Minggu, 13 Maret 2011

FIQH & ENZIM MENINGITIS

FIQH & ENZIM MENINGITIS
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali


Pada dasarnya hukum dari segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Ini adalah qoidah fiqih yang dipakai oleh para ulama’ khususnya yang bermadzhab Syafi’iyyah

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل دليل على التحريم
Walaupun sebagian kalangan ulama’ yang bermadzhab Hanafiyyah menyatakan sebaliknya, yaitu:

الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل دليل على الإباحة

Dalam masalah babi yang menjadi bahan pokok pembuatan enzim meningitis telah terdapat nash baik al-Qur’an maupun Hadist yang menyatakan keharamannya, yaitu:
       •   
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

PENDAPAT ULAMA TERHADAP PENGGUNAAN ENZIM MENINGITIS
Imam Syarof al-Din al-Nawawi dalam kitabnya menyatakan kebolehan berobat dengan bahan-bahan najis kecuali khamr, hal ini berlaku pada semua jenis najis (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab IX, hlm. 50-51).
Adapun Hadist nabi yang menyatakan;
لم يجعل الله شفاء أمتي فيما حرم عليها
Menurut imam al-Nawawi yang dimaksudkan Hadist di atas adalah pengobatan dengan khamr saja. Adapun pengobatan dengan barang najis diperbolehkan ketika barang yang suci yang dapat menyamai fungsinya tidak ada lagi. Menurut Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin Majelis Ulama Indonesia (MUI),
1. Vaksin meningitis menjadi syarat wajib bagi jamaah haji Indonesia,
2. Vaksin yang digunakan mengandung enzim babi dan dunia medis belum menemukan vaksin yang serupa bebas dari enzim babi.
Kemudian menurut MUI lagi Hanya menghalalkan penggunaan vaksin meningitis berenzim babi bagi jemaah haji Indonesia yang pertama kali naik haji. Hukum kedaruratan vaksin Meningitis, menurut MUI, selaras dengan hukum naik haji hanya wajib satu kali. Bagi jamaah haji yang kedua kali, tidak ada lagi kedaruratan karena tidak wajib. Karena itu, (mereka) kalau pakai vaksin ini, hukumnya haram dan berdosa, pada Republika, Ahad(2/5). Sikap MUI yang mengharamkan vaksin Meningitis berlawanan dengan mufti arab saudi dan malaysia, alasan kedua pemerintah itu terletak pada hasil akhir vaksin. Bila hasil akhir vaksin tidak mengandung zat haram dan najis maka hukumnya halal, sedangkan MUI berpendapat kalau pada awalnya sudah bercampur haram dan najis meski pada akhirnya bersih maka hukumnya tetap haram.
Tinjauan Hukum Syar’i Terhadap Vaksin Menengitis Pada kenyataannya terkait dengan pembahasan tentang vaksinasi meningitis yang sekarang sedang terjadi, yang terkandung beberapa kondisi, yaitu:
1) Membuat sesuatu yang halal (vaksin meningitis) menggunakan alat (unsur) yang haram (enzim babi).
2) Alat itu tidak terbawa dengan kata lain telah dibersihkan dari vaksin meningitis.
3) Menjadikan vaksin meningitis sebagai komoditi (barang yang diperjual belikan).
4) Jamaah calon haji atau Umrah tidak akan dapat masuk ke Saudi Arabia jika tidak divaksinasi dengan vaksin meningitis yang ada sekarang.
5) Jamaah Haji yang tidak divaksinasi meningitis dapat tertular penyakit yang membahayakan dirinya bahkan sampai mengancam nyawanya.
Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan hukum darurat yang memperbolehkan penggunaan vaksin meningitis berenzim babi tidak berlaku bagi calon jamaah haji berangkat untuk kedua kali karena kewajiban haji bagi Calhaj telah dilaksanakan saat menunaikan ibadah tersebut pertama kali. ‘’Untuk jamaah haji yang mengulang (kedua kali), hukumnya haram karena alasan daruratnya tidak terpenuhi,’’ kata Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas kepada Republika, Ahad, (2/5). Menurut Yunahar Ilyas, penggunaan vaksin meningitis sebetulnya haram karena mengandung enzim babi. Namun, vaksin itu lalu diperbolehkan dengan alasan darurat karena belum ada pengembangan obat tanpa mengandung zat diharamkan. ‘’Jadi, sebelum ada (vaksin) meningitis yang bebas dari enzim babi, maka diperbolehkan untuk keperluan haji pertama,’’ katanya. Meski demikian, Muhammadiyah saat ini masih menunggu dan ikut putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait vaksin meningitis. Pasalnya, MUI memiliki prinsip serupa Ormas Islam itu dalam menghukum kehalalan dan keharaman suatu benda. Prinsip itu berbeda dari ulama Arab Saudi dan Malaysia (Republika online, Ahad 02/05/20010).
Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kembali mendesak pemerintah segera mengganti vaksin Meningitis yang mengandung babi.
“Dari dulu vaksin haram terbuat dari babi sudah ada, termasuk juga cangkang kapsul,” ujar Dr. Muhammad Nadratuzzaman Hosen, Direktur LPPOM MUI, kepada www.hidayatullah.com.
Ribut masalah vaksin asal babi ini kemarin telah disampaikan Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni yang mendesak Menteri Kesehatan Siti Fadilllah Supari mengambil langkah-langkah. Pernyataan Menag ini disampaikan di berbagai media massa, sehubungan dengan temuan LPPOM-MUI Sumatera Selatan (Sumsel) bahwa ada vaksin Meningitis mengandung babi.
“Namun yang menjadi masalah adalah hukum vaksin menggunakan enzim babi masih kontroversi di kalangan para ulama, terutama di Arab Saudi dan ulama yang tergabung dalam badan kesehatan WHO,” imbuhnya. Mayoritas ulama tersebut beranggapan bahwa penggunaan vaksin berenzim babi masih dalam kategori mudharot (boleh) sebab belum ada alternatif lainnya. Menurut Nadratuzzaman, pemakaian vaksin Meningitis sebenarnya peraturan dari Arab Saudi bagi jamaah yang hendak berhaji agar tidak terkena penyakit. Tidak hanya itu, pihak Arab Saudi juga mewajibkan jamaah haji membawa bukti bahwa telah melakukan vaksin Meningitis. Jika tidak, maka tidak diperbolehkan masuk.
Jadi, para calon haji Indonesia harus melakukan vaksinasi Menginitis. Padahal, menurut Nadratuzzaman, sebenarnya vaksin tersebut lebih tepat jika diberlakukan untuk calhaj asal Afrika saja. Sebab, penyakit Meningitis otak lebih banyak menimpa calhaj asal Negara tersebut. Apalagi, efektifitas vaksin meningitis belum tentu sangat signifikan untuk imunitas otak. “Perlu diadakan riset untuk membuktikan hal itu,” katanya.
Malah, akibat vaksin Meningitis bisa menstimulasi datangnya penyakit baru karena kerja vaksin adalah memasukkan virus untuk melemahkan penyakit. Namun yang menjadi kendala umat Islam, terutama di negara-negara Islam di Asean, adalah tidak mau mencari vaksin alternatif yang halal. Padahal, jika mau sapi pun bisa dijadikan vaksin. Namun karena umat Islam malas, maka vaksin buatan Amerika yang kecenderungannya pada yang haram kemudian digunakan.
“Vaksin itu kan buatan Amerika, dan Amerika lebih suka dengan yang haram seperti babi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihak LPPOM MUI akan mengusulkan agar penggunaan vaksin babi diganti dengan sapi. Dan menurutnya, pihak MUI sendiri mengharamkan penggunaan vaksin dengan enzim babi, meski pendapat sebagian ulama di Timur Tengah ada yang membolehkannya. Rencananya, LPPOM MUI akan mengadakan rapat membahas vaksin haram. Namun, ketika ditanya perihal kontrak MUI selama lima tahun terkait penggunaan vaksin babi kepada jamaah haji, Nadratuzzaman mengaku tidak tahu menahu.
“Saya tidak tahu menahu soal itu, saya hanya orang kecil di MUI,” tuturnya.
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PB NU) mendesak pemerintah dan sejumlah lembaga terkait untuk menyatukan pendapat tentang status vaksin meningitis (radang selaput otak) yang hingga kini belum ada keputusannya. "Masalah vaksin itu harus diperjelas. Apakah benar-benar haram atau tidak. Selama ini kan masih silang pendapat," jelas Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU Cholil Nafis kepada Republika, Jumat (12/6).
Pada pemberitaan Republika sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pihaknya sepakat memutuskan bahwa vaksin meningitis ini tidak halal. "Tapi bagi saya dari informasi yang saya ketahui, vaksin ini tidak terkontaminasi enzim dari babi, karena babi hanya merupakan katalisator saja dan sudah dinetralisir. Jadi, tidak masalah. Untuk itu sangat dibutuhkan kesatuan pendapat mengenai vaksin ini." Selain itu, lanjut Cholil, juga diperlukan keterangan jelas dari pemerintah Arab Saudi mengenai sejauhmana bahaya penyakit radang selaput otak ini. Mengapa sampai mengharuskan jamaah haji menggunakan vaksin ini. "Harus ada kejelasan latar belakang vaksin meningitis. Dan harus ada bukti yang ilmiah berapa banyak orang yang kena dan apa dampaknya," tegasnya.
Selama ini, Cholil Nafis mengaku belum tahu pasti keterangan dari dokter maupun ahli mengenai vaksin ini. Seberapa jauh bahayanya. "Selama ini kan hanya tindakan preventif saja menggunakan vaksin ini," katanya. Namun, kata Cholil, sebelum MUI menanyakan ke pemerintah Arab Saudi, selesaikan dulu masalah internal di negara Indonesia ini. Pihak pemerintah dan MUI harus menjelaskan apakah vaksin ini halal atau haram. "Sah-sah saja bertanya ke Arab Saudi tapi harus jelas dulu status vaksin ini. Jika sudah bulat bahwa vaksin ini haram, fatwakan saja, kenapa tunggu pemerintah Arab Saudi. Jika sudah yakin tidak perlu tanya, namun fatwa tersebut harus bisa dipertanggung jawabkan," katanya.Supaya keluar dari perdebatan itu, Cholil Nafis memberikan solusi. Ia menyarankan agar pemerintah mencari vaksin lain yang katalisatornya bukan dari babi. "Supaya keluar dari perdebatan dianjurkan lebih baik cari vaksin yang katalisatornya bukan dari babi seperti vaksin yang katalisatornya sapi seperti yang digunakan di Malaysia," katanya. Lagi pula, kata Cholil, kalau memang sudah terkontaminasi babi, sudah pasti haram, dan tidak perlu difatwakan orang juga sudah mengetahuinya. "Kalau sudah kodli (pasti dalam Al-Quran), tidak perlu difatwakan. Babi itu sudah jelas haram," tegasnya.
Jika belum ada kejelasan tentang vaksin ini, Cholil menghimbau kepada masyarakat, agar menghindari hal yang meragukan seperti vaksin meningitis ini. "Hindari hal yang meragukan ke hal yang tidak meragukan," tandasnya Hampir semua ulama’ yang memperbolehkan penggunaan barang najis dalam rangka pengobatan mendasarkannya dengan alasan Dlorurot (darurat), begitu juga dalam penggunaan enzim meningitis, para ulama’ juga mendasarkan pendapatnya tersebut dengan alasan Dlorurot (darurat). menurut al-Ustadz Abd al-Aziz ‘Azm guru besar al-Azhar, darurat adalah:

الضرورات في اللغة مأخوذة من الإضرار , وهو الحاجة الشديدة
Qaedah fiqh menyatakan tentang darurat, yaitu:

الضَّرُورَةُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Darurat itu membolehkan hal-hal terlarang.

مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ تُقَدَّرُ بِقَدَرِ تَعَذًُّرِهَا

Apa yang dibolehkan untuk kemadaratan diukur dengan ukuran uzurnya

الضرر يزال
Darurat harus dihilangkan
Imam Suyuti memberikan batasan penggunaan yang pada awalnya dilarang dengan alasan darurat adalah apabila jika tidak menggunakan sesuatu yang dilarang tersebut akan menyebabkan kerusakan (mati). Para ulama’ klasik memberikan pengertian tentang darurat yaitu ancaman gangguan kesehatan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa atau lainnya sehingga dapat memperbolehkan bertayammum (mubih al-tayammum). Kebolehan menggunakan sesuatu yang dilarang dengan alasan darurat, ulama’ juga memberikan batasan selama belum ada (ditemukan) penggantinya dari sesuatu yang halal, serta penggunaannya merupakan sebuah alternatif terakhir. Sedangkan masalah penggunaan enzim untuk jamaah haji, menurut berbagai sumber kurang memenuhi syarat apabila didasarkan dengan alasan darurat. Karena kabarnya enzim meningitis sudah bisa dibuat dengan bahan sapi, serta Malaysia menggunakan bahan alami sebagai ganti untuk enzim meningitis, yaitu:

والله اعلم باالصواب
مع النجاح

Tidak ada komentar:

Posting Komentar