Minggu, 06 Maret 2011

ISLAM DAN ANTI-KEKERASAN AGAMA

ISLAM DAN ANTI-KEKERASAN AGAMA
Kata ‘Islam’ merupakan kata jadian bahasa Arab ‘salama’, yang berarti menjadi tenteram, tenang, untuk melaksanakan tugas, menjadi jujur, dan betul-betul damai. Derivasi dari kata tersebut bermakna kedamaian, keselamatan, keamanan, dan penyelamatan. Tidak hanya bermakna penyerahan diri mutlak saja kepada Kehendak Tuhan tetapi juga sekuat tenaga dan pikiran melaksanakan kebaikan. Banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa menebarkan kebaikan, tidak memaksakan yang lain, kasih sayang, pengasih, pemaaf, pemurah, dan mencintai untuk mencapai kebenaran sejati, misalnya QS. al-Baqarah [2]:[256]; QS. al-Hujurat [49]:[13]; QS. ali-Imran [3]:[103]; dan QS. al-Baqarah [2]:[263]. Sejak awal nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kita untuk saling toleransi yang luhur seperti QS. al-Baqarah [2]:[272], tidak boleh saling mencaci seperti dalam QS. al-Anam [6]:[108], keadilan, kebersamaan dan persaudaraan seperti QS. al-Mâidah [5]:[8], perdamaian dalam segala hal, pemurah dan pecinta, kebaikan dan kesadaran, kesopanan dan rasa hormat kepada siapa pun seperti QS. al-Anbiya [21]:[107]; dan QS. Al-Mumtahanah [60]:[8].
Anti-Kekerasan dalam Literatur Ulama Salaf
Dalam literatur Islam Klasik pun, para ulama ahlussunnah wal jamaah selalu berhati-hati dengan term kafir, sesat ini karena persoalan pengkafiran dan penyesatan merupakan perkara besar sehingga yang menuding pun bisa jadi termasuk dalam term tersebut. Oleh karena itu, semestinya pegangan yang diambil oleh setiap orang yang beriman adalah menjaga diri dari pengkafiran dan penyesatan. Sebab, sesungguhnya menghalalkan darah dan harta ahli kiblat yang secara jelas menyatakan “Laa ilaaha Illa-llah, Muhammad Rasulullah”, adalah salah (Abu al-Maali, tt; al-‘Aiji, 1968; Imam al-Ghazali, 1975; Imam Rafi’i & al-Malibari, tt; Imam al-Jazairi, 1978; Sayyid Bakri, tt).
Terkait dengan kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah, pemerintah Indonesia hendaknya menghalau dan mencegah akibat “fatwa sesat” yang telanjur menjadi bubur sehingga secara langsung atau tidak telah menjadi alasan sebagian kelompok dalam melakukan tindakan anarkis terhadap JA. Kekerasan atas nama agama (Islam) bukanlah jihad. Sejak dulu tidak ada ulama salaf ahlussunnah wal jamaah yang mengidentikkan jihad dengan kekerasan. Akan tetapi mencari ilmu agama, menjalankan ajaran-ajaran agama, menyuarakan argumen dan hujjah agama secara toleran, melindungi HAM dan memerangi hawa nafsu pribadi adalah termasuk jihad yang sebenarnya.
Anti-Kekerasan dalam Era Demokrasi
Chaiwat Satha-Anand (Lubis; 1988) mengatakan bahwa Islam, di era globalisasi ini tidak bisa menggunakan kekerasan. Oleh karenanya, untuk menjadi seorang Muslim sejati, umat Islam harus menggunakan tindakan anti-kekerasan sebagai model perjuangan. Islam merupakan tanah yang subur bagi tindakan anti-kekerasan karena potensi ketidaktundukan, disiplin yang kuat, tanggung jawab sosial dan berbagi rasa, kegigihan dan kesucian diri, dan kepercayaan pada kesatuan umat Islam dan kesatuan manusia.
Meskipun demikian penulis percaya bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat menyangkal semua agama (termasuk Islam sendiri) berulang kali telah menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan, dan hingga kini masih saja terjadi. Di era demokratisasi, kekerasan merupakan “virus” yang melanggar HAM. Apapun alasannya. Banyak sekali kesaksian hidup dari berbagai tradisi keagamaan yang berjuang dengan gerakan anti-kekerasan. Misalnya Farid Esack (Islam di Afrika Selatan), Martin Luther King (Kristen di Amerika), Mahatma Gandhi (Hindu di India), Dalai Lama XIV (Budha di Tibet), Joseph Abileah (Yahudi di Israel) dan lain-lain. Lebih-lebih demokrasi Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya, maka kekerasan atas nama apapun sangat bertolak belakang dengan falsafahnya.
Nah, lantas apa yang sebaiknya diperbuat?
Pertama, hendaknya kita menyadari betapa pentingnya pengakuan terhadap pluralisme bangsa (budaya, etnis, suku dan agama), saling menghormati, menghargai perbedaan, karena itulah esensi falsafah Pancasila, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kedua, pemerintah dan instansi-instansi terkait, hendaknya selalu menggalakkan dialog, dan gerakan anti-kekerasan untuk memperkuat integrasi NKRI secara adil tanpa intervensi koersif (militeristik-kekerasan fisik dan psikis) dari mayoritas terhadap minoritas. Ketiga, partisipasi aktif pemerintah dalam melakukan pemahaman kepada masyarakat awam tanpa menyinggung sensitivitas kelompok seperti fatwa sesat sehingga seakan-akan memberikan peluang kelompok lain melakukan kekerasan secara legal. Keempat, kurangi atau hentikan pendekatan militeristik dalam setiap aksi massa. Karena kerusuhan dan kekerasan jika dilawan dengan kekerasan, mesti pihak rakyatlah yang akan banyak menanggung korban. Kelima, pemerintah bersama aparaturnya giat membangun kepekaan masyarakat terhadap keragaman dan pluralisme bangsa sesuai falsafah Pancasila dan konstitusi UUD 1945 demi keutuhan NKRI. Melalui upaya-upaya ini, NKRI akan sedikit beranjak naik menjadi bangsa yang lebih beradab lagi sesuai yang diharapkan founding father’s kita dulu. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar