Minggu, 06 Maret 2011

ISLAM DAN GERAKAN ANTI-KEKERASAN ALA GANDHI

ISLAM DAN ANTI-KEKERASAN ALA GANDHI

Fenomena Jemaah Ahmadiyah memang banyak menuai kritik dan konflik. Sepengetahuan kita mungkin beberapa keyakinannya memang menyimpang. Ada yang menganggap penyimpangan mereka telah menodai Islam. Ada yang menganggap Jemaah Ahmadiyah bukan bagian dari Islam karena meyakini ada nabi setelah Muhammad Saw. Seandainya kita tahu, yakin dan sadar bahwa semua agama di dunia termasuk Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu tak satu pun dalam kondisi “non-agresi” yang melegalkan tindak kekerasan, maka dari kita akan mengutuk juga tindakan kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah.
Kata ‘Islam’ merupakan kata jadian bahasa Arab ‘salama’, yang berarti menjadi tenteram, tenang, untuk melaksanakan tugas, menjadi jujur, dan betul-betul damai. Derivasi dari kata tersebut bermakna kedamaian, keselamatan, keamanan, dan penyelamatan. Tidak hanya bermakna penyerahan diri mutlak saja kepada Kehendak Tuhan tetapi juga sekuat tenaga dan pikiran melaksanakan kebaikan. Banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa menebarkan kebaikan, tidak memaksakan yang lain, kasih sayang, pengasih, pemaaf, pemurah, dan mencintai untuk mencapai kebenaran sejati, misalnya QS. al-Baqarah [2]:[256]; QS. al-Hujurat [49]:[13]; QS. ali-Imran [3]:[103]; dan QS. al-Baqarah [2]:[263]. Sejak awal nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kita untuk saling toleransi yang luhur seperti QS. al-Baqarah [2]:[272], tidak boleh saling mencaci seperti dalam QS. al-Anam [6]:[108], keadilan, kebersamaan dan persaudaraan seperti QS. al-Mâidah [5]:[8], perdamaian dalam segala hal, pemurah dan pecinta, kebaikan dan kesadaran, kesopanan dan rasa hormat kepada siapa pun seperti QS. al-Anbiya [21]:[107]; dan QS. Al-Mumtahanah [60]:[8].
Anti-Kekerasan ala Gandhi
Tidak ada yang menyangkal bahwa Mahatma Gandhi (1869-1948) merupakan salah satu pejuang kemerdekaan anti-kekerasan umat Hindu di India. Bahkan pada abad ke-20 ia dianggap sebagai nabi anti-kekerasan. Bagi Gandhi, satyagraha dan anti-kekerasan merupakan dua konsep yang erat sekali kaitannya. Ia mengakui bahwa kehidupan manusia selalu terlibat dan terbelit kekerasan, dan dengan demikian melibatkan diri dalam gerakan anti-kekerasan berarti dibimbing oleh empati dan cinta kasih untuk berjuang membebaskan ikatan dan belitan anti-kekerasan itu.
Terkait dengan fenomena kerusuhan-kerusuhan, kekerasan-kekerasan atas nama apapun, kapanpun dan dimanapun, Gandhi merumuskan dalil-dalil untuk aksi anti-kekerasan, yaitu; pertama, gerakan anti-kekerasan meliputi tindak paling manusiawi, yakni pembersihan diri; kedua, bagi tiap-tiap orang, kekuatan gerakan anti-kekerasannya persis sesuai dengan kemampuannya – bukan kehendaknya – untuk menggunakan kekerasan; ketiga, gerakan anti-kekerasan, tanpa kecuali lebih unggul daripada kekerasan. Itu berarti bahwa daya kekuatan yang tersedia bagi orang yang bertindak tanpa kekerasan selalu lebih besar daripada yang akan dapat dimilikinya jikalau ia menerapkan kekerasan; keempat, dalam gerakan anti-kekerasan tidak ada apa yang disebut dengan kekalahan. Bagaimanapun juga, tujuan kekerasan adalah kekalahan; dan kelima, tujuan tertinggi gerakan anti-kekerasan selalu kemenangan (Gandhi, 1982; Gandhi, 1996; Brown, 1989; Parekh, 1997).
Dalam buku The Mind of Mahatma Gandhi, Prabhu & Roa (1945), Gandhi menyatakan bahwa untuk melihat Kebenaran Universal dan serba mencakup, orang harus bisa mencintai seluruh makhluk seperti halnya mencintai dirinya sendiri. Dan orang yang terilhami olehnya tidak akan dapat keluar dari lapangan kehidupan. Begitulah mengapa kesetiaanku pada kebenaran telah membawaku ke dalam lapangan politik. Menurut Berndt (2006), anti-kekerasan tidak semata-mata berarti menjauhkan diri dari kekerasan, tidak juga berarti diam atau non-aktif. Anti-kekerasan berarti daya upaya untuk menciptakan keadilan dan memulihkan hubungan-hubungan baru tanpa kekerasan.
Nah, lantas apa yang sebaiknya diperbuat?
Pertama, hendaknya kita menyadari betapa pentingnya pengakuan terhadap pluralisme bangsa (budaya, etnis, suku dan agama), saling menghormati, menghargai perbedaan, karena itulah esensi falsafah Pancasila, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kedua, pemerintah dan instansi-instansi terkait, hendaknya selalu menggalakkan dialog, dan gerakan anti-kekerasan untuk memperkuat integrasi NKRI secara adil tanpa intervensi koersif (militeristik-kekerasan fisik dan psikis) dari mayoritas terhadap minoritas. Ketiga, partisipasi aktif pemerintah dalam melakukan pemahaman kepada masyarakat awam tanpa menyinggung sensitivitas kelompok seperti fatwa sesat sehingga seakan-akan memberikan peluang kelompok lain melakukan kekerasan secara legal. Keempat, kurangi atau hentikan pendekatan militeristik dalam setiap aksi massa. Karena kerusuhan dan kekerasan jika dilawan dengan kekerasan, mesti pihak rakyatlah yang akan banyak menanggung korban. Kelima, pemerintah bersama aparaturnya giat membangun kepekaan masyarakat terhadap keragaman dan pluralisme bangsa sesuai falsafah Pancasila dan konstitusi UUD 1945 demi keutuhan NKRI. Melalui upaya-upaya ini, NKRI akan sedikit beranjak naik menjadi bangsa yang lebih beradab lagi sesuai yang diharapkan founding father’s kita dulu. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar