Minggu, 13 Maret 2011

BAGIAN PERTAMA PENGERTIAN “Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah”

BAGIAN PERTAMA
PENGERTIAN “Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah”
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali


A. PENGERTIAN
Seiring dengan arus globalisasi yang telah menawarkan banyak sekali wacana ke-Islaman, pemikiran, bahkan ideologi yang tidak jarang bersinggungan dengan ranah ideologi kaum nahdhiyyin, telah melahirkan berbagai masalah pelik yang harus dihadapi dan diberikan jawabannya secara arif dan bijaksana serta tentunya sesuai dengan nalar fiqih yang argumentatifnya proporsional sesuai dengan standar akal (akal-logika) dan naql (ayat-wahyu).
Konsep tentang Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini masih belum dipahami secara tuntas, sehingga menjadi “klaim” dari masing-masing golongan/ aliran keagamaan dalam Islam. Semua kelompok mengaku dirinyalah sebagai penganut ajaran Aswaja yang sebenarnya. Tidak jarang istilah Aswaja tersebut hanya digunakan demi meraih kepentingan sesaat saja. Oleh karena itu, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah? Bagaimanakah klaim dari masing-masing golongan? Dapatkah dibenarkan secara hakiki?
Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah , berasal dari tiga suku kata yang membentuknya.
a. Ahl, berarti, keluarga, golongan atau pengikut. Selain itu, ahl juga dapat berarti suatu aliran (madzhab) yang berarti pemeluk aliran tersebut atau pengikut (ashab) madzhab. [Sahal Mahfudh, 2003 hal. 464]
b. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang pernah di ajarkan oleh Rasululllah SAW, Maksudnya, semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW. [Fath al-Bari Juz XII. Hal 245]. Selain itu juga dapat berarti sebagai thariqah (jalan) sehingga Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah merupakan thariqah-nya para Sahabat dan Tabiin. As-sunnah juga bisa berarti al-hadits.
c. Al-jama’ah, yakni apa yang telah di sepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa al- Khulafa ‘al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar RA, Umar bin Khathab RA, Ustman bin ‘Affan RA dan ‘Ali bin Abi Thalib RA). Kata al-jama’ah ini di ambil dari sabda Nabi Muhammad SAW.





“Barang siapa yang ingin mendapat kehidupan yang damai di surga maka ia mengikuti al-jama’ah” (Hadist riwayat Tirmidzi,dan di shahihkan oleh al-Hakim dan az-Dzahabi) [al-Mustadrak Juz I hal 77 - 88]

I’tiqad (kepercayaan, keyakinan yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kenabian, gaib dll) Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Kaum Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah itulah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau (Khulafaur Rasyidin dst sampai ke generasi selanjutnya).
Secara garis besar, I’tiqad Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah terbagi menjadi 6 bagian, yaitu:
1. Tentang Ketuhanan
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.
2. Tentang Malaikat-malaikat
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.
3. Tentang Kitab-kitab suci
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah SWT adalah Al-Qurán.
4. Tentang Rasul-rasul
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW.
5. Tentang Hari Akhirat
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah SWT membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.
6. Tentang Qadha dan Qadar
Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW :

“Dari Umar RA juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi SAW, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rasulullah SAW) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi SAW bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [HR. Muslim Dalam Ringkasan Syarah Arba’in an-Nawawi]

Agama Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an seseorang dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Dan Sabda Nabi saw:
"Islam itu didirikan atas lima perkara. "Iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Ia dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)" (QS. al-Fath: 4), "Kami tambahkan kepada mereka petunjuk." (QS. al-Kahfi: 13), "Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk." (QS. Maryam: 76), "Orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya" (QS. Muhammad: 17), "Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya" (QS. al-Mudatsir: 31), "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya." (QS. at-Taubah: 124), "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka." (QS. Ali Imran: 173), dan "Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (kepada Allah)." (QS. al-Ahzab: 22) Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah adalah sebagian dari keimanan. [Hadits Imam Bukhari, Bab Iman]

Secara historis, ketika umat Islam berada di tengah-tengah maraknya perbedaan politik antar firqah yang dikemas dengan cover akidah dan disela-sela pertentangan antar paham akidah dimana diantara mereka mengklaim sesama Muslim dengan kafir, dan mereka yang bersifat fatalistis, muncullah pemikiran sebagian tabiin yang sejuk, moderat dan tidak terlalu ekstrim. Kelompok ini tidak mau terseret terlampau jauh dalam aktivitas politik praktis (netral atau tawazun). Mereka juga tidak dengan mudah mengkafirkan orang, aktivitasnya lebih bersifat kultural (ta’adul atau seimbang dan tasamuh atau toleran). Sejak saat itulah pemikiran Aswaja dimulai.
Kemoderatan Aswaja tampak pada istimbatu al-hukmi yang mendahulukan nash dengan tetap memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara konsep wahyu dan konsep rasio. Inilah yang diimplementasikan oleh imam madzhab empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali). Tawazun dikaitkan dengan sikap Aswaja dalam hal siyasah yang tidak memihak pada kelompok yang terlibat pro dan kontra. Ta’adul dan tasamuh tampak pada cara mereka bergaul yang toleran terhadap non-Muslim dan juga tidak mudah mengkafirkan muslim yang lain.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh beliau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq:









“Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafaur al-Rasyidun yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat pada mereka semua)” [al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, Juz I, hal 80]

Selanjutnya Syaikh Abi Fadhl bin Abdusyakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah:






“Yang disebut dengan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak hati”. [al-Kawakib al-Lamma’ah, hal 8-9]

Lebih jelas lagi, Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287 -1336 H/ 1871 - 1947 M) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat bahwa: “Adapun Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqaha al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii dan Madzhab Hanbali” [Ziyadat Ta’liqat, hal. 23 - 24]

B. KARAKTERISTIK AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabat-sahabatnya.
Munculnya Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tidak bisa terlepas dari perjalanan sejarah yang amat panjang. Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, saat itulah muncul dan timbullah khilafiyah. Pada saat itulah ketika umat Islam berada di tengah-tengah maraknya perbedaan politik antar firqah yang dikemas dengan cover akidah dan disela-sela pertentangan antar paham akidah dimana diantara mereka mengklaim sesame muslim dengan kafir, dan mereka bersifat fatalis, muncullah pemikiran sebagian Tabi’in yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Itulah golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah . Dengan demikian, mereka yang konsisten mengamalkan ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya itulah yang disebut dengan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa dikatakan sebagai pengikut Aswaja.
Jadi, Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Ketiga prinsip tersebut adalah:

a. al-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
       •    
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu , Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS. al-Baqarah, 153]

Tawasuth dapat berarti Moderasi, yakni menengahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (free-willism) dan Jabariyah (fatalism), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi. Sikap moderasi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbâth) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y). Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam Mazhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menghasilkan hukum-hukum. Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka : (1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, Tabi’in sampai para Imam dan Ulama Mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.

b. al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli). Disarikan dari firman Allah SWT:
         ••      •   ••        •    
”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” [QS. al-Hadid, 25]

Prinsip tawâzun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat. Dalam politik. Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Jadi, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawâzun.

c. al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an disebutkan:
          •            •        
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. al-Maidah: 8]

Ketiga prinsip ini merupakan sikap tengah-tengah, serta berimbang dalam setiap persoalan. Misalnya, dalam masalah sifat dan Dzat Allah SWT antara kelompok Mujassimah (menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai anggota tubuh dan sifat seperti manusia) dan Mu’aththilah (tidak mengakui adanya sifat bagi Allah SWT), tentang perbuatan Allah SWT antara Qadariyah (manusia memiliki kekuatan penuh atas dirinya sendiri) dan Jabariyah (manusia tidak memiliki daya upaya apa-apa kecuali atas takdir Allah SWT), menyikapi janji dan ancaman Allah SWT antara Murji’ah (semua hukuman dan pembalasan diserahkan kepada Allah SWT) dan Wa’idiyyah (Allah SWT pasti akan menghukum orang-orang yang berdosa), sikap kepada Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad SAW antara Rafidhah/ Syi’ah (seluruh sahabat kafir dan ahlul bait adalah orang-orang yang maksum) dan Khawarij (seluruh sahabat dan ahlul bait yang menjadi penyebab peperangan Jamal dan Shiffin dihukumi kafir) dan sebagainya.
Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriah (fiqih) serta masalah akhlak yang mengatur gerak hati (tasawuf). Dalam praktik keseharian, ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yan digagas oleh Imam al-‘Asy’ari dan Imam Maturidi. Sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyyah termanifestasikan (wujud) dengan mengikuti madzhab yang empat, yakni Madzhab Hanafi , Madzhab Maliki , Madzhab Syafii dan Madzhab Hanbali . Adapun dalam masalah akhlak (tasawuf), mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali .
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sikap tasamuh (toleransi), yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
        
“Maka berbicaralah kamu (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". [QS. Thaha: 44]

Prinsip tasâmuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang Islami (ukhuwwah Islâmiyyah). Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbuatan yang baik dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran. Dalam diskursus sosial-budaya, Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur setempat (tradisi dan budaya lokal). Jika prinsip-prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmah li al- ‘âlamîn).

C. I’TIQAD AHLUSUNNAH WALJAMAAH
1. Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
2. Tuhan itu ada, namanya Allah SWT dan ada 99 nama Allah SWT (asmaul husna)
3. Tuhan mempunyai sifat yang banyak sekali, yang boleh disimpulkan dengan perkataan: Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan) dan Kamal (kesempurnaan).
4. Sifat yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin (orang yang beriman) yang baligh (dewasa) dan berakal adalah 20 sifat; 20 sifat wajib ada bagi-Nya dan sifat yang mustahil (tidak mungkin) ada bagi-Nya serta sifat yang ada bagi-Nya, yaitu:
a. Wujud, artinya Ada, mustahil Ia tidak ada.
b. Qadim, artinya tidak berpermulaan ada-Nya, mustahil ada-Nya berpermulaan.
c. Baqa, artinya tidak berkesudahan ada-Nya, mustahil ada-Nya berkesudahan.
d. Mukhalafatuhu ta’ala lilhawadisi. Artinya Ia berlainan (berbeda) dengan makhluk-Nya. Mustahil Ia serupa dengan makhluk-Nya.
e. Qiyamuhu binafsihi, artinya Ia berdiri sendiri, tidak berdiri diatas dzat lain. Mustahil Ia berdiri diatas dzat lain.
f. Wahdaniyah, artinya Ia Esa, mustahil Ia banyak.
g. Qudrat, artinya Kuasa, mustahil ia tidak Kuasa.
h. Iradat, artinya menentukan sendiri dengan kehendak-Nya, mustahil Ia dipaksa-paksa.
i. Ilmu, artinya Ia tahu, mustahil Ia tidak tahu.
j. Hayat, artinya Hidup, mustahil Ia mati.
k. Sama’, artinya Mendengar, mustahil Ia tidak mendengar.
l. Bashar, artinya Ia Melihat, mustahil Ia tidak melihat.
m. Kalam, artinya Berkata, mustahil Ia bisu.
n. Kaunuhu Qadiran, artinya Ia dalam keadaan yang Berkuasa, mustahil Ia dalam keadaan tidak berkuasa.
o. Kaunuhu Muridan, artinya Ia dalam keadaan mempunyai Iradat, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak mempunyai iradat.
p. Kaunuhu Alamin, artinya dalam keadaan yang Tahu, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak tahu.
q. Kaunuhu Hayyan, artinya Ia dalam keadaan Yang Hidup, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak hidup.
r. Kaunuhu Sami’an, artinya Ia dalam keadaan Yang Mendengar, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak mendengar.
s. Kaunuhu Bashiran, artinya Ia dalam keadaan Yang Melihat, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak melihat.
t. Kaunuhu Mutakalliman, artinya Ia dalam keadaan Yang Berkata, mustahil Ia dalam keadaan yang tidak berkata.
Dengan demikian 20 sifat wajib (yang mesti ada) bagi Allah SWT dan 20 sifat yang mustahil (yang tidak mungkin) bagi Allah SWT.
5. Sifat yang harus bagi Allah SWT hanyalah satu, yaitu: Ia boleh memperbuat dan boleh pula tidak memperbuat.
6. Wajib dipercaya bahwa Malaikat ada. Mereka banyak. Tetapi yang wajib dipercayai secara terperinci hanyalah 10 Malaikat sebagai yang telah disebutkan nama-namanya dan pekerjaannya masing-masing.
7. Wajib dipercaya adanya Kitab-kitab Suci yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada kaumnya. Kitab-kitab Suci ini banyak, tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 4, yaitu:
a. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS.
b. Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud AS.
c. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, dan
d. Kitab al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
8. Kaum Ahlusunnah wal Jamaah mempercayai Rasul-rasul yang diutus Allah SWT kepada manusia. Mereka banyak, ada yang diterangkan oleh Allah SWT kepada kita dan ada pula yang tidak diterangkan. Tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 25 Rasul yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Nabi ialah orang yang dituruni wahyu oleh Tuhan, tetapi tidak disuruh untuk menyampaikan kepada manusia. Sedangkan Rasul ialah orang yang dituruni wahyu oleh Tuhan dan disuruh untuk menyampaikan kepada manusia. Jadi Nabi belum tentu Rasul, tetapi kalau Rasul mesti Nabi. Sedangkan 25 orang ini adalah disamping Nabi tetapi juga sebagai Rasul.
9. Setiap orang Islam wajib percaya hari Akhirat. Permulaan hari akhirat itu bagi setiap manusia adalah sesudah mati, yaitu:
a. Setiap orang akan mati apabila jangka usianya sudah habis.
b. Setelah mati lalu dikubur. Dalam kubur ditanyai: siapa Tuhan, siapa Nabi, Siapa Imam dan lain-lain oleh Malaikat Munkar dan Nakir.
c. Orang jahat akan disiksa di kubur.
d. Kemudian pada suatu waktu akan terjadi kiamat besar, dunia akan hancur lebur dan semua makhluk yang ada didunia akan mati.
e. Kemudian pada suatu waktu pula akan dibunyikan terompet sehingga seluruh orang yang mati bangun kembali, berkumpul di Padang Mahsyar.
f. Akan diadakan Hisab yakni perhitungan dosa dan pahala.
g. Di Padang Mahsyar, akan ada syafaat (bantuan) dari Nabi Muhammad SAW dengan seizin Tuhan.
h. Akan ada timbangan untuk menimbang dosa dan pahala.
i. Aka nada Titian Shirathal Mustaqim yang dibentangkan diatas neraka yang akan dilalui oleh sekalian manusia.
j. Akan ada Telaga Kautsar kepunyaan Nabi Muhammad SAW didalam surga, dimana orang-orang yang beriman akan dapat minum.
k. Yang lulus ujian terus langsung selamat meniti dan masuk Surga Jannatun Na’im, tetapi yang kafir akan masuk neraka.
l. Orang yang baik langsung masuk surga dan kekal selama-lamanya.
m. Orang kafir langsung masuk meraka dan kekal selama-lamanya.
n. Orang mukmin yang berdosa dan mati sebelum taubat akan masuk neraka buat sementara dan sehabis hukuman akan dikeluarkan dan di masukkan ke dalam surga buat selama-lamanya.
o. Orang mukmin yang baik-baik akan diberi nikmat apa saja yang ia sukai dan akan diberi lagi nikmat tambahan yang paling besar dan paling lezat, yaitu melihat Allah SWT.
Demikian secara ringkas tentang hari akhirat.
10. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai Qadha dan Qadar, yaitu Takdir Illahi:
a. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah ada Qadha Tuhan, yakni hukum Tuhan yang azal, bahwa hal itu akan terjadi.
b. Sekalian yang terjadi di dunia ini – baik dan buruknya semuanya dijadikan Tuhan. Pendeknya nasib baik dan nasib buruk semuanya dari Tuhan dan kita umat manusia hanya menjalani takdir saja.
c. Yang ada bagi manusia hanya kasab, ikhtiar dan usaha. Kita wajib berusaha dan berikhtiar.
d. Pahala yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah karena kurnia-Nya dan hukuman yang diberikan kepada manusia adalah karena keadilan-Nya.
Demikian kepercayaan orang mukmin kaum Ahlussunnah wal Jamaah tentang Rukun Iman yang 6, yaitu percaya kepada Allah SWT, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat dan Qadha – Qadar-Nya. Selain itu kaum Ahlussunnah wal Jamaah juga mempercayai pula bermacam-macam kepercayaan yang terbit atau timbul dari Rukun Iman yang 6 tadi, yaitu:
11. Tuhan bersama nama-Nya dan Sifat-Nya, semua qadim karena semua nama dan sifat-Nya tersebut berdiri diatas dzat yang qadim. Oleh karena itu sekalian sifat Tuhan adalah Qadim, tidak berpermulaan adanya.
12. al-Qur’an al-Kariem adalah Kalam Allah SWT yang qadim. Adapun yang tertulis dalam mushaf, yang memakai huruf dan suara adalah gambaran dari al-Qur’an yang Qadim itu. Karena itu al-Qur’an al-Kariem dikatakan Qadim, tidak boleh dikatakan hadist atau “makhluk”.
13. Rezeki sekalian manusia sudah ditaksirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi manusia disuruh mencari rezeki, disuruh berusaha, tidak boleh menunggu saja.
14. Ajal setiap manusia sudah ada jangkanya oleh Tuhan, tidak terkemudian dan tidak pula terdahulu walaupun sedetik sekalipun. Tetapi manusia diperintah oleh Tuhan supaya berobat kalau sakit, tidak boleh menunggu ajal saja.
15. Anak-anak orang kafir, kalau ketika masih bayi (kecil) mati akan masuk surga.
16. Do’a orang mukmin bermanfaat baginya dan bermanfaat bagi yang dido’akan.
17. Pahal sedekah, wakaf dan pahala bacaan (tahlil, shalawat, bacaan al-Qur’an) boleh dihadiahkan kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka kalau dimintakan kepada Allah SWT untuk menyampaikannya.
18. Ziarah kubur, khususnya kubur ibu dan bapak, ulama-ulama, wali-wali dan orang-orang yang mati syahid, apalagi kubur Nabi Muhammad SAW dan Sahabat-sahabat beliau adalah sunnah hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan. Berjalan pergi ziarah kubur termasuk mengerjakan ibadah.
19. Mendo’a kepada Tuhan secara langsung atau mendo’a kepada Tuhan dengan wasilah (bertawasul) adalah sunnah hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan.
20. Masjid diseluruh dunia sama derajatnya, kecuali 3 masjid yang lebih tinggi derajatnya, yaitu masjid Makkah, masjid Madinah dan masjid Baitul Muqaddas. Berjalan untuk sembahyang ke 3 masjid tersebut adalah ibadah dan diberi pahala jika dikerjakan.
21. Seluruh manusia adalah anak cucu dari Nabi Adam AS, Nabi Adam AS berasal dari tanah. Iblis dan Jin dijadikan oleh Tuhan dari api. Malaikat-malaikat dijadikan dari cahaya.
22. Bumi dan langit ada. Siapa yang mengatakan langit tidak ada, ia keluar dari lingkungan Ahlussunnah wal Jamaah.
23. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus sebagai yang telah ditetapkan Tuhan dalam al-Qur’an dan al-Hadist Nabi yang shalih. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Bukhari, nama Tuhan itu ada 99 nama. Siap yang menghafalnya diluar kepala akan dimasukkan kedalam surga. (Lihat Shahih Bukhari dan Shahih Turmudzi). Kita umat Islam boleh mendo’a (menyeru) dengan salah satu dari nama-nama 99 tersebut. Misalnya, Ya Lathif Ya Lathif, Ya Rahman Ya Rahman dan lain sebagainya.
24. Kalau terdapat ayat-ayat al-Qur’an suci yang seolah-olah menyatakan bertubuh serupa manusia, atu bertangan serupa manusia, atau bermuka serupa manusia, atau duduk serupa manusia, atau turun serupa manusia, maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah menta’wilkan atau menafsirkan ayat-ayat tersebut secara majazi, yaitu bukan menurut asal arti dari perkataan itu, sesudah itu diserahkanlah kepada Tuhan apakah yang sebenarnya dimaksudkan-Nya dari ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat yang mengatakan “Tuhan bermuka” maka maksudnya ialah Dzat yang Qadim yang tidak serupa dengan makhluk-Nya. Kalau terdapat “Tuhan bertangan”, maka maksudnya Tuhan berkuasa, karena tangan itu biasanya alat kekuasaan.
Kalau ditemukan ayat yang mengatakan “Tuhan duduk diatas Arasyi”, maka maksudnya ialah Tuhan menguasai Arasyi. “Tuhan turun”, maka maksdunya yang turun itu rahmat-Nya, bukan batang tubuh-Nya. “Tuhan itu cahaya”, maksudnya Tuhan itu memberi cahaya, begitulah seterusnya.
Hal ini sangat dianggap perlu, agar kita termasuk golongan Musyabihah atau Mujasimah yang menetapkan bahwa ada keserupaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dalam QS. As-Syura: 11, dinyatakan senyata-nyatanya bahwa tiada suatupun yang menyerupai Tuhan dan Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tetapi dalam mengartikan atau menta’wilkan ayat ini janganlahmemakai sembarang ta’wil. Hendaknya memperhatikan kitab-kitab tafsir Ahlussunnah wal Jamaah yang dipercayai, misalnya: kitab Tafsir at-Thabari, kitab Tafsir al-Qurthubi, kitab Tafsir Jalalain, kitab Tafsir Khazin dsb. [Untuk lebih jelasnya silakan pelajari dalam buku “40 Masalah Agama” Jilid IV Masalah Salaf dan Khalaf, KH. Sirodjudin Abbas].
25. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir kedunia, sesudah itu mati, sesudah bangkit (hidup) kembali berkumpul di Padang Mahsyar, sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 28. pendeknya manusia kalau sudah mati ya sudah, tidak hidup lagi walaupun menyerupai binatang atau apa saja. Tidak ada istilah reinkarnasi. Hidup nanti pada hari Kiamat jika telah dibunyikan nafir oleh malaikat Israfil. Hal ini bertentangan dengan kaum Syi’ah yang meyakini bahwa kelak Sayyidina Ali akan hidup lagi pada akhir zaman dan sesudah itu mati lagi dan setelah itu hidup lagi di Padang Mahsyar.
26. Upah (pahala) yang diberikan Tuhan kepada orang yang shalih bukanlah karena Tuhan terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban untuk membalas jasanya orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Tuhan terpaksa menghukumnya atau kewajiban Tuhan untuk menghukumnya, tidak. Tuhan memberikan pahala kepada manusia dengan Karunia-Nya dan menghukum dengan Keadilan-Nya.
27. Tuhan Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati saja. Tetapi ingatlah jangan ada keyakinan bahwa Tuhan itu di dalam surga. Hanya kita yang melihat, yang bertempat dalam surga.
28. Pada waktu di dunia tidak ada manusia yang dapat melihat Tuhan Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW pada malam Mi’raj
29. Mengutus Rasul-rasul adalah suatu karunia Tuhan kepada hamba-Nya, untuk menunjuki jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Tuhan untuk mengutus Rasul-rasul itu.
30. Wajib diketahui dan diyakini oleh seluruh umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah. Sesudah usia 40 tahun beliau diangkat menjadi Rasul, lalu diturunkan kepada beliau ayat-ayat al-Qur’an berturut-turut selama 23 tahun. Sesudah 13 tahun menjadi Rasul beliau pindah ke Madinah, menetap di situ dan wafat disitu pula. Beliau wafat setelah melakukan tugas selama 23 tahun dalam usia 63 tahun. Makam pekuburan Nabi Muhammad SAW di Madinah, dalam lingkungan Masjid Madinah sekarang. Setiap Muslim boleh menziarahinya.
31. Nabi Muhammad SAW adalah manusia serupa kita, bukan malaikat. Beliau makan, minum, tidur, kawin dan mempunyai keluarga srerupa manusia biasa. Akan tetapi kemanusiaan beliau adalah luar biasa, ruhaniah dan jasmaniah beliau luar biasa kuatnya karena kepada beliau diturunkan wahyu Illahi, yang kalau diturunkan kepada bukit niscaya bukit itu akan hancur lebur. Kalau diumpamakan kepada batu, boleh dikatakan Nabi Muhammad SAW itu batu akik (batu permata akik), dan manusia yang lain serupa batu kerikil. Sama-sama batu tetapi yang satu lebih tinggi derajatnya. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “Insan Kamil” atau “Saidul Khalaik”.
32. Silsilah nenek-nenek Nabi Muhammad SAW adalah: Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib, bin Hasyim, bin Abdu Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Marrah, bin Ka’ab, bin Liai, bin Galib, bin Fihir, bin Malik, bin Nadhar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah, bin Ilyas, bin Mudhar, bin Ma’ad bin Adnan. Sedangkan dari pihak ibu adalah: Muhammad bin Aminah, binti Wahab, bin Abdu Manaf, bin Zahrah, bin Kilab (nenek Nabi yang ke-enam dari pihak ayah).
33. Isteri-isteri Nabi Muhammad SAW sejak kawin sampai beliau wafat adalah: Ummul Mukmnin Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah binti Abi Umaiyah, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahsyi, Zainab binti Khuzaimah, Maimunah binti Harist, Juwairiyah binti Harts, Safiyah binti Hay radiyallahu ‘anhunna.
34. Anak-anak Nabi Muhammad SAW adalah: Zainab, Ruqayah, Ummu Kaltsum, Siti Fathimah, Qasim, Abdullah, dan Ibrahim radhiyallahu ‘anhum.
35. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang suku, tidak pandang negeri dan tidak pandang agama.
36. Nabi Muhammad SAW mi’raj ke langit melalui Baitul Muqaddas (Palestina) tanggal 27 Rajab dan kembali malam itu juga ke dunia membawa perintah sembahyang (shalat) 5 kali dalam sehari semalam. Beliau mi’raj dengan tubuh dan ruhnya.
37. Nabi Muhammad SAW terdahulu diangkat jadi Nabi disbanding dengan Nabi-nabi yang lain, yaitu pada masa Nabi Adam AS masih terbaring dalam surga sebelum diberi jiwa. Karena itu beliau adalah Nabi yang paling dahulu diangkat dan yang paling akhir lahir ke dunia.
38. Nabi Muhammad SAW memberi syafaat (bantuan) kelak di akhirat kepada seluruh manusia. Syafaat itu bermacam-macam, diantaranya menyegerakan hisab di Padang Mashsyar.
39. Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, maka pengganti beliau yang sah adalah Sayyidina Abu Bakar RA sebagai Khalifah yang pertama, Sayyidina Umar bi Khathab sebagai Khalifah yang kedua, Sayyidina Ustman bin Affan sebagai Khalifah yang ketiga dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang keempat. Beliau-beliau yang berempat ini dinamai dengan Khulafaur Rasyidin.
40. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia diantara makhluk Tuhan adalah Nabi Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul lain, sesudah itu Nabi-nabi, sesudah itu Malaikat-malaikat dan setelah manusia yang lain.
41. Wajib diyakini bahwa Sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling mulia adalah Sayyidina Abu Bakar, sesudah itu Sayyidina Umar bin Khathab, sesudah itu Sayyidina Ustman bin Affan, sesudah itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sesudah itu Sahabat-sahabat yang sepuluh yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, yaitu 4 orang khalifah, ditambah dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubeir bin ‘Awam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah, ‘Amir bin Jarrah, sesudah itu Sahabat-sahabat yang ikut Perang Badar, sesudah itu Sahabat-sahabat yang ikut Perang uhud, sesudah itu Sahabat-sahabat yang ikut Bai’atur Ridhwan, sesudah itu sekalian Sahabat Nabi SAW.
42. Dalam soal pertikaian dan peperangan yang terjadi antara para Sahabat Nabi SAW, seumpama “peperangan Jamal” antara Sitti ‘Aisyah dan Sayyidina Ali, peperangan Siffin antara Sayyidina Ali dengan Mu’awiyah, kaum Ahlussunnah wal Jamaah menanggapi secara positif, tidak banyak dibicara-bicarakan, tetapi dianggap mereka berperang menurut ijtihad mereka masing-masing. Kalau ijtihad itu benar, pada sisi Allah SWT, mereka akan mendapat 2 pahala. Tetapi jika mereka salah mereka akan mendapatkan 1 pahala atas ijtihadnya itu.
43. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah yakin bahwa sekalian famili Nabi Muhammad SAW, khususnya Siti’Aisyah Ummul Mukminin yang tertuduh membuat kesalahan, adalah bersih dari noda. Fitnah yang dilancarkan kepada famili Nabi Muhammad SAW adalah fitnah yang dibuat-buat [Lihat QS. an-Nur: 11]
44. Kerasulan seorang Rasul adalah karunia dari Tuhan. Pangkat itu tidak didapat dengan diusaha-usahakan, umpamanya dengan masuk sekolah, bertapa dsb.
45. Rasul-rasul Allah SWT dibekali mu’jizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang di luar kemampuan manusia biasa, umpamanya Nabi Ibrahim AS tidak mempan dibakar api, Nabi Isa AS pandai menghidupkan orang mati, Nabi Musa AS bias menjadikan tongkat berubah jadi ular yang sangat besar, Nabi Muhammad SAW dengan Kitab Suci al-Qur’an yang tidak dapat ditiru oleh orang-orang pandai, air keluar dari anak jarinya, membelah bulan, matahari berhenti berjalan dsb.
46. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah meyakini adanya keramat. Keramat artinya pekerjaan yang ganjil-ganjil yang diluar kebiasaan, yang dikerjakan oleh wali-wali Allah SWT, ulama-ulama orang shalih, umpamanya makanan dating dengan sendirinya pada Siti Maryam, Ashabu Kahfi yang tidur dalam gua selama 350 tahun dsb.
47. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi penghabisan, Nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi setelah beliau wafat. Begitu juga dengan pangkat kenabian dan kerasulan, begitu juga nabi-nabi pembantu tidak akan pernah ada lagi sesudah Nabi Muhammad SAW wafat. Siapa saja yang memdakwakan dirinya nabi dan rasul, maka ia wajib dilawan karena palsu.
48. Wajib dipercayai adanya “Arasyi”, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan dari Nur. Terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakikatnya dan kebesarannya. Hanya Allah SWT yang tahu.
49. Wajib diyakini adanya “Kursi Tuhan”, yaitu suatu benda yang dijadikan Tuhan untuk menuliskan sesuatu yang akan terjadi di Luh Mahfudz. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah dituliskan dengan kalam di Luh Mahfudz terlebih dahulu.
50. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis. Keduanya dikekalkan oleh Tuhan Allah SWT agar yang berbuat baik merasai selama-lamanya atas nikmat pekerjaannya dan yang berbuat dosa akan merasai pula siksa selama-lamanya atas perbuatannya.
51. Dosa itu – menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah – terbagi menjadi dua, yaitu ada dosa besar dan ada pula dosa kecil. Dosa besar adalah syirik (menyekutukan Allah SWT, inilah yang paling besar), membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba rente uang, lari dari medan pertempuran perang sabil, menjadi tukang sihir, mendurhakai ibu d an bapak, zina, liwath, berdusta terhadap Nabi dsb. Kalau dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Allah SWT. Dosa besar hanya dapat diampuni kalau bertaubat kepada Allah SWT.
52. Orang Mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddat - murtad) dengan melakukan hal-hal sbb:
1. Dalam Keyakinan (I’tiqad)
a. Syak (ragu) akan adanya Tuhan Allah SWT
b. Syak (ragu) akan kerasulan Nabi Muhammad SAW
c. Syak (ragu) bahwa al-Qur’an itu wahyu
d. Syak (ragu) bahwa aka nada hari kiamat, hari akhirat, surga, neraka dsb.
e. Syak (ragu) bahwasanya Nabi Muhammad SAW isra’ dan mi’raj dari masjid Mekah ke masjid Baitul Muqaddas dengan ruh dan tubuh.
f. Mengi’tiqadkan bahwa Tuhan Allah SWT tidak mempunyai sifat, seperti ilmu, hayat, qidam dsb.
g. Mengi’tiqadkan bahwa Tuhan Allah SWt serupa dengan manusia.
h. Menghalalkan pekerjaan yang telah disepakati ulama Islam mengharamkannya, umpamanya meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa boleh baginya, membunuh orang boleh baginya dsb.
i. Mengharamkan pekerjaan yang sudah disepakati ulama Islam membolehkannya, umpamanya kawin haram baginya, jual-beli haram baginya, makan minum haram baginya dsb.
j. Meniadakan sesuatu amalan ibadah yang sudah sepakat ulama Islam mewajibkannya, umpamanya sembahyang, puasa, zakat dsb.
k. Mengingkari kesahabatan Sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang utama seperti Khulafaur Rasyidin dsb.
l. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat al-Qur’an atau menambah sepotong atau seluruhnya ayat al-Qur’an, dengan tujuan ia menjadikan al-Qur’an.
m. Mengingkari salah seorang dari Rasul yang telah sepakaht ulama-ulama Islam mengatakannya Rasul.
n. Mendustakan Rasul-rasul Tuhan Allah SWT
o. Mengi’tiqadkan ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
p. Menda’wakan Jadi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.
2. Dalam Amalan
a. Sujud kepada berhala, matahari, bulan dsb.
b. Sujud kepada manusia dengan sukarela
c. Menghina Nabi-nabi dan Rasul-rasul dengan lisan atau perbuatan
d. Menghina Kitab-kitab suci dengan lisan atau perbuatan
e. Mengejek-ngejek agama atau Tuhan Allah SWT dengan lisan dan perbuatan, dsb
3. Dalam Perkataan
a. Mengucapkan “Hai Kafir” kepada orang Islam
b. Mengejek nama Tuhan Allah SWT
c. Mengejek hari akhirat, surga , neraka
d. Mengejek-negjek salah satu syariat Islam seperti shalat, puasa, zakat, naik haji, thawaf, wuquf, dsb
e. Mengejek-ejek malaikat, Nabi-nabi dan Rasul
f. Mengejek-ejek Nabi Muhammad SAW, keluarga dsb

D. KARAKTERISTIK NU DALAM TATARAN PRAKTIS
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: [Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44].

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung¬-jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-¬muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

Sebagaimana definisi yang sangat sederhana, disenandungkan dalam untaian nadham oleh KH. Zaenal Abidin Dimyathi:

















“Pengikut al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti madzhab para Imam dalam masalah ushul (akidah) mereka mengikuti madzhab Imam Asy’ari dan Maturidi. Dalam bidang fiqih mengikuti salahs satu madzhab yang menjadi pemimpin umat ini, Imam Syafii dan Imam Hanafi yang cemerlang serta Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang tasawuf atau thariqah mengikuti ajaran Imam Junaid”. [al-Idza’ah al-Muhimmah, 47]

Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh Salafus Shalih, sebagai panutan dalam Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan inti sari agama Islam yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi umatnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:








“Dari Abdurrahman bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah SAW menasehati kami, “Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilajku al-Khulafaur al-Rasyidun yang mendapatkan petunjuk” [Musnad Ahmad bin Hanbal, 16519]

Karena itu, sebenarnya Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan sesuai dengan apa yang telah diamalkan oleh para sahabatnya. Ketika Rasulullah SAW menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, maka dengan tegas Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap memegang dan berpedoman pada apa saja yang diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada waktu itu (ma’ana ‘alaihi al-yawm wa ashhabi).
Maka, Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah sesungguhnya bukanlah aliran baru yang muncul sebagi reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran hakiki agama Islam. Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencerabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali agama Islam agar tetap sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan paa sahabat beliau [Khittah Nahdhiyyah, hal 19-20].
Komitmen untuk mendapatkan ajaran yang murni itu, dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pertama, keinginan yang sungguh-sungguh untuk mendaptkan ajaran yang benar-benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kedua, berhati-hati menerima suatu pendapat atau penafsiran dengan meneliti kebenaran dan kesinambungan jalur dan salurannya sampai kepada Rasulullah SAW. Tidak hanya dengan membaca sepotong naskah dari satu dalil saja. Ketiga, berusaha mempelajari Islam seutuh mungkin dengan mempelajari secara Ijmali (global) dan tafshili (terperinci/ mendetail) dengan memahami garis-garis kecilnya (mikro). Keempat, berusaha keras mengamalkan Islam sebaik mungkin dengan selalu menyadari kelemahan diri sehingga tidak merasa dirinya paling benar dan paling takwa.
Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya termasuk Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan sahabatnya.
Abu Sa’id al-Khadimi berkata:









“(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Jawaban kami adalah: bahwa Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diaplikasikan (diwujudkan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini, perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam Hadits-hadits yang shahih, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yan telah disepakati kevaliditasnya” [al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal 111 - 112]

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan bahwa Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan telah diamalkan juga para sahabat Rasulullah SAW. Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tidak hanya sebatas hanya klaim semata tanpa ada perwujudan praktik dalam kehidupan sehari-hari. [wallahu a’lam bi shawwab]


E. BACAAN YANG DISARANKAN
1. Syaikh Ahmad Marzuqi. Aqidatul ‘Awwam. (Semarang: Menara Kudus, 1957)
2. KH. Muhyiddin Abdusshomad. Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah: Terjemah & Syarh Aqidah al-Awwam. (Jawa Timur: Khalista & LTN Nu Jawa Timur, 2009)
3. Muhammad Idrus Ramli. Madhzab al-Asy’ary: Benarkah Ahlussunnah wal Jamaah Jawaban terhadap Aliran Salafi (Wahabi). (Jawa Timur: Khalista & LTN NU Jawa Timur, 2009)
4. KH. Sirodjudin Abbas, I’tiqad Ahl Sunnah Wa al-Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996).
5. Al-Habib Zainal Abidin bin Ibrahim bin Samith Al-Alawi Al-Husaini, Al-Ajwibatu Al-Ghaliyah fi ‘Aqidah Al-Firqah Al Naajiyah: Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Surabaya: Khalista & LTN NU Jawa Timur, 2009).
6. Syaikh Jamil Affandi Shodaqi az-Zahawi. Fajar as-Shadiq: Kesesatan & Kebohongan Wahabiyah, Penerj: Ibnu Abdul Ghafur. (Jawa Timur: Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, 2008)
7. Tim Bahtsul Masail PC NU Jember. MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik.” (Jawa Timur: Khalista & LTN NU Jawa Timur, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar