Selasa, 22 Maret 2011


STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA
MENURUT SIGMUND FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI
(PENDEKATAN INTEGRASI INTERKONEKSI)
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali

BAB I
PENGANTAR
                                                                                
A.    Latar Belakang Masalah
Telaah kepribadian (personality), sejak lahirnya psikologi pada akhir abad ke-18, telah menjadi salah satu tema perbincangan yang penting dalam suatu bangunan psikologi. Psikologi lahir sebagai ilmu untuk memahami manusia seutuhnya, yang disini hanya dapat dilihat, diamati, dan di interpretasikan melalui kepribadiannya. Karenanya telaah mengenai kepribadian menjadi bagian yang mendasar dalam struktur bangunan keilmuan Psikologi.
Kita akan menemukan  banyak  perbedaan pendapat di kalangan para ahli psikologi mengenai pengertian kepribadian. Misalnya, Gordon Allport telah  mengidentifikasi 49 definisi kepribadian yang ditambah satu definisi menurut dirinya sendiri. Tidak adanya keseragaman dalam definisi dan terminologi kepribadian menimbulkan kesangsian pada beberapa pihak mengenai kemungkinan adanya satu ilmu pengetahuan tentang psikologi kepribadian (Ahyadi, 1998).  Pada sisi lain, kenyataan ini memberi ruang bagi telaah yang lebih luas dan mendalam terhadap apa , mengapa dan bagaimana kepribadian itu.
Latipun (2005) berpendapat bahwa pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh paradigma yang dipakai untuk menyusun teori kepribadian itu sendiri. Menurutnya, paradigma kepribadian sementara ini dapat dikelompokkan menjadi 4 paradigma besar “the big four”, yaitu paradigma psikoanalisis, paradigma traits, paradigma kognitif, dan paradigma behaviorisme. Masing-masing paradigma besar itu pun masih terderifasi ke dalam ragam pendapat yang sangat bervariasi.
Menurut Latipun (2005), kepribadian adalah ranah kajian psikologi pemahaman tingkah laku, pikiran, perasaan, kegiatan manusia, memakai sistemik, metoda, dan rasional-psikologik. Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa teori psikologi kepribadian itu mempelajari individu secara khusus terkait dengan siapa dia, apa yang dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya. Analisis terhadap selain individu (misalnya kelompok, bangsa, binatang, atau mesin) berarti memandang mereka sebagai individu, bukan sebaliknya.
Sebuah teori kepribadian menurut Calvin Stanley Hall (1993), diharapkan mampu memberikan jawab atas pertanyaan-pertanyaan sekitar “apa”, ‘bagaimana”, dan “mengapa” tentang tingkah laku manusia. Menurut Pervin (1980), sebuah teori kepribadian yang lengkap  biasanya memiliki dimensi-dimensi tentang struktur, proses, pertumbuhan dan perkembangan, psikopatologi serta perubahan tingkah laku. Struktur yaitu aspek-aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil dan menetap, serta yang merupakan unsur-unsur pembentuk sosok kepribadian. Proses yaitu konsep-konsep tentang motivasi untuk menjelaskan dinamika tingkah laku atau kepribadian. Adapun Pertumbuhan dan Perkembangan, yaitu aneka perubahan pada struktur sejak masa bayi sampai mencapai kemasakan, perubahan-perubahan pada proses yang menyertainya, serta berbagai faktor yang menentukannya. Psikopatologi mencakup hakikat gangguan kepribadian atau tingkah laku beserta asal-usul atau proses berkembangnya. Yang terakhir adalah Perubahan tingkah laku, yang merupakan konsepsi tentang bagaimana tingkah laku bisa dimodifikasi atau diubah. 
Menurut peneliti, dari kelima dimensi tersebut, dimensi struktur merupakan dimensi yang paling mendasar dan mempengaruhi dimensi yang lain. Selain itu dimensi struktur merupakan akar cara pandang filosofis tentang siapa manusia itu.  Perbedaan pada konsep struktur kepribadian akan memberikan perbedaan pula terhadap dimensi yang lain, hingga ke wilayah aplikasi, seperti pendekatan dalam konseling, psikoterapi atau modifikasi perilaku manusia. Dari dimensi inilah, perbedaan cara pandang terhadap kepribadian selanjutnya bermula.
Menurut Jamaludin & Hermawan (2005), terbatasnya pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang struktur internal manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian. Kerangka keilmiahan telah membatasi mereka dalam proses analisis dan sintesis konsepsi kepribadian manusia seutuhnya. Carl Gustav Jung pernah melakukan terobosan dalam membangun psikologi analitiknya, ia melibatkan data-data mitologi dan simbol-simbol agama ke dalam kerangka analisis ilmiahnya.
Oleh karena itu, Helminski (2005) mengemukakan bahwa psikologi kontemporer yang terbaik saat ini kebanyakan merupakan kumpulan dugaan yang subjektif dan didorong oleh kultur. Ada banyak teori tentang kepribadian, belajar, dan sebagainya, akan tetapi sebagai ilmu yang sebenarnya terbukti masih sukar dipahami. Teori yang sejauh ini mereka klaim sebagai ilmiah, merupakan eksperimen yang belum sempurna sehingga sukar untuk memahami masalah-masalah kepribadian yang terkait dengan makna dan tujuan hidup yang sangat mendasar.
Dalam konteks keterlibatan agama dalam pengembangan telaah tentang kepribadian dapat dibedakan antara mereka yang membela dan mempertahankan realitas yang benar-benar sekuler; dan mereka yang mempercayai kekuatan wahyu Tuhan. Kelompok pertama pada dasarnya meyakini manusia mampu dengan sendirinya membangun pengetahuan tentang jiwa (psyche) manusia itu sendiri secara efektif, memuaskan, boleh dibilang secara lengkap. Menurut Helminski (2005) Sigmund Freud dan Karl Marx adalah contoh mentalitas model ini yang kondang pada abad keduapuluh.
Kedua sistem tersebut bukannya gagal seluruhnya, hanya saja belum bisa mengungkap makna kehidupan sebagai pencapaian kehidupan yang mulia yang komprehensif, maka pada millennium ini kita dapat menyaksikan kehancuran zaman Modern (Modernisme) dengan munculnya zaman Post Modern (Post Modernisme). Zaman Post Modern ini ditandai dengan munculnya berbagai teori kepribadian dengan mendasarkan pada kekuatan dirinya dan sekaligus “meyakini” adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya, yakni Tuhan. Sehingga tidak mengherankan ketika kita menyaksikan kegersangan-kegersangan para ilmuwan psikologi akan makna spiritual dimulai dari yang sedikit mistis seperti Carl G. Jung, lalu Abraham Maslow, Carl Rogers, Danah Zohar & Ian Marshal dan lain sebagainya.
Oleh karena itu mendasarkan teori kepribadian dengan memadukan antara kemampuan akal (rasionalitas) manusia dan wahyu Tuhan, merupakan bangunan teori yang lebih komprehensif untuk memahami fenomena kepribadian manusia yang menurut Alexis Carol “man, the unknown” manusia adalah sebuah misteri (Carol, 1967).  Sebagian misteri itu ada diungkap dalam wahyu Tuhan. Meski demikian,  memadukan antara psikologi kepribadian dengan agama (wahyu Tuhan) ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan (Mujib, 2006).
Menarik bahwa, pada tahun 1997 di Universitas Darul Ulum, Jombang sempat diadakan acara Dialog Nasional Pakar Psikologi Islam yang menyepakati bahwa salah satu visi Psikologi Islam ditempatkan sebagai mazhab kelima psikologi setelah psikoanalisis, behavioristik, humanistik, dan transpersonal. Karena memposisikan diri sebagai salah satu aliran atau mazhab, maka perlu ada beberapa pandangan khas mengenai psikologi Islam (www.jurnal_iiitindonesia).
Pertama, mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Disamping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengannya manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Pandangan Psikologi Islam tentang al-qalb termasuk yang khas dan berbeda bila dibandingkan dengan psikologi Barat yang hampir selalu menjelaskan sesuatunya dengan otak semata tanpa melibatkan hati (al-qalb) sepenuhnya secara seimbang atau ideal.
Ketiga, mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Manusia diciptakan dalam keadaan positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fithrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fitrahnya.
Keempat, mempercayai bahwa manusia adalah unik. Quraish Shihab menyebutnya sebagai khalqan akhar (ciptaan yang berbentuk lain). Beliau merujuk pada dua ayat dalam Al-Qur`an yaitu QS 17:21 dan QS 6:165.
Kelima, psikologi islam dibangun berdasarkan nilai tertentu, bukan netral etik. Gagasan tentang ilmu yang netral etik adalah khayalan belaka, seperti dikemukakan oleh Gunnar Myrdal. Setiap ilmu berangkat dari nilai-nilai dan mengembangkan nilai-nilai. Kalau kita meniliki lebih jauh lagi, memang kajian psikologi selama ini seperti kehilangan ruhnya. Oleh karena itu, Malik Badri mengatakan, a psychology without soul studying a man without soul. Selama ini dimensi dalam ilmu psikologi yang hanya menekankan pada dimensi ragawi (fisik-biologis), jiwa (psikologis), dan lingkungan (sosiokultural). Ini terasa kurang begitu mengena dalam meneropong manusia sebagai makhluk yang memiliki kompleksitas. Sehingga dalam kajian Psikologi Islam ditambahlah dengan dimensi ruhani (spiritual). Bahkan pada tahun 1984, Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO) telah menambahkan satu dimensi lagi untuk melihat orang sehat yaitu dimensi spiritual. Oleh American Psychiatric Association ini diadopsi dengan paradigma pendekatan bio-psycho-socio-spiritual.
Pandangan fundamental di atas dapat menjadi dasar bagi pengembangan kajian kepribadian dalam paradigma Islam. Berbicara tentang “the big four”, yaitu paradigma psikoanalisis, paradigma traits, paradigma kognitif, dan paradigma behaviorisme, dalam konteks pengembangan keilmuan di lingkungan UIN Sunan Kalijaga merupakan tantangan untuk didialogkan dengan paradigma keIslaman sebagai salah satu usaha untuk mengintegrasi-interkoneksikan antara keilmuan Barat (Natural-Studies, Social Studies dan Humanities) dengan Islam (Islamic Studies).
Sebagai sebuah proses pengembangan keilmuan Psikologi Integrasi-Interkoneksi (baca; Psikologi II), maka peneliti mencoba melakukan telaah komparasi terhadap kajian tentang struktur kepribadian menurut salah satu tokoh penting paradigma psikoanalisis, yaitu Sigmund Freud dan tokoh Mujaddid Islam Imam Al-Ghazali, terkait dengan konsep mengenai struktur kepribadian manusia. 
   
B.    Rumusan dan Hipotesis Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji sebagai berikut :
1.  Bagaimanakah konsep tentang hakikat dan struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Imam Al-Ghazali ?
2.  Bagaimanakah fungsi dari unsur-unsur dalam struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali ?
3.  Apakah ada perbedaan konsep struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali ?
4.  Adakah persinggungan antara konsep struktur kepribadian menurut Al-Ghazali dan Sigmund Freud?

Sejumlah dugaan yang diajukan peneliti terkait dengan rumusan masalah di atas adalah :
1.  Terdapat perbedaan konsep tentang hakikat manusia dan struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali.
2.  Terdapat persinggungan dalam konsep tentang struktur kepribadian menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan struktur kepribadian manusia menurut Al-Ghazali dan Sigmund Freud. Adapun kegunaan atau manfaat dari penelitian ini adalah :
1.  Memperkaya kajian Psikologi Integrasi-Interkoneksi, khususnya telaah psikologi kepribadian,  lebih khusus lagi studi tentang konsep struktur kepribadian.
2.  Memperkaya literatur perkuliahan Psikologi Kepribadian khususnya di lingkungan Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga.
3.  Sebagai stimulan penelitian sejenis di waktu mendatang

D. Tinjauan Pustaka
Ada banyak hasil penelitian  dan  publikasi buku yang membedah dan menganalisis pemikiran-pemikiran  tentang kehidupan kejiwaan, baik Imam Al-Ghazali sebagai ilmuwan Islam atau pembaharu (mujaddid). Saat ini sudah ada ilmuwan muslim yang sudah menerangkan tentang bagaimana pandangan Islam (c.q psikologi Islami) tentang perkembangan manusia. Di antara yang membahas masalah ini adalah Aliah Purwakania Hasan dalam bukunya, Psikologi Perkembangan Islami, Fuad Nashori (Potensi-potensi Manusia), dan Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir (Nuansa-nuansa Psikologi Islam). Di sisi lain, ahli psikologi Barat yang membahas masalah ini: Papalia, Olds, & Feldman (dalam buku Agus Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama), F.J. Monks, A.M.P. Knoers & Siti Rahayu Haditono (Psikologi Perkembangan), dan Hurlock (Perkembangan Anak).
Sekalipun demikian, sejauh yang dapat kami ketahui, belum ada satu pun yang melakukan penelitian komparatif antara pandangan Islam dan pandangan psikologi Barat mengenai masalah perkembangan manusia ini. Selain itu, perlu dijelaskan bahwa komparasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengembangan psikologi yang integratif dan interkonektif sebagaimana disampaikan Hanna Djumhana Bastaman (2005) dalam buku Integrasi Psikologi dengan Islam.
Demikian juga teori Al-Ghazali,  yang sama tergolong tua. Namun belum banyak studi komparasi yang melihat kedua perspektif ini secara linear. Padahal dalam pengembangan keilmuan integratif-interkonektif, kajian semacam ini sangat dibutuhkan. Beberapa penelitian yang yang dekat dengan tema kajian ini di antaranya,  Jiwa Rendah Dalam Psikologi Dan Tasawuf, Studi Komparatif Konsep Id Dan Nafs Al-Amarah (Arifin, 2000),  Perspektif Psikologi Sufi Ibnu Arabi dan Psikoanalisis Sigmund Freud (Ghozali, 1999)
Selain itu, perlu dijelaskan bahwa komparasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengembangan psikologi yang intgratif dan interkonektif sebagaimana disampaikan Hanna Djumhana Bastaman (2005) dalam buku Integrasi Psikologi dengan Islam.

E. Landasan Teori
Ahli-ahli psikologi dari Barat maupun dari Islam mencoba menerangkan masalah perkembangan manusia ini.
1.     Awal dan akhir kehidupan manusia
Ahli-ahli psikologi Islami dan psikologi barat berbeda dalam menjelaskan awal dan akhir kehidupan individual manusia. Mujib dan Mudzakir (2001), Nashori (2005) dan Hasan (2006) mengungkapkan bahwa awal kehidupan manusia adalah saat ruh manusia diciptakan Tuhan. Selengkapnya inilah perbedaan pandangan psikologi Islami dan psikologi Barat tentang awal dan akhir kehidupan manusia.
                                                                                                   
Tabel 2. Awal dan akhir kehidupan manusia
AWAL-AKHIR
PSIKOLOGI BARAT
PSIKOLOGI ISLAMI
Awal Kehidupan
Kehidupan Manusia dimulai sejak pertemuan sel sperma dengan sel telur
Kehidupan manusia dimulai sejak terjadinya penciptaan ruh
Akhir Kehidupan
Kehidupan manusia berakhir setelah seseorang meninggal dunia, sebagian di antaranya sampai lansia
Kehidupan manusia berlanjut di hari kebangkitan, setelah manusia meninggal dunia

2. Tahap Perkembangan Manusia
Dari kalangan Barat dapat diberikan tiga buah contoh pandangan mengenai perkembangan manusia yaitu Elizabeth B. Hurlock (2000), Monks dkk (2005) serta Papalia dkk (Dariyo, 2007). Hurlock membagi fase perkembangan menjadi: fase pralahir, fase neo-natus (lahir sampai 10-14 hari), fase bayi (2 minggu sampai 2 tahun), fase kanak-kanak (dua sampai remaja), fase puber (11-16 tahun), fase dewasa, dan fase lansia. Selanjutnya, Monks dkk (2005) mengungkapkan bahwa fase perkembangan manusia dimulai dari fase pra-natal dan tahun pertama, fase tahun pertama sampai usia empat tahun, fase anak pra-sekolah dan anak sekolah, fase remaja I, fase remaja II, fase dewasa dan masa tua. Sementara itu Papalia, Olds, & Feldman (Dariyo, 2007) berpandangan bahwa fase perkembangan manusia meliputi sembilan tahap yaitu (1) masa prenatal, (2) bayi dan bawah tiga tahun, (3) anak-anak awal, (4) anak tengah, (5) anak akhir, (6) remaja, (7) dewasa muda, (8) dewasa tengah, dan (9) dewasa akhir atau lanjut usia.
Dari kalangan Islam dapat diberikan contoh pandangan mengenai tahap perkembangan manusia ini, di antaranya adalah Nashori (2005), Sofia (2006) dan Hasan (2006). Nashori (2005) membagi perkembangan manusia menjadi: pra-kelahiran, fase bayi, fase kanak-kanak, fase tamyiz, fase amrad, fase taklif/dewasa, fase futuh, fase lansia, dan fase pasca kematian.
Sementara itu perkembangan manusia dalam perspektif Islam menurut Sofia (2006) dibagi menjadi: (1) Sejak manusia masih berupa jiwa (ruh) hingga dihembuskannya ruh ke dalam segumpal darah (fase persaksian); (2) Masa bayi, kanak-kanak hingga usia 7 tahun sebagai dasar awal dalam memenuhi kewajiban agama, hingga batas usia 10 tahun dibebankannya tanggung jawab keagamaan; (3) Masa baligh (masa pubertas), yaitu usia peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja sehingga menuntut pemenuhan kewajiban agama berupa rukun Islam berikut perbedaan pemenuhan kewajiban agama menurut jenis kelamin (shalat bagi laki-laki dan perempuan, haji, dan sebagainya); (4) Masa pernikahan berikut tugas-tugas perkembangan dalam peran masing-masing individu sebagai suami-istri, anak maupun orang tua, (5) Masa lansia dan kematian, dan (6) Masa kebangkitan kembali.
Sementara itu, Hasan (2006) berpandangan bahwa fase kehidupan manusia meliputi tahap pralahir, periode pertumbuhan, periode pencapaian kematangan, periode usia baya dan periode penuaan.
Tabel 3. Fase-fase perkembangan manusia
PSIKOLOGI BARAT
PSIKOLOGI ISLAMI
Fase pra kelahiran
Fase pra kelahiran lebih panjang (dimulai dari penciptaan ruh)
Fase remaja
Fase persiapan menjadi dewasa (tamyiz dan amrad)
Fase dewasa tengah
Fase futuh (keterbukaan ruhani)
Tak ada fase pasca kematian
Fase kehidupan akhirat

3. Aspek-aspek yang Ditinjau Mengenai Perkembangan Manusia
Baik ahli-ahli psikologi Barat (Monks dkk, 2004; Papalia dkk, dalam Dariyo, 2007; Hurlock, 2000) maupun para ilmuwan psikologi Islami (Nashori, 2005, Mujib & Mudzakir, 2001; Hasan, 2006; dan Sofia, 2006) sama-sama menjelaskan empat hal yang ditinjau dalam memahami perkembangan manusia, yaitu fisik, emosi, kognitif, maupun sosial. Perbedaannya adalah para ilmuwan psikologi Islami memandang sangat penting aspek spiritual dalam perkembangan manusia.

Tabel 4. Aspek-aspek Perkembangan Manusia
Perpektif
Aspek 1
Aspek 2
Aspek 3
Aspek 4
Aspek 5
Psikologi Barat
Fisik
Emosi
Kognitif
Sosial
-
Psikologi Islami
Fisik
Emosi
Kognitif
Sosial
Spiritual

F.     Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu content analysis. Dalam hal ini telaah pustaka.
Tahap pertama adalah mencari pustaka mengenai kepribadian, khususnya konsep tentang struktur kepribadian menurut Bapak Psikoanalisa, yaitu Sigmund Freud.  Selanjutnya akan dilakukan pencarian pustaka mengenai teori kepribadian menurut Imam Al-Ghazali, khususnya kajian tentang struktur kepribadian.
Tahap kedua adalah mencari perbedaan dan persinggungan. Menurut Bastaman (2005), komparasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengembangan psikologi Islami atau psikologi yang integratif dan interkonektif. Hal ini sebagaimana disampaikan Hanna Djumahana Bastaman (2005) dalam buku Integrasi Psikologi dengan Islam.

G.    Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini laporan akan disampaikan dalam wujud seperti ini:
1.     Analisis perbedaan konsep tentang struktur kepribadian manusia menurut Sigmund Freud dan Imam Al-Ghazali.
2.     Analisis persinggungan konsep tentang struktur kepribadian manusia menurut Sigmund Freud dan Imam Al-Ghazali.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar