Selasa, 22 Maret 2011

STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA MENURUT SIGMUND FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI (4)


STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA
MENURUT SIGMUND FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI (4)
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali

A.    Aspek-Aspek Kepribadian
Adapun dimensi-dimensi kejiwaan dengan aspek-aspeknya yang beragam itu dijelaskan secara rinci oleh Al-Attas dalam bukunya The Nature of Man and The Psychology of the Human Soul yang banyak merujuk kepada Ma’aarij al-Quds fi Madaarij Ma’rifat al-Nafs karya Al-Ghazali (Bastaman, 2005), yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Dimensi Ragawi
Pada hakikatnya merupakan unsur materi dari manusia yang dapat mengalami kerusakan dan kehancuran. Ia adalah benda pasif yang tak mempunyai daya tanpa rekayasa dari luar (Bastaman, 1995).
2.     Dimensi Nabati (tetumbuhan/al-natiyyah)
Dimensi ini memiliki fungsi nutrisi (al-qaadiyyah), fungsi pertumbuhan (al-naamiyah), dan fungsi reproduksi (al-muwallidah)
3.     Dimensi Hewani (al-hayawaniyyun)
Dimensi hewan terdapat dua daya yaitu daya penggerak (al-muharrikah, locomotion) dan daya penangkapan (al-mudrikah, persepsi). Al-Ghazali (1995) menyatakan bahwa jiwa hewani itu secara garis besar mempunyai dua kekuatan, yaitu; (1) kekuatan menggerakkan; dan (2) kekuatan menemukan.

(1) Kekuatan menggerakkan ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a)     Kekuatan yang membangkitkan; adalah kekuatan ingin mencapai dan menumbuhkan gerak. Apabila di dalam khayalan berhasil suatu bentuk yang dikehendaki atau untuk ditinggalkan, maka kekuatan ini mengajak pada kekuatan yang melaksanakan gerak untuk segera bergerak. Oleh karena itu kekuatan yang membangkitkan ini mempunyai dua cabang, yaitu: pertama, kekuatan keinginan, yaitu kekuatan yangmembangkitkan gerak untuk mendekati sesuatu yang menurut anggapan pelakunya memang diperlukan atau bermanfaat karena mencari kelezatan; dan kedua, kekuatan marah, yaitu kekuatan yang membangkitkan gerak untuk menolak sesuatu yang menurut keyakinan pelakunya memang berbahaya atau merusakkan, karena mencari kemenangan. 
b)    Kekuatan yang melaksanakan gerak; adalah kekuatan yang tersebar dalam otot-otot dan urat lengan yang biasanya urat lengan itu mengerut kemudian menarik urat-urat kecil dan persendian yang dihubungkan dengan otot-otot tadi dan persendian kembali berbeda arah semula. Kekuatan inilah yangmembantu kekuatan membangkitkan.
(2) Kekuatan menemukan ini juga terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a)     Kekuatan lahir; kekuatan lahir adalah kekuatan panca indera. Dalam masalah ini Al-Ghazali tidak mengetengahkan hakikatnya walaupun mengetahui hakikatnya itu sangat panjang, dan Al-Ghazali hanya bertujuan menurutkan secara globalnya saja.
b)    Kekuatan batin; kekuatan ini juga terbagi lagi menjadi lima bagian, yaitu:
Pertama, kekuatan khayalan, yaitu kekuatan yang menetapkan bayangan sesuatu yang telah hilang dari penglihatan, karena bayangan sesuatu yang dilihat itu masih tetap terbayang dalamkhayalan setelah mata dipejamkan.kekuatan itulah yang seakan-akan mencetak gambaran benda yang dilihat. Kekuatan itu dinamakan khayalan, dan kekuatan persekutuan indera, karena bekas-bekas benda yang ditemukan panca indera itu masih tetap terbayang; Kedua, kekuatan pemelihara bentuk segala sesuatu bentuk yang dipegang seseorang itu bukan sesuatu yang diterimanya. Contohnya lilin, ia dapat melekatkan ukiran-ukiran dengan sebab ia menjadi kering, dan ia dapat menerimanya sebab ia dalam keadaan basah. Dan air pun dapat diukir, namun ia tidak dapat melekatkannya. Kekuatan-kekuatan yang menerima penemuan-penemuan panca indera dan kekuatan pemelihata bertempat di rongga otak pertama di bagianmuka. Apabila rongga pertama tertimpa penyakit, maka menjadi cacatlah kekuatan-kekuatan tersebut. Masalah ini dapat di ketahui melalui ilmu kedokteran;
Ketiga, kekuatan perasaan hati, yaitukekuatan yang urutannya berada di penghabisan rongga otak bagian tengah. Kekuatan ini dapat menemukan pengertian-pengertian yang tidak dirasakan seperti kekuatan instingtif kambing, bahwa serigala itu harus ditinggal lari dan anak-anaknya harus disayangi;
Keempat, kekuatan pemelihara pengertian yang tidak dirasakan oleh panca indera. Sebagaimana kekuatan kedua tadi, pemelihara bentuk, maka kekuatan keempat ini adalah kekuatan pemelihara pengertian. Kekuatan ini dinamakan kekuatan “ingatan atau memori”. Tempat kekuatan ini adalah rongga otak bagian belakang;
Kelima, rongga yang masih ketinggalan adalah rongga tengah, dan rongga ini adalah sebagai tempat kekuatan pikiran. Kekuatan ini berurutan antara kekuatan pemelihara bentuk dan kekuatan pemelihara pengertian. Biasanya, kekuatan ini dapat menyusun sebagian bentuk dalamkhayalan dengan sebagian yang lain, dapat menguraikan perincian sebagiannya dari sebagian yang lain sesuai dengan kemampuannya.
Dalam kekuatan ini, binatang-binatang mempunyai suatu kekuatan yang dinamakan insting. Namun kekuatannya tidak akan sampai pada kekuatan pikiran manusia. Daya persepsi (al-mudrikah) terbagi pada daya persepsi dari luar dan daya persepsi dari dalam (Purwanto, 2007).

a.        Daya Persepsi Luar (al-mudrikah min al-kharij)
Daya ini terdapat pada pancaindera menangkap informasi-informasi tersebut bukan alat-alat indera, melainkan jiwa hewan yang ada di dalam jiwa manusia. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa anggota fisik tidak memiliki daya, tetapi hanya sebagai alat bagi daya jiwa. Indera-indera luar itu adalah:
                                      i.              Indera peraba yang merupakan mata-mata pertama bagi jiwa. Ia tersebar di seluruh kulit, daging keringat dan syarat badan, yang memiliki kualitas panas, dingin, lembab, kering, keras, lembek, lembut, keras ringan dan berat. Jadi daya perabaan ini adalah satu jenis untuk empat macam daya, pertama daya yang memutuskan kontradiksi antara panas dan dingin, kedua antara basah dan kering, ketiga antara keras dan lembut dan keempat antara kasar dengan halus. Hikmah yang terkandung dalam daya perabaan adalah ketika hikmah ilahi mengharuskan hewan bergerak dengan keinginan terdiri dari berbagai unsur, dan merasa tidak aman dari bermacam-macam bahaya yang mengejarnya, maka tuhan memberi kekuatan dengan daya perabaan sehingga hewan tersebut dapat menyelamatkan diri ke tempat yang aman
                                    ii.              Indera penciuman adalah daya yang ada terdapat pada bagian atas dalam hidung,terlihat dari bagian depan dan menonjol dari otak. Ia mempersepsi bau-bauan melalui udara. Indra penciuman pada hewan lebih kuat dan lebih sengit dibandingkan dengan manusia. Dan setelah daya perabaan indera penciumanlah yang terbentuk di dalam janin.
                                  iii.              Indera pengecapan mempersepsi makanan yang sesuai dan makanan yang tidak sesuai. Letaknya di lidah. Rasa bercampur dengan ludah yang diubah menjadi rasa. Jadi ludah berubah menjadi kualitas rasa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu Sina.
                                  iv.              Indra penglihatan berfungsi untuk mempersepsi gambar yang memantul di dalam membran yang berasal dari cermin fisik yang memiliki warna yang menyebar pada benda-benda bercahaya hingga ke permukaan benda-benda licin. Jadi penglihatan terjadi karena pantulan gambar yang dilihat oleh membran mata dengan perantaraan kornea.
                                    v.              Indera pendengaran muncul ketika suara muncul karena tekanan gelombang udara yang berasal dari lubang telinga atau daun telinga menuju udara yang menetap di bagian dalam otak dan menggerakkan sesuai dengan bentuknya (Hartati, 2004).

b)     Daya Persepsi Dalam (Batin)
Selain daya persepsi luar ada juga daya persepsi dari dalam. Berdasarkan fungsinya daya ini terbagi pada tiga bagian.
1)    Daya yang mempersepsi tetapi tidak menjaga,
2)    Daya yang menjaga tetapi tidak menyimpan
3)    Daya yang mempersepsi dan bereaksi (Hartati, 2004).

Menurut al-Ghazali informasi yang diterima lewat indera dari luar akan melalui lima proses dalam lima tahapan dari daya persepsi batin. Daya yang termasuk di dalam daya persepsi batin adalah :
a)     Indera Kolektif (al-hiss al-musytarak)
Indera Kolektif adalah daya di mana semua objek indera berkumpul untuk dipersepsi. Sebagai contoh Ketika kita melihat air hujan jatuh (dalam bentuk garis lurus) dan titik bergerak cepat sebagai garis yang melingkar, semuanya melalui proses pengamatan bukan khayalan. Dengan mata lahir kita melihat  bahwa air hujan dan titik yang bergerak sebagaimana adanya. Namun demikian mata hanya akan melihat sesuatu yang jatuh secara berlawanan dan bukan dalam bentuk garis. Artinya pada saat itu kita mengetahui bahwa ada daya lain karena sebelum satu kondisi yang satu hilang muncullah kondisi yang lain dan seterusnya, sehingga kita melihatnya seperti garis lurus atau garis lingkaran. Indera kolektif (al-hiss al musytarak) ini hanya mempersepsi objek yang bersifat parsial-fisik, tidak mempersepsi gestalt-rasional (al-kulliyat al-aqliyah) juga mempersepsi kenikmatan dan penderitaan yang berasal dari objek indera eksternal sebagaimana mempersepsi objek yang berasal dari khayalan.
b)    Daya Khayal (al-khayaliyah, representasi)
Adalah daya yang menyimpan semua gambar dari objek indera setelah  menghilang. Daya khayal dan daya indera kolektif secara bersama-sama mengalami proses pembedaan. Dengan kedua daya tersebut kita dapat memutuskan bahwa rasa ini bukan dimiliki oleh yang punya warna ini, dan pemilik warna ini memiliki rasa ini dan sebagainya. Oleh karenanya hakim tidak akan memutuskan sesuatu yang belum pernah dihadirkan oleh terdakwa.
c)     Daya Wahmiyyah (estimasi)
Adalah daya yang akan mempersepsi makna-makna parsial yang bersifat non-inderawi dari hal-hal yang parsial-inderawi. Seperti kambing mempersepsi permusuhan dari serigala dimana permusuhan bukan merupakan suatu yang bersifat inderawi, tetapi daya waham mempersepsinya karena melihat serigala. Daya wahmiyyah merupakan pemimpin bagi semua perilaku hewan, seperti hukum akal pada manusia.
Pada manusia daya waham memiliki hukum-hukum tertentu di antaranya mempengaruhi jiwa untuk menolak keberadaan segala sesuatu yang tidak dapat dikhayalkan atau digambarkan di dalam khayalan. Al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa objek persepsi yang diiringi oleh beberapa respon mampu membentuk keterkaitan-keterkaitan antara objek-objek tersebut dengan berbagai respon. Jadi jika hewan atau manusia mempersepsi stimulus tersebut di lain waktu, maka berbagai respon yang sama akan muncul darinya.
Al-Ghazali sangat memahami respon bersyarat. Sebagai contoh respon takut terhadap ular berkaitan dengan bentuk dan warnanya yang menjalar juga pada tali yang berwarna dan bentuknya yang mirip dengan ular. Jadi daya waham memiliki fungsi psikologis terutama dalam pembentukan respon bersyarat. 
d)    Memori/Mengingat (az-zakirah)
Semua makna parsial yang ditangkap oleh daya waham disimpan oleh daya memori. Jadi daya memori merupakan gudang bagi semua makna parsial.
e)     Daya Fantasi/Imajinasi (mutakhayyilah)
Daya ini menyusun dan memisahkan gambar-gambar satu sama lain, menyusun dan memisahkan makna-makna parsial satu sama lain serta mengaitkan gambar dengan makna. Jiwa menggunakan daya fantasi dalam melaksanakan proses penyusunan dan pemisahan seusai dengan hukum atau aturan yang dikehendaki, jadi akan memberi kemungkinan pada manusia untuk mempelajari berbagai bidang disiplin ilmu dan keahlian. Daya ini merupakan daya tertinggi dalam pengelolaan informasi. Kadang-kadang fantasi melaksanakan fungsi menyusun dan menggabungkan makna dan gambar untuk membantu akal praktis dan akal teoritis. Jika jiwa mempergunakannya pada sesuatu yang rasional maka itulah yang dinamakan berpikir (Purwanto, 2007).
Seluruh tingkatan daya pada daya persepsi batin memerlukan otak sebagai alat untuk memproses informasi-informasi tersebut. Al-hiss al-musytarak bertempat pada pangkal syaraf indera pada otak bagian depan, al-khayaliyah di belakangnya, masih pada bagian depan otak, al wahamiyah bertempat lebih khusus pada rongga tengah otak, terutama sebelah belakangnya, al-mutakhayyilah pada rongga otak, sebelah depan, sedangkan az-zakirah (al-hafizah) bertempat di bagian belakang otak.
Proses pengolahan informasi pada daya persepsi baik dalam maupun luar hanya sampai pada  batas abstrak fisik. Artinya, informasi itu telah dapat dilepaskan dari fisiknya sehingga yang ditankap adalah kesan atau makna saja. Kalaupun ia dapat dipandang sebagai pengetahuan, maka tingkatannya masih sangat rendah. Semua proses ini masih berada dalam wilayah daya jiwa hewan dan bukan merupakan daya khas jiwa manusia. 

4.     Dimensi Insani
Pada Dimensi Insani atau daya jiwa khas manusia atau dikenal dengan jiwa rasional (an-nafs an-natiqah), daya jiwa lebih tinggi dari pada itu, dan telah memiliki dua daya, yaitu daya praktis (al-amilah, practical) dan daya teoretis (al-alimah, an-nazariyah, theoritical).  Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah akal (akal teoretis dan akal praktis).
Adapun jiwa manusia, ditinjau dari segi kemanusiaannya, maka kekuatannya terbagi menjadi dua macam, yaitu: (1) kekuatan pekerti; dan (2) kekuatan bekerja (Al-Ghazali, 1995).
Masing-masing dari dua kekuatan jiwa itu dinamakan “akal”. Namun menurut pengertian isim musytarak, karena kekuatan jiwa alamiah (kekuatan mengerti) itu dinamakan akal adalah karena dapat melayani kepada kekuatan bekerja dan selalu mengajak bermusyawarah terhadap ketentuan-ketentuannya.
Sedangkan kekuatan bekerja adalah merupakan kekuatan yang sebenarnya. Jiwa atau dalam bahasa Arabnya “nafsun” adalah pemula gerakan badan manusia menuju perbuatan-perbuatan tertentu, yang khusus dengan pikiran sesuai dengan kehendak kekuatan mengerti. Prinsip budi pekerti itu adalah tunggal. Namun mempunyai dua sandaran karena kekuatan menguasai itu lazimnya ada kekuatan yang menurut dan kekuatan yang menurut inilah budi pekerti yang terpuji. Prinsip jiwa adalah lebih mulia daripada dijumpai dengan panca indera, tetapi diketahui dengan akal atau bekas-bekas dan perbuatan-perbuatannya.
Jiwa itu mempunyai dua sandaran, yaitu sandaran menuju arah bawah dan sandaran menuju arah atas. Ia mempunyai kekuatan sesuai dengan masing-masing sandaran, dan dengan kekuatan itu menjadi teraturlah hubungan antara kekuatan itu sendiri dengan masing-masing sandaran (Al-Ghazali, 1995).
Oleh Karena itu jiwa seakan-akan mempunyai dua arah, yaitu: (1) arah menuju badan, dan arah ini haruslah menguasai dan tidak menerima sifat-sifat yang melekat pada badan serta hawa nafsu; dan (2) arah yang menuju derajat yang mulia dan luhur, arah ini haruslah senantiasa menerima apa-apa dari derjat luhur itu dengan menerima kesan-kesan daripadanya. Sebab arah tersebut merupakan tempat turunnya sebab-sebab kebahagiaan (Al-Ghazali, 1995).
Daya /akal praktis adalah daya yang bertanggung jawab mengatur badan, bekerja sama dengan hasrat yang mendorong manusia melakukan berbagai perilaku parsial. Misalnya malu, segan menangis dan tertawa. Daya praktis berfungsi menggunakan tubuh melalui daya-daya hewan untuk mengontrol hawa nafsu sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia ke tingkah yang lebih sempurna (Purwanto, 2007).
Daya praktis juga merupakan daya yang bertanggung jawab terhadap akhlak. Kerja sama daya praktis dan daya fantasi serta daya waham ini melahirkan kesimpulan berbagai keahlian keterampilan dan profesi. Kerja sama daya praktis dan daya teoritis akan melahirkan berbagai ide moral seperti kejujuran, kebaikan, kebohongan, keburukan, keadilan, keindahan dan sebagainya (Hartati, 2004). Sedangkan daya/akal teoritis berfungsi menyempurnakan substansinya. substansinya bersifat immateri dan abstrak. Ia berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a. Akal Potensial (al-’aql al-hayuulaanii)
Pada fase ini akal masih berupa potensi. Kondisinya diibaratkan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum mampu menulis. Potensinya sudah ada tetapi belum muncul secara aktual.
b. Akal Properti / habitual (al-’aql bi al-malakut/ mumkin)
Pada fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis secara reflektif. Pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan rasional tingkat pertama / insting akal (gharizah al-aql)
c. Akal Aktual (al-’aql bi al-fi’li)
Pada fase ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua. Pengetahuan pertama sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran.
Berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan hasil akal murni tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyillah yang ada pada jiwa sensitif
d. Akal Perolehan (al-aql mustafad)
Pada tingkatan ini akal telah mempunyai pengtahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual. Pada taraf ini akal bersifat pasif. Pengetahuan diperoleh dengan sendirinya tanpa memerlukan proses berfikir. Pengetahuan ini merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual (akal aktif malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan pada manusia) (Hartati, 2004).

B.    Hubungan Hati- Badan
Hubungan dan ikatan antara hati dan tubuh dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok Pertama, bermaksud untuk merangsang dan mendorong tubuh guna mendapatkan hal-hal yang berguna dan menerimanya (seperti gairah) atau menolaknya karena berbahaya (seperti amarah). Kelompok ini sering disebut sebagai kemauan. Kelompok Kedua adalah yang menggerakkan tubuh dan anggota badan lainnya. Kelompok ini tersebar di dalam cara-cara untuk melayani kelompok-kelompok yang lain guna mencapai sasarannya.
Kelompok ini sering juga disebut dengan kekuatan. Kelompok Ketiga, merupakan kelompok yang merasakan dan mengenali barang-barang yang berada di luar sekitar tubuh, terletak didalam organ-organ syaraf seorang individu. Kelompok ini juga sering disebut pengetahuan dan pengamatan inderawi. Perasaan luar langsung berhubungan dengan perasaan dalam yang terdapat didalam otak. Misalnya kemampuan otak untuk membuat rekaman dan bayangan setelah objek luar tersebut berlalu. Inilah yang disebut dengan memori.
Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengingat hal-hal yang sudah terlupakan pada masa lalu untuk menghimpunnya kembali menjadi satu rangkaian pikiran dengan kesan-kesan inderawi pada imajinasinya melalui akal (common sense). Jadi di dalam otak terdapat suatu akal sehat dengan suatu kemampuan untuk berkhayal dan berpikir serta juga kemampuan untuk mengumpulkan dan mengingat-ingat kembali (Al-Ghazali, 1422).
Tetapi otak secara keseluruhan bukan merupakan tempat pengetahuan. Ia hanya merupakan saluran yang menghubungkan hati dengan dunia nyata. Tujuan utama didalam hubungan tersebut, antara tubuh dengan hati adalah agar tubuh tetap sehat wal ‘afiat. Hewan juga memilikinya. Di dalam tingkat kehidupan seperti itu, daya tahan jasmani manusia maupun hewan adalah sama, tetapi manusia dapat dibedakan dari hewan karena manusia memiliki dasar yang lebih halus terutama beberapa bagian dari pasukannya seperti syaraf dan otak yang mempunyai tujuan lebih tinggi daripada untuk ketahanan jasmani semata. Hewan juga memiliki gairah, amarah, syaraf dan naluri untuk mencapai tujuannya dan akal sehat merupakan ciri khas manusia (Al-Ghazali, 1422).
Keterkaitan nyawa di dalam tubuh adalah seperti tabir yang menghalangi jakikatnya segala sesuatu. Dengan kematian akan menyingkap tabir yang selama hidupnya masih terus menutupi (Al-Ghazali, 1997). Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia sama sekali tidaklah berarti Al-Ghazali mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga Al-Ghazali anggap penting karena ruhani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadat kepada Allah SWT dan menjadi khalifah-Nya di bumi (Jaya, 1994).
Sungguhpun Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda dengan wujud dan hakikat badan, maka hal ini tidaklah berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Antara keduanya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi yang terjadi melalui al-ruh. Jiwa harus berhubungan dengan badan karena manusia adalah makhluk metafisik. Sebab itulah, seperti telah diungkapkan di halaman terdahulu, ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan atau kendaraan dalam perjalanannya (Jaya, 1994).
Dari beberapa uraian Al-Ghazali diatas tentang hubungan antara jiwa dan badan, dapat disimpulkan bahwa yang dikehendakinya dengan uraian tersebut adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Dengan kata lain, ia tidak menginginkan adanya ketidak serasian antara jiwa dan badan. Kalau ia menekankan unsur jiwa dan spiritual dalam konsepsinya tentang manusia dan pendidikan, itu ada sebabnya.

Diagram. 3 Interaksi Dinamis antara Jiwa dan Badan (Mohamed, 1997)












‘Aql
(Unsur Malakut)
 






Ghadab
(Amarah)
 







 










Syaithaniyyah
(Unsur Setan)
 
 




Dengan demikian hubungan antara jiwa dan badan bukanlah hubungan sebab-akibat. Ini penting dijelaskan karena sepintas lalu kelihatan bahwa wujud nafs tergantung kepada kondisi kesempurnaan (istiwa’) pada nutfah, sebagai mana akibat tergantung kepada sebab. Kesan seperti ini menempatkan nutfah sebagai sebab bagi keberadaan nafs, dan ini berarti memandang badan lebih tinggi daripada jiwa, karena dalam tradisi filsafat waktu itu, sebab dianggap lebih sempurna daripada akibat. Al-Ghazali tidak memandang nutfah lebih sempurna daripada nafs. Bahkan sebaliknya, ia memandang nafs atau ruh lebih sempurna daripada badan, karena ia berasal dari dunia yang lebih tinggi, yaitu ‘alam al’amar (Baharuddin, 2004).

Tabel. 7 Tingkatan-tingkatan Dominasi dan Ketundukan terhadap Kekuatan-kekuatan Amarah dan Hasrat Hewani

No
Tingkatan-tingkatan Perkembangan Psiko-spiritual
Unsur Malakut
(Al- ‘Aql)
Unsur Syaithaniyyah
1
Al-nafs al-amarah
Ketundukan
Dominant
2
Al-nafs al-lawwamah
Ketundukan parsial
Tunduk secara parsial
3
Al-nafs al-muthmainnah
Dominan
Tunduk

Gambaran Al-Ghazali tentang interaksi dinamis memperlihatkan bagaimana unsur-unsur amarah dan syahwat, jika dikendalikan dan diubah dengan bantuan akal, mampu mengubah nafsu yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi dalam perkembangan psiko-spiritual, dan dengan demikian mengaktualisasikan fitrah. Meskipun jiwa dan badan merupakan entitas yang terpisah, mereka saling mempengaruhi. Al-Ghazali mempertahankan bahwa setiap tindakan menghasilkan suatu akibat kepada jiwa, jika hal itu dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang. Sebagaimana tindakan fisik mempengaruhi jiwa, begitu juga jiwa mempengaruhi badan. Ini dikenal dengan “interaksi tradisional” suatu tindakan menciptakan suatu akibat pada jiwa; akibat ini menyebabkan badan mengulangi tindakan yang sama yang juga menghasilkan suatu pengaruh atas jiwa. Pengaruh yang dihasilkan tersebut ditambahkan kepada pengaruh yang dihasilkan sebelumnya (Mohamed, 1997)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar