Minggu, 13 Maret 2011

USHUL FIQIH: MUJMAL DAN BAYAN

USHUL FIQIH:
MUJMAL DAN BAYAN
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali

Hubungan antara hukum Islam atau fiqih Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas. Karena sumber pokok dari hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Hadits yang nota bene memakai atau menggunakan bahasa Arab standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau ilmu nahwu dan sharaf. Kalau kita menengok kepada lafadz-lafadz yang digunakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan dalam Hadits Nabi, maka dapat disimpulkan bahwa diantara lafadz yang digunakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits tersebut ada lafadz yang jelas penunjukan atau pengertian atau maknanya. Di samping itu ada pula lafaz yang tidak jelas atau samar maknanya. Diantara yang tidak jelas maknanya itu ada yang disebut dengan Mujmal yang berlawanan dengan lafadz Mubayyan. Pembahasan atau makna dari suatu ayat al-Qur’an atau suatu Hadits Nabi. Mujmal dan Mubayan inilah yang menjadi objek pembahasan dalam makalah ini, dimana kedua istilah Mujmal dan Mubayan tersebut akan diuraikan secara ringkas, baik dari segi pengertian bahasa (etimologi) maupun dari segi pengertian istilah ( terminologi ) ushul fiqih, serta beberapa contoh tentang hal-hal tersebut.

Definisi Mujmal (المجمل) :
Secara etimologi ada beberapa arti yang diberikan kepada lafadz Mujmal. Pertama Mujmal diartikan sebagai global/ umum atau dalam bahasa Arab disebut الجمع . Kedua Mujmal diartikan dengan ‘samar’ atau dalam bahasa Arab disebut الشبهة . Ketiga ada pula yang memberi arti Mujmal dengan ‘yang tidak diketahui arti’ atau dalam bahasa Arab disebut dengan المبهم. Sedangkan secara terminologi atau secara pengertian istilah Mujmal diartikan sebagai berikut :
1. Prof.DR. Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan al-Mujmal sebagai berikut, “al-Mujmal menurut istilah ulama Ushul, ialah lafadz yang shighotnya tidak dapat menunjukan kepada pengertian yang dikandung olehnya, dan tidak terdapat qorinah-qorinah lafadz atau keadaan yang dapat menjelaskannya. Maka sebab itu kesamaran di dalam al-Mujmal ini bersifat lafzhi bukan sifat yang baru datang”.
2. Wahbah al-Zuhaili mendefinisian Mujmal sebagai berikut :
“Lafadz yang samar maksudnya, yang tidak dapat dietahui kecuali dengan penjelasan dari pembicara sendiri. Tidak dapat diketahui dengan akal karena hanya bisa diketahui dengan dalil naqli dari pembicara itu. Maksudnya lafadz itu tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya penjelasan dari yang me-mujmalkan atau al-Mujmil atau Syari’
Dari definisi di atas dapat kita tangkap pengertian bahwa, Pertama, al-Mujmal adalah lafadz atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena faktor eksternal dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.

PENYEBAB SAMARNYA LAFADZ MUJMAL
Dalam menjelaskan hal ini, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa ada enam hal yang merupakan penyebab samarnya suatu lafaz Mujmal yaitu sebagai berikut :
1. Lafadz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak tertentu kualitasnya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141 :
و أتوا حقه يوم حصد

“ dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”.
Lafadz ‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun jenis dan kualitas hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain yang akan menjelaskannya.
2. Lafadz itu mengandung makna musytarak ( bersama ) antara dua makna atau lebih sesuai dengan arti etimologinya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :

و المطلقات يتربصن با نفسهن ثلاثة قروء

“Wanita-wanita yang ditalak itu hendaklah menahan dirinya (menunggu) tiga quru “
Lafadz ‘quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung dalil lain baik dari al-Qur’an, Sunnah maupun ijtihad.
3. Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu kalimat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 1 :
يايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلى الصيد و انتم حرم ان الله يحكم ما يريد

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “ merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu" adalah jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam surat al-Maidah ayat 3 tersebut.
4. Rasulullah SAW mengerjakan suatu perbuatan yang mengandung dua kemungkinan, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang dituju adalah salah satunya. Misalnya sebuah Hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW meng-qashar shalat dalam perjalanan ( HR. Bukhari dan Muslim). Perjalanan yang dimaksud dalam Hadits ini masih mengandung dua kemungkinan, yang jauh atau yang dekat.
Apabila penjelasan tentang jarak perjalanan tersebut tidak ada, maka lafazh "perjalanan “ (safar) tetap akan mujmal. Akan tetapi kemujmalan lafadz tersebut dijelaskan oleh sebuah Hadits riwayat Baihaqy, bahwa perjalanan yang boleh meng-qashar shalat adalah perjalanan yang jauh, yaitu yang ditempuh dua hari perjalanan . Terdapat beberapa Hadits mengenai hal ini sehingga berakibat juga pada perbedaan pendapat Ulama fiqih dalam menentukan jarak perjalanan tersebut.
5. Rasulullah SAW menetapkan hukum dalam suatu kasus, tetapi keputusan itu mengandung beberapa kemungkinan sehingga tidak dapat difahami kecuali melalui dalil lain. Misalnya Hadits Rasulullah SAW yang menyuruh seseorang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Yang membuat penetapan hukum Rasulullah SAW ini menjadi mujmal adalah karena belum jelas penyebab berbuka puasanya seseorang itu sehingga dikenakan ketetapan hukum ini, apakah disebabkan jima’ siang hari Ramadhan atau disebabkan berbuka saja, baik karena jima’ atau yang lainnya. Karena itu diperlukan dalil lain yang menjelaskannya.
6. Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti ) yang merujuk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan tanpa ada dalil kuat yang merujuk kepada salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat sebutan yang berbeda , tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu dua kemungkinan itu. Contohnya masalah dhamir dalam Hadits Rasulullah SAW :
لا يمنع احدكم جاره أن يضع خشبة في جدره

“janganlah salah seorang di antara kamu melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya”
Kata “ nya “ dalam kalimat dinding rumahnya mengandung kemungkinan merujuk kepada kalimat “tetangga” atau kepada kalimat “salah seorang di antara kamu”. Tidak ada dalil dalam Hadits ini yang menunjukkan marja’ dhamir tersebut. Oleh sebab itu perlu dicarikan dalil lain yang menjelaskannya.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ada beberapa kategori dari suatu lafadz yang Mujmal tersebut. Kategori-kategori yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Termasuk Mujmal ialah lafadz-lafadz yang pengertian bahasa dipindahkan oleh Syari’ dari pengertian aslinya kepada pengertian-pengertian khusus menurut istilah syara’. Seperti lafadz sholat , zakat, shiyam. Haji, riba dan lafadz-lafadz lain yang oleh Syari’ dikehendaki dengannya makna syara’ secara khusus, bukan makna yang lughowi (menurut etimologi).
Maka apabila di dalam nash syara’ terdapat lafadz diantara lafadz-lafadz tersebut diatas, lafazh itu adalah mujmal (global) pengertiannya, sampai ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh Syari’ sendiri. Karena itu datanglah Sunnah yang berbentuk amal perbuatan dan ucapan untuk menafsir atau menjelaskan arti sholat dan menjelaskan rukun-rukunnya serta syarat-syaratnya dan hai’ahnya (bentuk pelaksanaannya). Rasulullah SAW bersabda :
صلوا كما رايتمونى أصلى

“ Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang shalat (seperti shalatku)”.
Begitu juga beliau telah menafsir zakat, shiyam, haji, riba dan setiap lafadz yang mujmal (global) di dalam nash-nash al-Qur’an.
4. Termasuk al-Mujmal ialah lafadz asing yang ditafsir oleh nash itu sendiri dengan arti yang khusus, seperti lafazh (القارعة) dalam firman Allah (Q. S Al-Qariah 1-4):

القارعة ما القارعة و ما ادرئك ما القارعة يوم يكون الناس كالفراش المبثوث

“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu ?. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu ? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran".
Dan lafazh (الهلوع ) di dalam firman-Nya Q.S al-Ma’arij : 19 – 21 ;
ان الانسان خلق هلوعا اذا مسه الشر جزوعا و اذا مسه الخير منوعا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir”.
Dalam pada itu kalau dipertanyakan, bagaimana cara atau jalan untuk menghilangkan ke ijmalan (keglobalan) dari suatu lafazh yang mujmal sehingga kita mengerti apa yang dimaksudkan dengan lafadz tersebut. Untuk menjawabnya, bisa kita perhatikan apa yang disimpulkan oleh Abdul Wahhab Khallaf sebagai berikut, Bahwa keijmalan suatu lafadz yang mujmal yang penyebabnya adalah salah satu dari tiga penyebab yang disebutkan di atas, tidak ada jalan lain sama sekali untuk menjelaskannya atau menghilangkan keijmalannya atau menafsir pengertiannya, kecuali kita harus menengok kepada apa yang dijelaskan atau diartikan oleh Syari’ itu sendiri yang mengglobalkan lafadz tersebut. Karena Dialah yang menyamarkan pengertian dan tidak ada petunjuk ke arah itu dalam bentuk lafadz, maupun dalam bentuk qorinah dari luar lafadz. Maka wajarlah kalau kepada Syari’lah dikembalikan tentang kejelasan sesuatu yang telah disamarkannya.
Selanjutnya apabila telah ada penjelasan tentang lafadz yang Mujmal tersebut yang datang dari Syari’ itu sendiri, penjelasan mana dalam bentuk penjelasan yang sempurna dan terang serta pasti, maka oleh karena yang Mujmal itu sudah dipahami artinya dengan kata lain tidak Mujmal lagi, maka lantaran itu lafadz tersebut berubah nama menjadi al-Mufassar ( yang sudah ditafsiri atau dijelaskan). Ada beberapa contoh untuk keadaan seperti ini dimana lafadz yang Mujmal sudah dijelaskan artinya oleh Syari’. Sebagai contoh dapat disebutkan disini beberapa lafadz diantaranya seperti penjelasan untuk pengertian lafadz zakat, shalat, haji dan lain-lainnya.
Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan Syari’ dalam pembahasan ini adalah sama dengan Legislator atau yang mengundangkan suatu peraturan. Bila istilah ini dihubungkan dengan peraturan-peraturan / perundang-undangan Islam, maka pengertian Syari’ disini adalah Allah, atau Nabi Muhammad atau Ulama Mujtahid dalam pemerintahan Islam. Tapi bila dihubungkan dengan perundang-undangan suatu Negara, maka pengertian Syari’ disini adalah Dewan Perwakilan Rakyat, atau Pemerintah atau lembaga-lembaga lain yang berwenang membuat suatu undang-undang atau suatu peraturan.
Sebaliknya, apabila penjelasan yang diberikan oleh Syari’ terhadap suatu lafadz yang Mujmal itu tidak dapat menghilangkan keglobalan suatu lafadz Mujmal, maka al-Mujmal tersebut dikategorikan sebagai al-Musykil. Selanjutnya, karena masih belum jelas pengertian Mujmal tersebut, maka masih terbuka jalan untuk mengadakan pembahasan/ penelitian dan berijtihad tentang itu, dengan tujuan untuk menghilangkan kesulitan.

KEKUATAN DILALAH LAFAZH MUJMAL
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam pengamalan lafadz Mujmal harus di tauqif, artinya lafadz Mujmal itu tidak dapat diamalkan sebelum keijmalannya hilang, atau sebelum datang ayat atau Hadits yang menjelaskannya. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama Ushuliyin, terutama dari golongan Hanafiyah. Al-Syatibi berkomentar tentang hal ini, bahwa mengenai kekuatan dilalah lafadz Mujmal, memperhatikan kenyataan bahwa ada sebagian ayat al-Qur’an dan Hadits yang bersifat Mujmal. Kalau ingin menetapkan hukum dari ayat dan Hadits tersebut, maka tujuan ini tidak akan tercapai kalau ayat dan Hadits yang Mujmal tersebut belum dijelaskan. Dengan demikian kelihatannya Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa lafadz yang Mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil lain yang menjelaskannya. Hal ini sangat logis dan mudah dimengerti, karena tidak mungkinlah kita menggunakan sebagai hujjah suatu lafadz yang tidak atau belum jelas penunjukkan maknanya.

MUBAYYAN
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai berikut :
المبين هو الواضح بنفسه او بغيره

“Mubayyan adalah lafadz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan lafaz lainya”.
Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:
ما يفهم المراد منه، إما بأصل الوضع أو بعد التبيين

“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan.” Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan : firman Alloh ta’ala :
َ اقيمو الصلاة وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” .(Al-Baqarah : 43)
Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat syari’at (Allah ta’ala) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan. Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada tiga hal disini. Pertama, adanya lafadz yang mujmal yang memerlukan penjelasan atau disebut Mubayyan (yang dijelaskan). Kedua, ada lafadz lain yang menjelaskan lafadz yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyin (yang menjelaskan). Dan yang ketiga, adanya penjelasana atau disebut Bayan.

MACAM-MACAM BAYAN
Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori daripada penjelasan atau Bayan tersebut. Ulama Syafi'iyah membagi bayan kepada 7 macam sebagai berikut :
1. Penjelasan dengan perkataan , contohnya Allah SWT menjelaskan lafadz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafadz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”.
2. Penjelasan dengan mafhum perkataan, contohnya firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
3. Penjelasan dengan perbuatan,contoh Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
4. Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan” contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah shalat Subuh.
5. Penjelasan dengan Isyarat, contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
6. Penjelasan dengan tulisan, contohnya Rasulullah saw menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
7. Penjelasan dengan qiyas, contohnya Rasulullah saw menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Rasulullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan membayar hutangnya.

PENUNDAAN BAYAN
Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam. Adapun penundaan bayan dari waktu penetapannya sampai pelaksanaan hukum yang dikandung lafadz mujmal, menurut jumhur ulama ushul fiqh diperbolehkan. Hal ini terjadi dalam syari’at Islam.
Contohnya firman Allah SWT dalam surat al-Anfal ayat 1 ;

يسألونك عن الانفال قل الانفال لله و الرسول فاتقوا الله و اصلحوا ذات بينكم

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’. Sebab itu, bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu". Pernyataan bahwa ‘harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’ membutuhkan bayan karena belum jelas mengenai cara pembagiannya. Kemudian Rasul menjelaskan pembagiannya setelah terjadi perang Badar. Penjelasan ini baru muncul ketika kasus sudah terjadi (ketika dibutuhkan). Menurut pendapat Mu’tazilah penundaan bayan tidak dibolehkan, sekalipun sampai pada waktu pelaksanaannya. Menurut mereka, apabila ada hukum yang mujmal, maka pasti ada bayannya, karena tidak mungkin Allah menurunkan suatu hukum yang mujmal dan menunda-nunda penjelasannya.

KETENTUAN DILALAH MUBAYYAN
Lafadz Mujmal yang telah diberi penjelasan tidak lagi dikategorikan lafadz yang mubham, sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan tersebut lafadz Mujmal itu keluar dari lingkaran Ibham. Lebih lanjut, Abu Zahrah mengomentari bahwa Mujmal setelah mendapat penjelasan tidak boleh lagi di ta’wil dan tidak boleh ditakhshish, ini pendapat kebanyakan Ulama. Sebahagian ulama lagi berpendapat bahwa Mujmal setelah mendapat penjelasan, kadang-kadang ada yang berubah menjadi nash atau mufassar atau muhkam.

KESIMPULAN
1. Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan majmu' (yang terkumpul).
2. Mujmal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, al-Mujmal adalah lafadz atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidakjelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena faktor eksternal dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui penjelasan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
3. Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa lafadz yang Mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil lain yang menjelaskannya.
4. Mubayyan secara bahasa : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
5. Menurut istilah Ulama Ushul fiqih Mubayyan adalah apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakkannya atau setelah adanya penjelasan.
6. Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
7. Lafadz Mujmal yang telah diberi penjelasan tidak lagi dikategorikan lafadz yang mubham.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,(edisi terjemahan) PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998.
2. Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min 'Ilmil Ushul karya asy-Syaikh MuhammadbinSholehal'Utsaiminhttp://tholib. wordpress.com/2007/03/07/mujmal-dan-mubayyan.
3. Said al-Din Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz II , Maktabah MuhammadAlishibih wa auladih, Kairo, 1967.
4. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dar al-Fikr, Kairo, tt.
5. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, Juz I, Dar al-Fikr, Damsyik, tt,.
6. Muhammad bin Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Kairo, 1975,
7. Al-Imam Jamal al-Din Abd al-Rahim al-Asnawi, Nihayah al-Sual, Dyarh Manhaj al-Wusul fi Ilm al-Ushul, Juz II, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt.
8. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, Beirut, tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar