Minggu, 13 Maret 2011

CIVIL LAW DI INDONESIA (2)

CIVIL LAW DI INDONESIA (2)
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

A. Tradisi Hukum Sipil Dan Penjajahan Belanda di Indonesia

Sebagaimana catatan sejarah bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad, di saat itulah Belanda ke Indonesia dan turut mempengaruhi hukum yang ada di Indonesia. Tepatnya pada akhir abad ke-17 perusahan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indissche Compagnie) sampai di Nusantara. Belanda pada saat itu tengah menentang tirani bangsa Spanyol yang kejam dan berusaha merebut kemerdekaan. Pada awalnya hanya provinsi bagian utara saja yang hanya mendapatkan kemerdekaan penuh, sementara bagian selatan masih berada di bawah kekuasaan Spanyol dan kemudian jatuh ke tangan Austria selama lebih dari seabad (sejak 1648, seluruh provinsi sudah tidak diperintah lagi oleh Spanyol). Selama perang Napoleon pada tahun 1795, Belanda serikat menjadi Republik Batavia, dan kemudian menjadi kerajaan di bawah kekuasaan saudara Napoleon, Luise napoleon. Setelah perdamaian Vienna pada 1815, Belanda bagian utara menjadi kerajaan di bawah kekuasaan Istana kuning, sementara Belanda bagian selatan memberontak pada 1839, dan kemudian menjadi kerajaan Belgia setelah bersatu dengan utara. Jadi cukup adil kiranya mengatakan bahwa ketika orang-orang Belanda memulai misi mereka di kepulaian Indonesia, situasi politik di negara mereka masih berada dalam keadaan berfluktuasi, dimana bentuk pemerintahan masih terombang-ambing antara bentuk republik dan kerajaan.
Tradisi hukum di Belanda, semenjak awal abad pertengahan, sangat dipengaruhi oleh tradisi hukum Jerman, di mana peran adat lokal masih memiliki posisi yang penting. Dalam perjalanan waktu, hubungan dekat dengan Prancis dan Jerman membukahkan pintu bagi Belanda untuk menerima hukum Romawi. Penerimaan ini pada dasarnya untuk merespons kebutuhan terhadap sistem hukum yang lebih umum dan lebih baik ketimbang oleh tradisi hukum setempat. Pengaruh hukum Romawi semakin kuat pada abad ke-15 terutama dengan didirikanya Universitas Louvain oleh Duke of Brabant tahun 1425. Karena itu, apa yang kemudian disebut dengan hukum Roma-Belanda pada dasarnya adalah hukum Romawi yang dikenal pada saat itu yaitu Corpus Juris Civilis sebagaimana yang diedit dan ditafsirkan oleh para komentator dan penerus mereka, dan digaungkan oleh para sarjana Prancis, Jerman, Italy, Spanyol dan belakangan oleh sarjana Belanda sendiri. Tradisi hukum inilah yang dibawa oleh Belanda ke kepulauan Indonesia, di mana mereka pertama kali datang sebagai “pedagang” dan kemudian menjadi “penguasa”.
Meski kedatangan Belanda sebagai pedagang yang sama dengan pedagang muslim sebelumnya, namun keduanya memiliki perbedaan, salah satu perbedaan invasi kedua pedagang adalah semangat mereka untuk menyebarkan gagasan hukum ke kalangan pribumi. Kalau pedagang muslim menyebarkan menyebarkan tradisi hukum Islam berjalan seiring dengan perjalan penyebaran agama mereka, maka Belanda di lain pihak, terutama pada fase awal penjajahanya, tampaknya tidak mengangggap penyebaran tradisi hukum sipil sebagai misi utama dalam kedatangan mereka ke nusantara. Pada awal kehadiran Belanda, kegiatan bisnis mereka didominasi oleh tugas untuk mengeksploitasi sebanyak dan secepat munkin daerah penghasil pertanian, sehingga pesoalan hukum masyarakat pribumi sama sekali tidak diacuhkan. Perusahan dagang Belanda kelihatanya enggan terlibat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat, terutama persoalan tersebut tidak berhubungan dengan bisnis mereka. Seperti dijelaskan oleh John Ball dengan gamblang, “Kebijakan pemerintah terutama didasarkan pada persoalan apakah masalah itu akan menguntungkan atau tidak menguntungkan VOC, dan apakah persoalan itu akan bisa mengakibatkan sedikit mungkin”.
Sikap semacam itu jelas sangat terlihat dalam cara Belanda menangani persoalan hukum masyarakat pribumi. Waktu dan energy VOC dihabiskan terutama untuk misi perdagangan. Jadi kecenderungan mereka hanya akan membuat undang-undang ketika undang-undang itu berhubungan dengan pertimbangan bisnis. Itu artinya VOC pada awalnya mengabaikan kepentingan membuat pemerintahan di Nusantara.
Kesadaran perlunya sistem hukum oleh Belanda baru disadari semenjak membangun landasan kekuasaanya pada seperempat pertama abad ke-17, pengalaman di Hindia Belanda menyadarkan mereka tentang perlunya sistem hukum yang lebih maju. demikian pada masa ini pengaruh tidak bisa menembus daerah-daerah terpencil sehingga mereka hanya berkonsentrasi di sekeliling wilayah pusat kekuasaan kolonial, Batavia.
Di balik kenyataan itu, tidak semua bagian Hindia-Belanda berada di bawah pengaruh hukum sipil. Pendirian pengadilan pusat serta institusi hukum di Batavia itu merepresentasikan prasasti dalam sejarah penggunaan logika hukum sipil di Nusantara. Semenjak priode awal ini VOC menerapkan hukum yang sebagian besar landasanya menggunakan dasar yang dipakai Belanda, baik isi maupun institusi hukum yang merupakan bagian penting hukum colonial menyerupai apa yang ada di Belanda. Hal itu sesuai dengan prinsip “kesesuaian” (concordancy) yang menetapkan bahwa hukum yang diterapkan di Hindia Belanda secara umum harus sesuai dengan hukum di Belanda. Memang, proses pengalihan hukum pada priode awal VOC belum berpengaruh pada orang pribumi, tapi logika administrasi hukum yang digunakan pada priode ini telah membukakan jalan bagi hubungan antara tradisi hukum sipil dan tradisi hukum pribumi di daerah tersebut.
Pada awalnya yang menjadi tugas utama Belanda adalah menerapkan hukum yang seragam dan konsisten. Mereka mengangggap penyeragaman hukum ini sebagai salah satu kebijakan paling penting yang harus diterapkan. Karena itu, melalui logika hukum sipil yang mereka bawa dari negeri mereka, VOC pada awal 1632 berusaha membuat undang-undang dari komplikasi berbagai dekrit dan ketetapan yang telah diundang-undangkan oleh gubernur Jendral beserta dewan. Usaha ini kemudian berwujud “undang-undang Batavia” dan kemudian berubah menjadi “undang-undang Batavia baru” hasil revisi undang-undang yang lama.
Sikap Belanda berubah manakala kendali atas Nusantara berpindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda. Ini adalah fas kedua dalam penjajahan, fase yang lebih serius seiring perubahan pendekatan Belanda terhadap nusantara dari sekedar penundukan ekonomi menjadi sepenuhnya penjajahan. Jadi bisa dibilang kemunculan pertama tradisi hukum sipil di Nusantara pada dasarnya melekat pada praktik penjajahan, dimana ideologi sentralisme hukum langsung mengukuhkan keberadaanya dalam kehidupan masyarakat sipil. Melalui penjajahan inilah Belanda menegakan tradisi hukum sipil yang mereka bawah dari negeri asalnya untuk membangun ideology hukum negara di tengah-tengah berbagai nilai hukum yang sebelumnya sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat. Tentu ideology ini menjadi perhatian Belanda, karena sesuai dengan kebutuhan kolonial untuk mengendalikan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dijajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar