Selasa, 22 Maret 2011

PENGELOLAAN, PENGEMBANGAN HARTA WAKAF, PEMBINAAN DAN PENGAWASANNYA


PENGELOLAAN, PENGEMBANGAN HARTA WAKAF,
PEMBINAAN DAN PENGAWASANNYA
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali


A.     Pengertian
Wakaf[1] adalah perbuatan hukum wakif  untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[2] 
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat atau tetap berdiri. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habas-yahbisu-tahbisan”.[3]
Kata al-waqf dalam bahasa Arab dapat berarti menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikkan. Oleh karena itu para ahli fikih (fuqaha) berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang pengertian wakaf itu secara substansial.
1.      Imam Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hokum, tetap milik si wakif[4] (orang yang mewakafkan) dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Oleh karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.[5]
2.      Mazhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Dengan istilah lainnya adalah pemilik harta menahan benda tersebut dari penggunaan secara pemilikan tetapi memperbolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan benda tersebut tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan tersebut berlaku untuk masa tertentu dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.[6]
3.      Mazhab Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal
Wakaf dalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik itu dengan pertukaran atau tidak. Apabila wakif meninggal dunia, maka harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf) sebagai sedekah mangikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Oleh karena itu mazhab Syafii mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus sebagai milik Allah SWT dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.[7]
4.      Mazhab Lain
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf), meskipun mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut baik menjual atau menghibahkannya.[8]

B.      Sejarah Singkat
1.      Masa Rasulullah SAW
Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Sedikitnya terdapat dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:
“Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW”[9]
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewaqafkan 7 kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun-kebun lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf adalah Umar bin Khathab. Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:
“Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “wahai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu dan engkau sedekahkan (hasilnya). “kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau member makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”[10]. 
Kemudian syariat yang telah dilakukan oleh Umar bin Khathab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangan, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW lainnya, seperti Abu bakar yang mewakafkan, Ustman Bin Afan di Khaibar, Ali bin Abi thalib mewakafkan tanah yang subur, Mu’adz bi Jabal mewakafkan rumanya kemudian disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah binti Abu Bakar.

2.      Masa Dinasti-dinasti Islam
Praktik wakaf menjadi luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abasiyah. Oleh karena itu pada masa dinasti Umayah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghra al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pada saat ini Hakim Taubah mendirikan Lembaga Wakaf di Basrah dibawah Departemen Kehakiman. Selanjutnya pada masa dinasti Abasiyah terdapat Lembaga Wakaf “Shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan emmilih staf pengelola lembaga wakaf.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir hamper semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dikelola Negara dan menjadi milik Negara (baitul maal). Shalahuddin al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan Negara untuk kegiatan pendidikan, seperti pengembangan madrasah as-Syafiiyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah al-Hanafiyah.
Pada masa dinasti Mamluk yang paling banyak diwakafkan adalah tanah pertanian, bangunan, perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada dinasti ini dibentuklah Undang-Undang Wakaf sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/ 658-676 H) dengan memilih hakim dari empat mazhab Sunni.
Pad atahun 1287 Hijriyah, Turki Ustmani mengeluarkan Undang-Undang tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaannya dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf.

C.      Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari:
1.      Dalil al-Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3­/u (#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”[11]

`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”[12]

ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya[13] di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[14]

2.      Dalil Hadist
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali 3 perkara, yaitu : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya”[15]
Adapun penafsiran shadaqah jariyah dalam hadist tersebut adalahwakaf karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf.[16]
Terdapat hadist yang menganjurkan wakaf, yaitu:
“Dari Ibnu Umar ra, berkata bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah SAW menjawab: “bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu dan engkau sedekahkan (hasilnya). “kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau member makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”[17]

D.     Macam-macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan kepada siapa wakaf tersebut, maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu: (1) wakaf ahli dan (2) wakaf khairi.
1.      Wakaf Ahli
Wakaf ahli adalah wakaf yan ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf ini juga disebut dengan wakaf dzurri. Dalam satu segi, wakaf ini baik sekali karena si wakif akan mendapat 2 kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi pada sisi lain wakaf ini juga sering menimbulkan masalah, seperti bagaimana kalau anak-cucu sudah meninggal, siapa yang berhak mengambil manfaat benda wakaf, dsb.
2.      Wakaf Khairi
Wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatn seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, madrasah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dsb.[18]


PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF

Fiqih Islam kurang bayak membicarakan tata-cara dan mekanisme pelaksanaan wakaf secara lengkap dan detail. Akan tetapi PP no. 28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya harus datang di hadapan PPAIW guna melakukan ikrar wakaf.[19]
Nazhir[20] wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.[21] Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.  Para ulama juga sepakat bahwa Nazhir dipercaya atas harta wakaf yang dipegangnya. Sebagai orang yang mendapat kepercayaan, dia tidak bertanggung jawab untuk mengganti harta wakaf yang hilang, jika hilangnya barang tersebut bukan karena faktor kesengajaan atau kelalaian.[22]
Pertama, Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.  Kedua, Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada  ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah. Ketiga, Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang  melakukan perubahan peruntukan  harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis  dari Badan Wakaf Indonesia.  Keempat, Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. 
Sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, seorang Nazhir dapat regenerasi atau diganti dengan ketentuan-ketentuannya antara lain:
  1. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan:
a)        meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;  bubar atau dibubarkan sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang.undangan  yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum; 
b)        atas permintaan sendiri; 
c)         tidak melaksanakan tugasnya sebagai  Nazhir dan/atau melanggar ketentuan  larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang.undanganyang berlaku; 
d)        dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum  tetap. 
  1. Pemberhentian dan penggantian Nazhir  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. 
  2. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain  karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap  memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.[23]

A.     Hambatan Pengelolaan Wakaf
Hambatan pengelolaan wakaf di Indonesia paling tidak dipengaruhi oleh beberapa hal dibawah ini:[24]
1.      Kurangnya Pemahaman dan Kepedulian Umat Islam terhadap Wakaf
Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat Islam di Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan mazhab Syafii sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya.
Pertama, ikrar wakaf.[25] Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum adanya UU. No. 5  Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 197 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat local.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan. Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) benda harus memiliki nilai guna; (2) benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan; (3) benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf; (4) benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap si wakif  ketika terjadi akad wakaf.
Ketiga, kedudukan harta setelah diwakafkan.
Keempat, harta wakaf ditujukan kepada siapa? Dalam realitas di masyarakat kita, wakaf yangada selama ini ditujukan kepada 2 pihak, yaitu: (1) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif; (2) wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama (wakaf keagamaan) atau kemasyarakatan (wakaf khairi).
Kelima, boleh tidaknya tukar-menukar harta wakaf.
Selanjutnya, menurut Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, selain karena kurangnya pemahaman tentang wakaf, tetapi juga karena kurangnya kepedulian masyarakat terhadap wakaf itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a.      Adanya pemahaman yang sempit bahwa wakaf selama ini hanya berupa benda tak bergerak, khususnya tanah milik, sementara kepemilikan  tanah sudah semakin menyempit, khususnya didaerah perkotaan.
b.      Masyarakat menilai bahwa pengelolaan wakaf selama ini tidak profesional dan amanah.
c.       Beluma danya jaminan hokum yang kuat bagi pihak-pihak yang terkait dengan wakaf, baik yang berkaitan dengan status harta wakaf, pola pengelolaan, pemberdayaan dan pembinaan secara transparan seperti nadhir (pengelola wakaf), wakif sehingga banyak masyarakat yang kurang meyakini untuk berwakaf.
d.      Belum adanya kemauan yang kuat dan serentak dari pihak Nazhir wakaf dan membuktikannya dengan konkret bahwa wakaf itu sangat penting bagi pembangunan sosial, baik mental maupun fisik.
e.      Kurangnya tingkat sosialisasi dari beberapa lembaga yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi (khususnya lembaga wakaf) karena minimnya anggaran.
f.        Minimnya tingkat kajian dan pengembangan wakaf pada level wacana di Perguruan Tinggi Islam.
g.      Kondisi ekonomi umat Islam duni (Indonesia) yang semakin tidak menentu.

2.      SDM Wakaf yang belum Profesional
Dalam pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya adalah lembaga pengelola wakaf (Nadzhir). Faktor lemahnya profesionalisme Nazhir menjadi kendala dalam pengelolaan wakaf setelah diukur oleh standar minimal yang harus dimiliki oleh seorang Nazhir, yaitu: beragama Islam, mukallaf, baligh, aqil, kompeten dalam mengelola wakaf dan amanah serata jujur dan adil.
Menurut Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, maka dalam rangka untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf 1 harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a.      Sarana dan kegiatan ibadah; 
b.      Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; 
c.       Bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; 
d.      Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau  kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.[26] 
Sedangkan menurut Eri Sudewo, CEO Dompet Dhuafa Republika dari persyaratan fikih diatas dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Syarat Moral; 2) Syarat Manajemen; dan 3) Syarat Bisnis.

3.      Pengaruh Ekonomi Global
Dalam situasi perkembangannya, bisnis perekonomian berbasiskan Islam, perekonomian syariah terutama pengelolaan wakaf, mendapat banyak tantangan dan persaingan dari Yahudi. Dalam dunia bisnis raksasa dunia, siapakah pemegang saham The Federal Reserve (bank Central AS)? Mereka adalah: (1) Rothschlids Bank of London; (2) Rothschlids Bank of Berlin; (3) Israel Moses Seif Bank of Italy; (4) Wanburg Bank of Amsterdam; (5) Wanburg Bank of Hamburg; (6) Lazard Brothers of Paris; (7) Lehman Brothers of New York; (8) Kuhn and Loeb Bank of New York; (9) Chase Manhattan Bank of New York dan (10) Goldman-Sach of New York. Semua ini milik Yahudi.[27]

B.      Pendukung Pengelolaan Wakaf
Menurut Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, terdapat beberapa aspek pendukung dalam pengelolaan wakaf di Indonesia. Faktor-faktor pendukung tersebut antara lain:
1.      Wakaf sebagai Konsep Ijtihadi
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Banyaknya Jumlah Benda Wakaf
Sebagai suatu lembaga yang telah diatur oleh Islam, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak Islam masuk di Indonesia. Menurut data Depag RI terakhir terdapat 403.845 lokasi tanah wakaf dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari total jumlah tersebut 75% diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan sekitar 10% memiliki potensi ekonomi tinggi danmasih banyak lagi yan belum terdata.
3.      Penerapan Sistem Ekonomi Syariah
Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi sistem ekonmi Syariah, disebabkan oleh beberapa kelemahan system ekonomi kapitasli, yaitu: (a) masalah ketidakstabilan sistem; (b) masalah pembagian pendapatan; dan (c) masalah kemiskinan.
4.      Banyaknya Lembaga Keuangan Syariah
Setelah digulirkannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, keinginan umat Islam untuk mendirikan lembaga keuangan Syariah dapat terpenuhi. Peranan perbankan Syariah dalam wakaf setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasional harta (dana) wakaf, yaitu: (a) jaringan kantor; (b) kemampuan sebagai fund manager; (c) pengalaman, jaringan informasi dan peta distribusi; dan (d) citra positif.

C.      Langkah-langkah Nyata Pengelolaan Wakaf
Secara garis besar, langkah-langkah pengelolaan wakaf adalah sebagai berikut;
1.      Peran Kelembagaan Departemen Agama
a.      Lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf
b.      Sertifikasi Tanah Wakaf
c.       Regulator, Motivator, Fasilitator, Pelayanan Publik
d.      Pelatihan SDM Ke-Nazhiran Wakaf
2.      Melahirkan Badan Wakaf Indonesia (BWI)
3.      Kemitraan Usaha dan Aliansi Strategis
4.      Kerjasama Kebijakan dalam Bidang Ekonomi-Politik
5.      Pengelolaan Wakaf Tunai
a.      Pemanfaatan Wakaf Tunai
b.      Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai
c.       Pengembangan Wakaf Tunai


PEMBINAAN DAN PENGAWASAN WAKAF

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pembinaan dan pengawasan wakaf adalah sebagai berikut:
1.      Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf. 
2.      Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri  mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia. 
3.      Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.[28]
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja  sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik.  Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

A.     Penyelesaian dan Sengketa Pidana
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.
Penyelesaian perselisihan yang menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan kepada Pengadilan Agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir tersebut berada, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[29]
Selain masalah penyelesaian sengketa, Undang-Undang Wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap penyimpangan terhadap benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut:[30]
1.      Bagi yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/ pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2.      Bagi yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
3.      Bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai  mufakat. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil,  sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.  Pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti, dimana penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana.[31]

B.      Pemberdayaan, Pengembangan Wakaf
Pada zaman keemasan Islam, wakaf telah ada walaupun dalam pemberdayaannya masih sederhana. Oleh karena itu pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah dipandang sebagai zaman perkembangan wakaf. Pada waktu itu, wakaf meliputi berbagai benda, seperti: masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, took, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan, bazar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas rambut, gedung beras, pabrik sabun, pabrik penetesan telur dsb.
Kebiasaan berwakaf ini dilanjutkan sampai sekarang di berbagai negara sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam melalui wakaf telah memfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai dan mereka dapat melakukan berbagai kegiatan penelitian dan menyelesaikan studi mereka.
Di beberapa Negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif.[32] 
Menurut laporan Direktorat Jenderal Wakaf, di Turki, pelayanan yang telah diberikan meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayana kesehatan diberikan melalui wakaf-wakaf rumah sakit. Salah satu diantaranya adalah rumah sakit yang didirikan pada tahun 1823 di Istambul oleh ibu dari Sultan Abdul Mecit.
Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan Wakaf Tunai akan dapat melengkapi UU No. 12 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, dimana zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Disamping itu juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat No. 38 Tahun 1999. Departemen sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administratif wakaf secara pro-aktif telah memintakan fatwa kepada DSN mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Tahun 1977 menjadi UU Wakaf agar lebih akomodatif dan ekstensif.[33]
Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini untuk  menyediakan dana bagi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia, timbul suatu ide untuk mencari alternative sumber pendanaan lain yang bersifat non-formal, yaitu dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

C.      Pengawasan dan Pembinaan Wakaf
Selain pengawasan yang bersifat umum berupa payung hukum yang memberikan ancaman terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan atau sengketa berkaitan dengan pengelolaan harta wakaf, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat.
Hal ini sebagamana yang dimuat dalam Bab VII Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa Menteri Agama melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf dengan mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan tetap memperhatikan saran dan pertimbangan MUI.[34]
Untuk agar pengelolaan wakaf dapat lebih bisa dipertanggungjawabkan oleh lembaga Nazhir yang ada kepada pemerintah dan masyarakat umum, diperlukan upaya perwujudan sebuah kondisi sebagai berikut:[35]
Pertama, gerakan untuk mempelopori transparansi dalam semua aspek kelembagaan Nazhir, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Adanya transparansi kelembagaan Nazhir ini merupakan jihad yang bersifat sistemik untuk menutup tindakan ketidak-jujuran, korupsi, manipulasi dan sebagainya.
Kedua, lembaga Nazhir harus mempelopori system akuntabilitas publik (public accountability) yaitu mendorong terjadinya iklim akuntabilitas public dalam pengelolaan harta wakaf.
Ketiga, lembaga Nazhir mempelopori gerakan yang aspiratif. Orang yang terlibat dalam akelembagaan Nazhir harus mendorong terjadinya system sosial yang melibatkan partisipasi.
Pembinaan wakaf agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya, hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai otoritas dan kewenangan, khususnya pemerintah, lembaga kenazhiran, LSM. Upaya-upaya tersebut antara lain:
1.    Mengimplementasikan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan UU ini diharapkan perlindungan, pemanfaatan dan pemberdayaan harta wakaf secara maksimal tidak mengalami hambatan yang sangat serius.
2.    Membenahi kemampuan SDM yang duduk dalam lembaga-lembaga kenazhiran. Setidaknya lembaga-lembaga nazhir tersebut dapat dianggap amanah apabila memenuhi syarat-syarat antara lain, yaitu: (1) tanggung jawab; (2) rasional.
3.    Mengamankan seluruh kekayaan wakaf, baik pada  tingkat pusat maupun tingkat daerah. Oleh karena itu jika harta wakaf berupa tanah, maka yang harus dilakukan adalah: (1) memberikan sertifikat tanah; (2) melakukan advokasi terhadap tanah-tanah wakaf yang amasih sengketa; dan (3) pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara produktif.
4.    Mengadakan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan pengelolaan harta wakaf. Aspek pengawasan internal meliputi: (1) penaksir nilai, manajemen organisasi, manajemen keuangan, manajemen pendistribusian hasilhasil pengelolaan dan manajemen pelaporan kepada pihak atau lembaga yang lebih tinggi.
5.    Menstimulasi dan mendorong secara lebih luas kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap pentingnya harta wakaf di tengah kehidupan sosial-kemasyarakatan.



DAFTAR BACAAN
al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. (Jakarta, Rajawali Press, 1989).
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. (Depok: Pustaka Ilman, 2004)
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: 2006).
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengambangan Wakaf,  (Jakarta: 2006).
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: 2006).
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu (Beirut:tt).
www.bpkp.go.id. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf . Diambil lagi 15 Mei 2010; pkl. 21.12;21.

CATATAN KAKI


[1] Dalam Pasal 6 UU  RI No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa  Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: a).  Wakif;  b).  Nazhir; c).  Harta Benda Wakaf;  d).  Ikrar Wakaf;  e).  peruntukan harta benda wakaf;  f).  jangka waktu wakaf.
[2] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[3] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: 2006). Hal. 1.
[4] Pasal 7 menyebutkan bahwa, Wakif meliputi:  a.  perseorangan;  b.  organisasi;  c.  badan hukum.
[5] Ibid, hal. 2.s
[6] Ibid, hal 3.
[7] Ibid, hal 3.
[8] Dr. Wahbah Zuhaili dalam Direktorat Pemberdayaan Wakaf…Fiqih Wakafopcit, hal. 4.
[9] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengambangan Wakaf,  (Jakarta: 2006)., Hal. 8-18.
[10] HR. Imam Muslim dalam Direktorat Pemberdayaan Wakaf…Fiqih Wakaf…opcit, hal. 5.
[11] QS. Al-Hajj: 77
[12] QS. Ali Imran: 92
[13] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
[14] QS. Al-Baqarah: 261
[15] HR Imam Muslim
[16] Imam Muhammad Ismail al-Kahlani dalam Direktorat Pemberdayaan Wakaf…Fiqih Wakaf…hal. 12.
[17] HR Imam Muslim
[18] Pasal 16 menyebutkan bahwa benda tidak bergerak: (a). hak atas tanah baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;  (b).  bangunan atau bagian bangunan;  (c).  tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;  (d).  hak milik atas satuan rumah;  (e).  benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku. Sedangkan benda  bergerak: (a).  uang; (b).  logam mulia; (c).  surat berharga; (d). kendaraan; (e). kekayaan intelektual; (f). hak sewa; dan (g).  benda bergerak lain.
[19] Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. (Jakarta, Rajawali Press, 1989). Hal. 34.
[20] Pasal 11: Nazhir mempunyai tugas: (a).  melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;  (b).  mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; (c).  mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;  (d).  melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
[21] Pasal 22 dan 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[22] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. (Depok: Pustaka Ilman, 2004). Hal 538.
[23]  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[24] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: 2006). Hal. 38.
[25] Pasal 17 disebutkan bahwa, (1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.  (2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau  tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. 
[26]  Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[27] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: 2006). Hal. 58.
[28]  Pasal 63, 64, 65, dan 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[29] Direktorat Pemberdayaan Wakaf…. Fiqih Wakaf.. hal. 84
[30] Ibid, hal 84-85.
[31] Pasal 62 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[32] Direktorat Pemberdayaan Wakaf….opcit. hal. 92
[33] Ibid, hal. 101.
[34] Direktorat Pemberdayaan Wakaf….opcit. hal. 86
[35] Direktorat Pemberdayaan Wakaf….opcit. hal. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar