Minggu, 13 Maret 2011

PENERAPAN EUTANASIA TERHADAP PENDERITA AIDS

PENERAPAN EUTANASIA TERHADAP PENDERITA AIDS
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

Eutanasia
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit - karena kasih sayang - yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa'il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab, "Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya." Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam Kitab at-Tawakkul dari Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun. Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi - lebih sedikit dari golongan kedua - berpendapat wajib. Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad.Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya - yaitu para dokter - maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan - dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern - dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) - kalau boleh diistilahkan demikian - semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi. Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' - bila keluarga penderita mengizinkannya - dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

ANALISA DAN KESIMPULAN
Dari paparan diatas berkaitan dengan AIDS bisa kita simpulkan bahwa AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan menyebabkan penderitaan bagi penderita. Disamping itu bahwa AIDS adalah jenis penyakit menular yang membahayakan bagi orang lain. Sedangkan Eutanasia ada dua macam, pertama Eutanasia positip yang hukumnya adalah haram dengan argumentasi dalil-dalil yang berkaitan dengan bunuh diri jika Eutanasia tersebut atas keinginan si penderita dan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembunuhan jika Eutanasia dilakukan atas keinginan orang lain misal keluarga penderita. Adapaun Eutanasia negatif hukumnya diperbolehkan dengan alasan meninggalkan sesuatu yang tidak wajib.
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa Eutanansia positip tidak boleh dilakukan terhadap penderita AIDS. Penderita AIDS dengan sendirinya akan mati meski tanpa metode Eutanasia negatif karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari penyakit AIDS. Lalu bagaimana pemecahannya padahal AIDS memiliki implikasi bahaya atau madharat yang besar dari berbagai aspek bagi penderita maupun orang lain. Bagi penderita, pertama bahwa AIDS adalah penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan, sehingga penderita AIDS hanya tinggal menunggu kematiannya. Kedua, AIDS sangat mengganggu eksisistensi kehidupan yang ada pada seseorang, sehingga kehidupan bagi penderita AIDS justru dianggap menyakitkan. Ketiga, secara sosiologis AIDS menyebabkan turunnya mentalitas penderita dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar. Keempat, menurunnya keimanan karena penderitaan yang tidak akan berakhir. Jika kita melihat betapa besar bahaya dan madharat penyakit AIDS ini baik bagi penderita terlebih-lebih orang lain, maka perlu kita pikirkan lagi tentang keharaman Eutanasia positip terhadap penderita AIDS. Bukankah tujuan syariat salah satunya adalah mempertahankan eksistensi kehidupan, namun jika eksistensi tersebut sudah tidak bisa lagi dipertahankan bahwa membahayakan mengapa harus dipertahankan. Dalam kaidah fiqih dinyatakan bahwa setiap bahaya harus dihilangkan dan mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan.Wallahu a’lam bil shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar