وأنزلنا الحديد فيه بأس شديد ومنافع للناس وليعلم الله من ينصره ورسله بالغيب إن الله قوي عزيز

إن الذين يخشون ربهم بالغيب لهم مغفرة وأجر كبير

Bila ini dipaksakan juga, maka diktum Al-Qur′an tentang kebebasan memilih (free choice) menjadi tertindas. Sesuai dengan,
وكلهم آتيه يوم القيامة فردا

ولقد جئتمونا فرادى كما خلقناكم أول مرة وتركتم ما خولناكم وراء ظهوركم وما نرى معكم شفعاءكم الذين زعمتم أنهم فيكم شركاء لقد تقطع بينكم وضل عنكم ما كنتم تزعمون

maka iman dimata Al-Qur′an tidak bisa dipaksakan.

“Iman yang dipaksakan tidak akan tahan bantingan ruang dan waktu. Oleh sebab itu seorang Muslim dapat juga misalnya bertetangga dengan seorang ateis, apalagi dengan pemeluk yang beragama non-Islam, dan dalam batas-batas keduniaan tidak ada halangan untuk bekerja sama antara berbagai golongan yang berbeda pandangan hidup dan keyakinan.
Dengan perkataan lain, Islam dapat menerima sebagai suatu kenyataan sosiologis adanya pluralisme agama dan kebudayaan. Sifat ekslusivisme agama haruslah dipandang sebagai sesuatu yang lampau. Dialog terbuka, jujur dan konstruktif antar agama perlu dibudayakan dalam rangka mencari dan merumuskan alternatif-alternatif ilahiah yang toleran bagi bangunan peradaban manusia yang lebih lama, kreatif dan anggun”.

Pembelaan Ahmad Syafii Maarif terhadap pluralisme juga terlihat dengan jelas dalam tulisannya di Koran Republika tentang QS. al-Baqarah [2]:[62] dan QS. al-Maidah [5]:[[69] bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi, Nashrani dan Shabiin akan sama-sama mendapat ganjaran kebaikan dari Allah. Disana, Ahmad Syafii Maarif merujuk pada tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka yang merupakan gurunya. Ahmad Syafii Maarif dengan jelas telah melampaui pakem konvensional tentang masalah keselamatan. Lebih jauh lagi, Ahmad Syafii Maarif mendeklarasikan sikapnya tentang kenisbian penafsiran yang dilakukan oleh manusia; apakah ia seorang Mufassir atau seorang Mujtahid. Didalam tulisannya ia berpendapat demikian:

“...Al-Qur′an itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang mutlak. Tetapi, sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapapun manusianya, termasuk mufasir yang dinilai punya otoritas tinggi sekalipun, apalagi yang menafsirkannya itu manusia-manusia seperti saya.”

Dengan sangat cemerlang Ahmad Syafii Maarif membedakan antara Firman Tuhan dengan pemahaman manusia itu sendiri. Dimana yang pertama bersifat mutlak dan ilahi (divine) sedangkan yang kedua bersifat relatif dan profan. Perbedaan yang tidak berimbang inilah yang jarang disadari oleh para apolog Islam. Pluralisme, menurut Ahmad Syafii Maarif merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Menurutnya, pluralisme mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Dalam Al-Qur′an ditegaskan:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Ayat ini menurutnya, bukan sekedar untuk saling mengenal, akan tetapi secara implisit disana ada juga himbauan untuk bertukar nilai-nilai peradaban, untuk saling memberi dan menerima (take and give) keberagaman, atau pluralitas. Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui keberbedaan dan kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan. Pluralisme bukan mengakui semua agama benar, atau semua agama sahih. Bukan ini masalahnya. Apabila masih ada saja yang berpandangan seperti itu adalah suatu pandangan yang konyol. Ahmad Syafii Maarif menyebut tafsiran terhadap pluralisme yang seperti itu adalah kampungan.

“...pluralisme akan memberikan peluang kepada setiap orang untuk berbeda dan tetap menyakini agamanya sebagai kebenaran mutlak. Tetapi ia mengingatkan bahwa hak serupa juga ada pada penganut agama atau keyakinan lain yang memegang prinsip yang sama. Disini ia memberikan penekanan tentang perlunya sikap toleran atau tenggang rasa dengan penganut agama atau penganut keyakinan atau kepercayaan yang lain.

Bahkan, seorang ateis pun harus tetap dihormati hak-haknya selama ia (seorang ateis) tidak melanggar hukum positif yang berlaku. Selama pula ia tidak mencederai penganut yang lainnya. Penghakiman terhadap keyakinan atau kepercayaan seseorang adalah mutlak hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak memiliki hak tersebut. Oleh karena itu perampasan hak prerogatif tersebut merupakan sebuah kesombongan yang tidak termaafkan.”

E. PENUTUP
Ketika Fatwa MUI No: 7/Munas/VII/MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekulerisme agama diekspos, diskursus ketiga-tiganya bukannya surut. Akan tetapi malah semakin menunjukkan peningkatannya. Diskursus ini ditandai dengan berbagai argumen dari pemikir-pemikir muslim liberal-progresif-neomodernis. Baik dari kalangan ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah maupun ormas-ormas dan pemikir lainnya. Mulai dari tesis, disertasi, maupun tulisan-tulisan yang berupa buku best seller. Bahkan sampai tulisan-tulisan lepas lainnya yang tidak menunjukkan kesurutan. Karena memang sebelum Indonesia ada, pluralisme telah ada.
Bagi sebagian pemikir legal-eksklusif, pluralisme agama merupakan budaya dari luar Islam yang harus ditolak karena dianggap mencampuradukkan agama, menyamakan semua agama sama. Sedangkan bagi sebagian pemikir substantif-inklusif, yaitu mendasarkan pada teks legal formal dan nilai-nilai universalitas Islam dengan menafsirkan pesan-pesan Al-Qur′an sebagai rujukan utama, maka kelompok ini menganggap pluralisme agama merupakan sebuah keniscayaan sejarah kehidupan umat manusia sejak dari nabi Adam as sampai kelak.
Dalam kajian ini, metode yang digunakan adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan sifat deskriptik analitik dan komparatif disertai wawancara . Kajian yang digunakan adalah kajian pendekatan sosio-historis yaitu suatu pendekatan masalah yang diteliti dari aspek pemikiran tokoh Abdurrahman Wahid yang mewakili kalangan tradisionalis (NU) dan Ahmad Syafii Maarif yang mewakili kalangan modernis (Muhammadiyah). Toh, akhirnya keduanya termasuk pemikir liberal-progresif-neo-modernis.
Kaitannya dengan psikologi politik, sejak mudanya sampai akhir tahun 1998, Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif menurut penulis keduanya termasuk tipologi examplary followers sebaimana teori yang diajukan oleh Kelley tentang beberapa beberapa tipologi pengikut, yaitu: Pertama, pengikut asal mengikut (sheep-passive follower), atau pengikut yang taklid penuh pada pemimpin (conformist follower) ditandai dengan sikap tidak kritis, selalu bergantung, tidak mandiri, dan tidak berani mengambil sikap dan inisiatif sendiri. Kedua, pengikut yang teralienasi (alienated followers) ditandai dengan sikap kritis, mandiri namun tidak mau ikut andil, bersikap sinistik, pesimistik dan selalu merasa dirinya tidak akan mampu mengubah keadaan. Ketiga, tipe pengikut yang cari aman saja (pragmatist followers) ditandai dengan tidak aktif tapi juga tidak pasif. Keempat, tipe pengikut pemberi contoh (examplary followers) ditandai dengan loyalitas sekaligus kritis terhadap pemimpin demi kepentingan bangsanya, mampu berdiri sendiri (semacam non-orsospol, LSM dll).
Dari kajian ini didapatkan hipotesis positif bahwa Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif merupakan pejuang kemanusiaan di Indonesia. Keduanya tidak jumud, kolot dan fanatik terhadap pandangan Islam yang sempit. Bahkan jika ditilik lebih dalam, keduanya telah “sudah tidak lagi berkutat pada level term”, lebih jauh keduanya telah melakukan “ijtihad dan aksi” kemanusiaan dengan mendasarkan diri pada pemahaman Islam universal yang rahmatan lil ‘alamin. Keduanya telah melakukan “objektivikasi ilmu” dengan mendasarkan pluralisme agama sebagai “obyek” dalam konteks Keindonesiaan dan Pancasila sebagai “substansi” pemahamannya. Bukan hanya Islam saja. Pluralisme yang mereka perjuangkan bukan pluralisme sinkretisme. Tetapi “pluralisme dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaan”. Memang semua agama sama tetapi bukan berarti menyamakan sisi akidah-nya. Sama dalam hal mempunyai “sisi esoteris”-nya. Sama-sama percaya Tuhan YME. Semua pemeluk agama “sama posisinya dimuka hukum sesuai Universalitas Islam sendiri”. Walaupun ketika keduanya memahami universalitas Islam yang rahmatan lil ‘alamin tersebut, keduanya sudah mendapatkan argumen yang kokoh menurut Al-Qur′an.
Latar belakang pergulatan keduanya memang berbeda. Abdurrahman Wahid sejak mudanya telah terbiasa dalam didikan yang beraneka ragam. Sehingga sejak mudanya ia memang telah menjadi pemikir bebas dalam koridor “tradisonalisme NU”. Sedangkan Ahmad Syafii Maarif berawal dari pejuang “formalisasi Islam” demi negara Islam berubah haluan menjadi “pejuang kemanusiaan” yang tidak hanya memperjuangkan Islam saja tetapi juga memperjuangkan Islam, bangsa dan negara NKRI demi demokratisasi.


al-Faqir billah Muhammad Safii Gozali
Pesantren Al-Miftah Mlangi Sleman,
Pkl. 02.00 WIB 10 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar