Minggu, 13 Maret 2011

BAGIAN KEDUA SEKELUMIT TENTANG BID’AH

BAGIAN KEDUA
SEKELUMIT TENTANG BID’AH
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali


A. PENGANTAR
1. Secara Bahasa (etimologi)
Secara bahasa (etimologi), bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam bentuk yang belum pernah ada contoh sebelumnya atau dapat juga diartikan sebagai perkara baru atau menciptakan sesuatu yang baru tanpa mencontoh terlebih dahuluالامر أالمستحدث . Oleh karena itu dari arti inilah kemudian dalam masyarakat Arab muncul istilah الامر بديع bagi suatu tindakan yang indah-indah yang belum ada contoh sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT:
            
Artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.” [QS. al-Baqarah: 117]
Selain itu juga,
               •          
Artinya: “Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". [QS. al-Ahqaf: 9]

Kemudian arti bahasa tersebut jika dihubungkan dengan tradisi yang berlaku di daerah Arab, maka bid’ah berarti sama dengan kata “al-Muhdatsah” أالمحدثاة sehingga pengertiannya sebagai berikut:
ٌالِبدْعَة هي ما أحدث على غير مثال سابق,

Artinya: “Bid’ah adalah sesuatu yang diciptakan atau diada-adakan tanpa ada contohnya terlebih dahulu”

ألبدعة إحداث أمر لم يكن في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم,

Artinya: “Pada awalnya, bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW”

ألبدعة لغة ما عمل على غير مثال سابق والمراد هنا ما عمل من دون ان يسبق له شرعية من تاب ولا سنة’

Artinya: “Bid’ah dalam bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Maksudnya ialah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului adanya syara’ melalui al-Qur’an al-Sunnah”
Maksudnya ialah suatu hal baru yang ciptakan atau diada-adakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu sebelumnya. Oleh karena itu, dari arti inilah seseorang menciptakan atau mengada-adakan sesuatu yang baru yang dikenal dengan sebutan al-Mubtadi’ [ألمبتدع] atau al-Mubdi’ [ألمبدع]. Sedangkan sesuatu yang baru yang diciptakan atau diada-adakan dikenal dengan sebutan bid’ah [ألبدعة]. Sehingga pencipta langit dan bumi disebut dengan al-Mubtadi’, yaitu Allah SWT. Sedangkan hasil ciptaan-Nya yaitu langit dan bumi disebut dengan bid’ah. Dari tradisi yang berlaku pada masyarakat seperti itulah, maka Nabi Muhammad SAW memberikan rambu-rambu yang secara lahiriah sangat ketat sebagaimana tersebut dalam HR an-Nasai:

...من يهده الله فلا مضل له ومن يضلله فلا هدي له إن أصدق ألحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار,

Artinya: “Siapa saja yang diberi hidayah oleh Allah SWT, maka tidak ada seorangpun yang bias menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah SWT, maka tidak ada seorangpun yang bias memberinya suatu hidayah (petunjuk). Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek-jeleknya perkara adalah hal-hal baru (muhdatsah), dan semua hal baru (muhdatsah) itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan adalah di dalam neraka”

Selain itu juga HR Abu Dawud dan Ibnu Majjah, yaitu:

...إياكم ومحدثاة الأمور وإن كل محدثة بدعة وكل بدعة صلالة,

Artinya: “Berhati-hatilah kamu sekalian terhadap muhdatsah (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua muhdastah (hal baru) itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”

2. Secara Istilah (terminologi)
Secara bahasa terkait dengan tradisi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat Arab, para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi bid’ah. Hal ini disebabkan dengan latar belakang disiplin ilmu masing-masing para ahli. Diantaranya ialah:
Para Ahli ushul berpendapat bahwa suatu pekerjaan baru yang diada-adakan itu hanya terbatas pada masalah peribadatan, bukan pada lainnya, sehingga bid’ah didefinisikan dengan “bid’ah adalah suatu cara dalam agama yang diciptakan menyerupai syariah dan dengan menempuh cara tersebut dimaksudkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah SWT”. Sedangkan para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu pekerjaan yang dianggap bid’ah itu tidak terbatas. Baik yang berkaitan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan yang berlaku, sehingga definisi bid’ah adalah sbb:

ألبدعة هي طريقة في الدين مخترعة تضاهي ألشريعة يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريق ألشرعية,

Artinya: “Bid’ah adalah suatu cara dalam agama yang diciptakan menyerupai syariah dan dengan menempuh cara tersebut dimaksudkan untuk mengerjakan syariah itu sendiri”

Dengan demikian, Imam ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam (577-660 H/ 1181-1262 M) berpendapat bahwa:
ألبدعة هي فعل ما لم يعهد في عصر رسو ل الله صلى الله عليه وسلم,

Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal atau tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW”.

Sedangkan Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawy (631-676 H/ 1234-1277 M) berpendapat bahwa:
ألبدعة هي إحدث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى عليه وسلم,

Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW”

B. KLASIFIKASI BID’AH & DASAR LEGALITASNYA
Dari penjelasan diatas, maka bid’ah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Bid’ah Hasanah; dan (2) Bid’ah Sayyiah.
1. Bid’ah Hasanah dan Dasar Legalitasnya
Bid’ah Hasanah adalah:

ألبدعة ألحسنة هي ما رأه أإيمة الهدى مما يوافق الكتاب والسنة من حيث إيثار ألانفع والأصلح كجمع القرأن في المصحف وجمع الناس لصلاة التراويح والاذان الاول يوم الجمعة وكإحداث الربط والمدرسة وكل إحسان لم يعهد في العهد النبوي,

Artinya: “Bid’ah hasanah adalah suatu pendapat para Aimatulhuda (Imam yang memberi petunjuk) yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, dilihat dari sisi mendahulukan yang lebih bermanfaat dan lebih bermaslahat, hal tersebut misalnya perbuatan para Sahabat dalam hal kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf, mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjamaah, adzan pertama pada hari Jum’at, begitu juga (hal-hal baru yang terjadi pada masa sekarang) seperti pendirian pondok pesantren, madrasah-madrasah dan setiap kebaikan yang belum pernah ada pada masa Nabi Muhammad SAW”

Dari definisi seperti ini dapat diambil pemahaman bahwa setiap kebaikan yang belum pernah ada pada masa Nabi Muhammad SAW itu, merupakan tindakan baru yang baik (bid’ah hasanah). Dimana jika dilaksanakan, maka orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

من سن سنة حسنة في إسلام فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء,

Artinya: “Siapa saja yang telah meletakkan atau memulai perilaku atau perbuatan yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala amalnya dan pahala orang yang melakukannya setelah ia, tanpa mengurangi pahalanya ia sedikitpun”

Berdasarkan hadist inilah Imam Syafii meniadakan istilah bid’ah untuk suatu tindakan baru yang memiliki sumber landasan dalil syara’ sekalipun belum pernah diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan para ulama salaf. Sedangkan untuk mengetahui kebenaran dari pandangan beliau ini, maka dapat dilacak dari pendapat beliau sbb:

فقال الشافعي : كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولولم يعمل به ألسلف لأنتركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أولما هو أفضل منه أولعله لم يبلغ جميعهم علم به,

Artinya: “Imam Syafii berkata: Setiap sesuatu yang ada landasan dalil dalam syara’, maka hal tersebut bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah diamalkan oleh ulama salaf, karena sikap mereka yang meninggalkan mengerjakan hal itu terkadang karena ada udzur (halangan) yang terjadi atau karena ada amaliah yang lebih utama dari hal itu dan atau barangkali hal tersebut belum diketahui oleh mereka”

2. Bid’ah Madzmumah (sayyiah) dan Dasar Legalitasnya
Bid’ah Madzmumah adalah:

ألبدعة ألمذمومة هي كل ما خالف نصوص الكتاب والسنة أوخرق إجماع ألامة كا لمذهب ألفاسدة والعقايد ألزيفة ألمخالفة لما عليه أهل السنة.

Artinya: “Bid’ah madzmumah adalah setiap hal yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah atau yang berbeda dengan kesepakatan para Imam (ijma’), seperti aliran (madzhab) yang sesat, keyakinan (akidah) yang menyimpang dan berbeda dengan hal-hal yang menjadi pegangan prinsip Ahlussunnah waljamaah”.

Definisi bid’ah tersebut diambil dari sabda Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadistnya diantaranya:
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة.

Artinya: “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [HR. an-Nasai: 1578]

Yang dimaksud dengan bid’ah dlolalah pada hadist ini adalah setiap hal baru yang salah atau jelek dan tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sabda Rasul-Nya. Pengertian seperti diambil dari sabda Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadistnya diantaranya ialah:

من ابتدع بدعة ضلالة لا ترضى الله ورسوله كان عليه مثل أثام من عملبها لا ينقص من أوزرهم شيء.

Artinya: “Siapa saja yang berbuat bid’ah yang sesat yang Allah SWT dan Rasul-Nya tidak meridhainya, maka dia akan mendapatkan dosa orang yang melakukan hal tersebut dengan tanpa mengurangi dosa mereka”
Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد.

Artinya: “Siapa saja yang melakukan hal baru dalam urusanku (agama) yang tidak ada dalam agama, maka hal tersebut ditolak” [HR. Bukhari: 2550 & Muslim: 1718]

Dengan adanya penjelasan tentang bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pekerjaan baru yang berdasarkan dalil dikenal dengan sebutan bid’ah hasanah. Sedangkan hal baru yang tidak berdasarkan dalil syar’i dikenal dengan bid’ah sayyi’ah atau bid’ah qabihah. Bahkan Imam Syafii RA melakukan peniadaan istilah bid’ah dengan menyatakan bahwa suatu perbuatan yang pelaksanaannya sudah memiliki landasan secara syar’iy sekalipun dalam realitasnya belum pernah dilakukan oleh ulama salaf, namanya bukan bid’ah. Hal ini dapat dilacak dari adanya pernyataan tegas dari al-Hafidz al-Ghamariy, yaitu sbb:

فقال الشافعيرضي الله عنه : كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولولم يعمل به ألسلف لأنتركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أولما هو أفضل منه أولعله لم يبلغ جميعهم علم به.

Artinya: “Imam Syafii berkata: Setiap sesuatu yang ada landasan dalil dalam syara’, maka hal tersebut bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah diamalkan oleh ulama salaf, karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut disebabkan beberapa factor, antara lain:
1. terkadang karena ada udzur (halangan) yang terjadi atau
2. karena ada amaliah yang lebih utama dari hal itu dan atau
3. barangkali hal tersebut belum diketahui atau bahkan tidak diketahui oleh mereka”

Dari pernyataan Imam Syafii seperti diatas, maka para ahli memberikan komentar tentang klasifikasi “muhdatsat” (hal baru), sekalipun berbeda-beda dalam memberikan istilah, diantaranya ialah:
a. Imam Rofi’i
Muhdatsah itu dapat dikelompokkan menjadi: (a) bid’ah dlolalah, yaitu hal baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, atsar dan ijma’; dan (b) bid’ah tidak tercela, yaitu hal baru yang yang bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah, atsar dan ijma.
b. Ibnu Hajar al-Asqalani
Menyatakan bahwa bid’ah itu dapat dikelompokkan menjadi dua dan istilah yang digunakan adalah: (a) bid’ah hasanah; dan (b) bid’ah mustaqbihah

...وتطلق في الشرع قى مقابلة السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إنكانت مما تندرج تحت مستحسن فى الشرع فهي حسنة وإنكانت مما تندرج تحت مستقبح فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح.

Artinya: “…sedang dalam syara’ bid’ah itu diucapkan sebagai lawan kata dari istilah as-sunnah, akibatnya bid’ah itu pasti tercela. Pada hakikatnya, jika bid’ah itu masuk kedalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’. Maka sebutan tersebut termasuk bid’ah hasanah. Jika masuk ke dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka ia termasuk kelompok bid’ah mustaqbihah (tercela). Jika tidak termasuk kedalam naungan keduanya, maka iia menjadi salah satu bagian bid’ah yang berstatus mubah”
c. Imam Badruddin al-Ainiy (762-855 H/ 1361-1451 M)
Beliau berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi manjadi dua, yaitu dengan istilah: (a) bid’ah hasanah; dan (b) bid’ah mustaqbihah.

...ثم البدعة على نوعين إن كانت مما يندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة.

Artinya: “…kemudian bid’ah itu terbagi menjadi dua, yaitu jika masuk kedalam naungan sesuatu tindakan yang dianggap baik oleh syara’, maka ia dikenal dengan sebutan bid’ah hasanah. Jika masuk ke dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka ia disebut dengan istilah bid’ah tercela”
d. Ibnu al-Atsir al-Jaziriy
Berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua dengan menggunakan istilah: (a) bid’ah huda; dan (b) bid’ah dlolalah

...البدعة بدعتان بدعة هدى وبدعة ضلال فما كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو من خير الذم والإنكار وما كان واقعا تحت عموم مما ندب الله إليه وحض عليه الله ورسوله فهومن خير المدح وما لم يكون له مثال موجود كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف فهو في الأفعال ألمحمودة ولا يجوز أن يكون ذلك خلاف ما ورد الشرع به.

Artinya: “…bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan syara’) dan bid’ah dlolal (sesat). Makanya bid’ah yang menyalahi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, termasuk kelompok bid’ah tercela dan tertolak. Bid’ah yang keberadaannya dibawah naungan keumuman perintah Allah SWT dan dengan dorongan Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia termasuk kelompok bid’ah terpuji. Sedang bid’ah yang belum pernah mempunyai kesamaan seperti semacam kedermawanan dan perbuatan kebajikan, maka ia termasuk kelompok perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara’ ”
e. Ibnu Abdil Bar
Beliau berpendapat bahwa bid’ah itu dibagi menjadi dua dengan menggunakan istilah: (a) bid’ah laa khaira fiiha-bid’ah tidak baik; dan (b) sebaik-baik bid’ah (khairal bid’ah atau ni’matul bid’ah)

...أما قول عمر"نعمت البدعة" في لسان العرب إختراع ما لم يكون وإبتداؤه فما كان من ذالك في الدين خلافا للسنة التى مضى عليها العمل فتلك بدعة لا خير فيها وواجب ذمها والنهي عنها والأمر بجتنابها وهجران مبتدعها إذا تبين له سؤ مذهبه وما كان من بدعة لاتخالف أصل الشريعة والسنة فتلك نعمت البدعة.

Artinya: “Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Makanya jika bid’ah itu terjadi di dalam agama yang menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka bid’ah itu tidak baik dan wajib mencela dan melarangnya dan wajib pula menyuruh menjauhi dan meninggalkan pelakunya, jika sudah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariah dan sunnah, maka itulah sebaik-baik bid’ah”
f. Imam Izzuddin bin Abdis Salam
Beliau berpendapat bahwa pengelompokkan bid’ah itu harus disesuaikan dengan pengelompokkan hukum Islam yang lima. Hal ini sebagaimana yang telah beliau ungkapkan dalam kitab “Qawa’id al-Ahkam”

...ألبدعة هي فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة الى: بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة منذوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة. والطريق في معرفة ذالك أن تعرض ألبدعة على قواعد الشريعة. فإن دخلت في قاعد الإيجاب فهي واجبة وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة وإن دخلت في قواعد النذوب فهي منذوبة وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة.

Artinya: “Bid’ah ialah mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak pernah terjadi pada masa RAsulullah SAW. Bid’ah ini terbagi menjadi lima macam yaitu: (a) bid’ah wajibah; (b) bid’ah muharramah; (c) bid’ah mandzubah; (d) bid’ah makruhah; dan (e) bid’ah mubahah. Adapun untuk mengetahui itu semua, maka harus dilakukan dengan cara membandingkan bid’ah pada kaidah-kaidah syara’. Maksudnya jika bid’ah itu masuk ke dalam kaidah wajib, maka ia menjadi bid’ah wajibah. Jika masuk ke dalam kaidah haram, maka termasuk bid’ah muharramah. Jika masuk ke dalam kaidah sunnah, maka termasuk bid’ah mandzubah. Jika masuk ke dalamkaidah mubah, maka ia termasuk bid’ah mubahah”
Penjelasan macam-macam bid’ah diatas:
a. Bid’ah Wajibah
Menekuni bidang Ilmu Nahwu sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an dan Hadist. Hal ini hukumnya wajib karena untuk menjaga syariah dan tidak mungkin bias menjaganya kecuali dengan belajar Ilmu tersebut. Padahal sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya suatu kewajiban adalah hukumnya wajib. Jadi untuk menjaga hokum Islam, belajar Ilmu Nahwu hukumnya wajib. Selain itu juga menekuni Ilmu Jarkh wa Ta’dil dalam Ilmu Hadist. Hal ini sebagai sarana untuk membedakan mana hadist yang shahih dan mana yang dhaif. Jadi untuk mempelajari keshahihan dan kedhaifan hadist, belajar Ilmu Jarkh wa Ta’dil merupakan suat kewajiban.
b. Bid’ah Muharramah
Maksudnya adalah sesuatu hal yang tidak mempunyai landasar atau dasar atau dalail dari agama baik dari al-Qur’an, al-Hadist, ataupun ijma’ ulama. Seperti bid’ah dalam ajaran aliran Qadariah, Jabariah, Murji’ah, Mujasimmah dll.
c. Bid’ah Mandzubah
Maksudnya adalah sesuatu yang mempunyai dalil dalam agama. Sekalipun belum ada pada masa Rasulullah SAW, misalnya: mendirikan shalat sunnah mutlak yang dilakukan sebanyak 100 rakaat dalam satu hari umpamanya. Padahal agama tidak menuntut untuk melakukannya seperti itu. Akan tetapi ditemukan adanya anjuran agama untuk melakukan penambahan seperti yang tertuang di dalam Hadist Qudsi yang artinya:
Artinya: “Hamba-Ku selalu melakukan pendekatan diri kepada-Ku, sehingga Aku cinta padanya” [HR. Bukhari: 6137]
Selain contoh ini adalah membangun jembatan-jembatan, sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang belum pernah terjadi dan dikenal di masa generasi Islam pertama. Misalnya: shalat tarawih dsb.
d. Bid’ah Makruhah
Misalnya: memindahkan bangunan masjid dan menghiasi mushaf al-Qur’an.
e. Bid’ah Mubahah
Misalnya: memakan makanan atau minuman yang lezat-lezat, berpakaian yang indah-indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dsb.
g. Imam al-Shun’aniy
Beliau berpendapat bahwa bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima macam.

...وقد قسم العلماء البدعة على خمسة أقسام: واجبة كحفظ العلوم بالتدوين والرد على الملاحدة بإقامة الأدلة ومنذوبة كبناء المدارس ومباحة كاالتوسعة في الوان لطعام وفاخر الثياب ومحرمة ومكروهة وهما ظاهران فقوله "كل بدعة ضلالة" عام مخصوص

Artinya: “…dan ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu: (a) bid’ah wajibah, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak aliran-aliran sesat dengan cara menegakkan dasar sebagai argumentasinya; (b) bid’ah mandzubah, seperti membangun madrasah-madrasah; (c) bid’ah mubahah, seperti menyediakan makanan dan minuman yang lezat-lezat dan berpakaian indah; (d) bid’ah muharamah; dan (e) bid’ah makruhah, untuk contoh yang kedua ini sudah jelas. Oleh karena itu hadist yang menyatakan bahwa “semua bid’ah sesat, merupakan kata-kata umum yang jangkauannya dibatasi”
Dari pembagian bid’ah seperti ini, Imam Nawawy berpendapat bahwa secara umum, bid’ah itu hanya ada dua macam, yaitu: (a) bid’ah hasanah; dan (b) bid’ah sayyi’ah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa tidak semua yang baik itu berstatus wajib dan tidak semua yang buruk itu berstatus haram, sebab yang baik itu ada yang berstatus sunnah dan ada pula yang berstatus makruh. Begitu juga dalam masalah bid’ah. Sebagaimana pandangan beberapa ulama sbb:

قال العلماء ألبدعة خمسة أقسام واجبة ومنذوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Artinya: “Para ulama mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima, yaitu: (a) bid’ah wajibah; (b) bid’ah mandzubah; (c) bid’ah muharramah; (d) bid’ah makruhah; dan (e) bid’ah mubahah”.
Dengan demikian, keberadaan kedua hadist tersebut diatas, memang benar akan tetapi tidak boleh tergesa-gesa untuk membuat keputusan bahwa semua bid’ah itu sesat, diharuskan adanya kehati-hatian dan tidak boleh tergesa-gesa, sebab untuk bias memahaminya secara benar, dibutuhkanlah pengkajian secara mendalam terhadap kata-kata yang terkandung di dalam teks hadist tersebut. Bahkan tidak hanya itu, kesemua teks hadist yang berhubungan dengan definisi bid’ah juga. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjerumus pada penafsiran yang salah, penafsiran yang sesat dan menyesatkan secara proporsional dan ilmiah. Dapat dibuktikan standar konsekuensi, konsistensi (valid dan reliabel) dan keadilan dalam beragumentasi secara logis (logical argumentation).

C. ANALISIS KATA “KULLU BID’ATIN DLOLALATIN”
Telah dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari sebuah ayat al-Qur’an atau al-Hadist Nabi Muhammad SAW, dibutuhkan adanya keharusan untuk bisa memahami terhadap sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an (asbabun nuzul) dan sebab turunnya Hadist (asbabul wurud) atau paling tidak hal tersebut ditanyakan kepada para ahlinya yang membidangi suatu keilmuan tertentu. Dalam hal ini ilmu agama, yaitu para mujtahid, ulama-ulama salaf, ulama kalam, ulama fiqh, tasawuf dll. Sebab tidak semua ayat atau hadist dapat diartikan secara langsung sesuai dengan arti lafdziyyah atau teks yang tertulis. Jika tetap saja diartikan sesuai dengan teks dan bahkan tidak mau menerima pandangan atau penafsiran orang lain yang memang ahli dalam bidangnya (expert), maka pada suatu saat akan mengalami kebingungan dan penafsiran yang tidak tepat, penafsiran yang tidak konsisten, tidak konsekuen bahkan sesat menyesatkan.
Seperti halnya kelompok-kelompok yang sengaja mengharamkan semua hal yang baru, semua hal yang belum pernah Nabi SAW lakukan. Oleh karena itu hal-hal baru saat ini, logikanya juga termasuk bid’ah karena pada zaman Nabi SAW belum pernah ada atau belum pernah dilakukan. Misalnya; (Iptek) kendaraan bermotor untuk dakwah Islam, HP untuk dakwah Islam, belajar al-ur’an terjemahannya saja, mengikuti pendapat-pendapat tokoh non-Islam dalam ilmu-ilmu sekuler (IPA. IPA, Bahasa Inggris dll). Merupakan suatu ketidak-konsistenan, ketidak-konsekuenan, tidak proporsional (tidak seimbang, tidak adil) dalam menghukumi bid’ah terhadap amaliah-amaliah warga nahdliyyin, seperti: tahlilan, selamatan, dzikir jamaah, peringatan-peringatan hari besar Islam, membaca shalawat dll. Suatu ketidak-adilan dalam mendefinisikan bid’ah ketika acara-acara tersebut diharamkan, dijauhi, dicibir bahkan mereka anggap sesat, tetapi pada kenyataannya kelompok di luar NU malahan getol mengadakan acara-acara yang cenderung tradisi dari Barat (western), misalnya: seminar, pelatihan, out bond dll. Kalau acara-acara yang bermakna Islam saja seperti tahlilan dan yang sevariannya saja mereka haramkan karena bid’ah, maka mereka juga harus konsekuen bahwa acara-acara yang berasal dari budaya Barat tersebut juga bid’ah.
Sebagai contoh hadist dibawah ini juga harus dipahami secara tepat dan komprehensif.

...عني النبي صلى عليه وسلم قال: عليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجد وإياكم ومحدثات الامور فكل محدثة بدعة, رواه ابو داود والترمذى وزافي رواية وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Artinya: “Dari Rasulullah SAW beliau bersabda: berpeganglah pada Sunnahku (ajaranku) dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah engkau dari sesuatu hal yang baru karena setiap hal yang baru adalah bid’ah. [HR. Abu Dawud & Tirmidzi]. Dalam suatu riwayat ada penambahan “Dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk dalam neraka”

Jika matan hadist diatas dipahamai secara tekstual, maka yang terjadi adalah semua manusia akan masuk kedalam neraka. Sebab pada kenyataannya, mereka semua selalu dihinggapi dengan bid’ah baik dalam agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan-keamanan Negara dan nasionalisme. Karena hal itu semua perkara baru. Pada zaman Nabi Muhammad SAW belum ada. Umat manusia pada zaman kontemporer ini juga tidak bisa melepaskan diri dari bid’ah, seperti: dari cara berpakaian (celana panjang, jas, berdasi), perabotan RT, Iptek (radio, televisi, HP, telpon, internet, kendaraan dll), bahkan tempat ibadah yang dihiasi dengan batuan marmer, keramik, permadani dsb. Ini semua merupakanhal baru. Apakah bid’ah? Sekarang kalau hal ini semua tidak termasuk bid’ah, maka tahlilan, selamatan, puji-pujian sebelum iqamah shalar fardhu, shimtut duror (shalawatan) bahkan tidak bid’ah sama sekali. Kelompok-kelompok yang menganggap bahwa tahlilan (لاإله إلاألله) adalah bid’ah hanyalah kelompok yang tidak konsisten, konsekuen, proporsional dalam berargumen bahkan tidak logis argumentasinya karena tidak berimbang dalam penggunaan definisi “bid’ah”.
Maksud kata “muhdatsat” ( محدثة) yang terkandung didalam hadist tersebut bersifat mutlak atau tidak? Para ulama berpendapat bahwa maksud teks hadist وإياكم ومحدثات الأمور فكل محدثة بدعة adalah hadist yang menunjukkan pengertian umum yang dikhususkan ( عام مخصوص). Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat “muhdatsat” ( محدثة – hal-hal baru dalammasalah agama) yang sesat (madzmumah) yang tidak ada dasar syara’ dianggap sebagai hal yang dilarang. Adapun yang memiliki dasar syara’ dianggap sebagai hal yang terpuji dan merupakan hal baru yang baik (bid’ah hasanah) bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk sunnah (ajaran) Khulafaur Rasyidin dan para Imam yang selalu mendapatkan petunjuk.
Oleh sebab itu sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi وكل بدعة (dalam artian kata بدعة yang ditaukidi atau dikuatkan dengan kata وكل ) tidak bisa menghalangi status hadist yang pada hakikatnya menunjukkan pada adanya pengertian umum yang dikhususkan (عام مخصوص) sebagaimana keberadaan kata كل dalam QS. al-Ahqaf: 25
 •              
Artinya: “Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” [QS. al-Ahqaf: 25]
Dengan demikian untuk mengetahui secara jelas dan benar tentang maksud yang terkandung di dalam teks hadist Nabi Muhammad SAW وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار diperlukan adanya hadist lain yang dapat menjelaskan yaitu:

...ومن إبتدع بدعة ضلالة لاترضى الله ورسوله كان عليه مثل أثام من عمل بها لاينقص ذالك من أوزار الناس شياء

Artinya: “Siapa saja yang mengadakan sebuah bid’ah dlolalah (sesat) yang tidak diridhai Allah SWT dan Rasul-Nya, maka dia mendapatkan dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka” [HR. Tirmidzi]
Dalam hadist tersebut ditemukan adanya kalimat بدعة ضلالة yang memberikan suatu pemahaman bahwa bid’ah itu ada yang sesat dan ada pula yang tidak sesat. Jika tidak dipahami seperti ini, Nabi Muhammad SAW pasti bersabda ومن إبتدع بدعة (siapa saja mengadakan bid’ah) tanpa diidhafahkan kepada kata dholalah (ضلالة).
Apakah kata kullun (كل) itu selalu berarti semua? Padahal dalam al-Qur’an banyak sekali kata kullun yang pada kenyataannya tidak berarti semua. Misalnya: QS. al-Ahqaf: 25 yang menceritakan hancurnya segala sesuatu lantaran tiupan angina, yaitu:
 •              
Artinya: “Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” [QS. al-Ahqaf: 25]
Dalam ayat ini, kata “segala sesuatu  “ yang dihancurkan oleh tiupan angina ternyata rumah-rumah mereka yang berdosa tidak ikut hancur. Hal ini sebagai salah satu pengecualian (istisna - إستثناء) sehingga tidak semua kata kullun itu selalu berarti/ bermakna “semua”. QS. al-Anbiya’: 30 yang menceritakan tentang semua benda yang ada di bumi ini terbuat dari air, yaitu:
    •          •      
Artinya: “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” [QS. al-Anbiya’: 30]

Kata segala sesuatu  pada ayat tersebut tidak bias diartikan “semua benda yang ada di dunia ini tercipta dari air”, tetapi harus diartikan “sebagian benda“ yang ada di bumi ini tercipta dari air, sebab terbukti ada benda-benda lain yang diciptakan Allah SWT bukan dari air, misalnya pada QS ar-Rahman: 15
 •  •   
Artinya: “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api” [QS. ar-Rahman: 15]
Selain itu juga QS. al-Kahfi: 79 yang mengisahkan tentang tidak semua perahu dirampas oleh raja yang lalim, yaitu:
•            •  •   
Artinya: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” [QS. al-Kahfi: 79]
Pada ayat ini ditemukan adanya kalimat “semua perahu yang dirampas oleh raja itu, berarti seluruh perahu yang ada, tetapi sebenarnya harus diartikan “sebagian perahu saja yang dirampas”, yaitu “perahu yang bagus-bagus” dan yang jelek tidak ikut dirampas, sebagai terjadinya kasus perahu yang dirusak oleh Nabi Khidlir AS supaya tidak ikut dirampas.
Dengan demikian, maka dapat dimengerti bahwa proses berpikir analisis seperti itu sudah sesuai dengan system berpikirnya para ahli manthiq dalam mengambil suatu konklusi (kesimpulan - natijah) dengan menggunakan teori berpikir logic yang dikenal dengan istilah “Syakl Awwal dlarb Tsalits” شكل اول ضرب ثالث seperti pada contoh berikut:
1. كل (اي بعض) بدعة ضلالة sebagian bid’ah itu sesat
2. كل ضلالة في النار semua kesesatan itu di dalam neraka
3. بعض البدعة في النار sebagian bid’ah dalam neraka; atau
4. بعض الظن إثم sebagian dhon itu berdosa
5. كل إثم يجب التباعد عنه semua yang berdosa itu wajib dijauhi
6. بعض الظن يجب التباعد عنه sebagian dhon itu harus dijauhi
Dengan demikian, yang dimaksud denganhadist Nabi Muhammad SAW tentang semua bid’ah adalah sesat, merupakan perkataan yang bersifat umum yang jangkauannya terbatas (عام مخصوص). Oleh karena itu, maksud hadist (كل بدعة ضلالة – semua bid’ah adalah sesat) adalah (بعض بدعة ضلالة – sebagian besar bid’ah itu sesat) bukan seluruhnya sesat (كل بدعة ضلالة). Keterbatasan jangkauan batasan tersebut dapat dilihat dari penjelasan Nabi Muhammad SAW dalam hadistnya sbb:

...من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Artinya: “…barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalammasalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama) maka dia ditolak ” (HR. Imam Muslim, Ibnu Majjah dan Imam Ahmad)
Dalam hadist beliau ini ditemukan adanya kalimat yang tidak bersumber darinya (agama) yang menjadi penjelas bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Sehingga hadist “kullu bid’atin dlolalatin” كل بدعة ضلالة harus diartikan dengan pengertian bahwa “semua bid’ah itu sesat, kecuali yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist”. Maka tidak heran jika sejak zaman dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syafii RA yang dikutip dari kitab Fath al-Bari:

ألمحدثاة ضربان ما أحدث يخالف كتابا أوسنة أوأثرا أوإجماعا فهذه بدعة الضلال وماأحدث من الخير لا يخالف شياء من ذلك فهي محدثة غير مذمومة (فتح البارى, ج17 ص 10)

Artinya: “Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pert ama, sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an. Sunnah Nabi SAW, Atsar Sahabat atau ijma’ ulama. Inilah yang disebut dengan bid’ah dhalalah (sesat). Kedua, (jika) sesuatu yang baru itu termasuk kebajikan yang tidak sedikitpun menyalahi dari al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar Sahabat atau ijma’ ulama. Maka perbuatan ini termasuk perbuatan baru yang tidak tercela” [Fath al-Barri. Juz XVII. Hal 10]

Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut:

وقد تكلم أهل العلم في المحدثات ألتي قسموها الى قسمين: بدعة حسنة وبدعة لالة. فأما البدعة الحسنة فهي الموافق لكتاب لله وسنة رسول الله صلى عليه وسلم, فهي داخلة تحت قوله صلى الله عليه وسلم "من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها بعده ولا ينقص من أجورهم شيء, ومن سن في الإسلام سنة سية فعليه وزرها وزرمن عمل بها بعده ولا ينقص من أوزارهم شيء" روا مسلم وللحديث الصحيح الموقوف وهو قول عبد الله ابن مسعود: ما استحسنه المسلمون فهو عند الله حسن وما استقبحه المسلمون فهو عند الله قبي, صححه الحافظ ابن حجر في الأما لي (البدعة الحسنة واصلها من الكتاب والسنة, 28)

Artinya: “Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda NAbi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ““Barang siapa yang mencontohkan sesuatu perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan tersebut dilakukan (ditiru) oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya itu tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang mencontohkan perbuatan buruk dalam Islam, lalu perbuatan tersebut ditiru ayau dilaksanakan juga oleh orang lain, maka ia akanmendapatkan dosa semua orang yang mengamalkannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka” dan juga berdasarkan hadist shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua Muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT. Dan semua perkara yang dianggap buruk oleh orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk. Hadist ini dishahihkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Amali”

D. HUBUNGAN TEKS كل بدعة ضلالة DENGAN TEKS HADIST LAIN

Untuk mengantisipasi terjadinya kesalah-pahaman dalam memahami hadist كل بدعة ضلالة (setiap bid’ah adalah sesat) maka kami singgung hadist Nabi SAW lainnya yang dapat dijadikan argument untuk memperkuat bahwa hal- baru (محدثة) itu tidak semuanya sesat, sebab dalam kenyataannya, hal yang baru tersebut ada dua macam, yaitu: (a) hal baru yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist (agama). Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi SAW; ...من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو ر د... dan (b) hal baru yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist (agama). Hal ini juga dijelaskan dalam sabda Nabi SAW; ...من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد … Dalam dua (2) hadist diatas. Ditemukan adanya dua (2) kata yang memiliki arti yang sangat berbeda, yaitu kata “fiihi” (فيه) dan kata “ minhu” (منه) dalam kalimat “maa laisa”( ما ليس), yaitu:
1. Kata fiihi فيه dalam ما ليس berarti bahwa hanya hal baru yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist sajalah yang tertolak.
2. Kata minhu منه dalam ما ليس berarti bahwa semua hal baru itu tertolak.
Oleh karena itu, kalimat yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist (ما ليس منه) , dapat diambil pemahaman bahwa tidak semua yang baru itu bid’ah sesat dan yang sesat hanyalah yang tidak bersumber darinya (al-Qur’an dan al-Hadist). Dengan demikian, selama hal baru (bid’ah)itu bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist, maka hal baru tersebut dapat diterima dan boleh dilaksanakan sebab semuanya dapat dikategorikan sebagai umat Islam yang selalu menghidupkan sunnah Rasulullah SAW yang dalam pelaksanannya tentunya setiap generasi memiliki cara tersendiri dan setiap kelompok masyarakat juga memiliki budaya, tradisi dan peradaban yang berbeda-beda, misalnya hal baru sbb: pengkodifikasian al-Qur’an yang pada masa Rasulullah SAW belum ada, tetapi baru terlaksana pada masa Sahabat. Kodifikasi Hadist yang pada generasi Sahabat belum ada, tetapi baru ada ketika masa Tabi’in. begitu juga pemberian “nuqthah” (titik) dan harakat pada ayat-ayat al-Qur’an dsb.
Semua tindakan para Sahabat tersebut merupakan salah satu bentuk pengamalan terhadap hadist Nabi SAW:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها بعده ولا ينقص من أجورهم شيء, ومن سن في الإسلام سنة سية فعليه وزرها وزرمن عمل بها بعده ولا ينقص من أوزارهم شيء.

Artinya: “Barang siapa yang mencontohkan sesuatu perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan tersebut dilakukan (ditiru) oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya itu tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang mencontohkan perbuatan buruk dalam Islam, lalu perbuatan tersebut ditiru ayau dilaksanakan juga oleh orang lain, maka ia akanmendapatkan dosa semua orang yang mengamalkannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka” [HR. Imam Muslim, Turmudzi, an-Nassai, Ibnu Majjah & ad-Darimy]

Oleh karena itu, yang perlu kita perhatikan adalah bahwa bid’ah terbagi menjadi (2) dua, yaitu: (a) bid’ah hasanah; dan (b) bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah dapat dilihat dari adanya beberapa amaliah kaum Muslim mulai dari masa Nabi Muhammad SAW masih hidup atau setelah beliau wafat. Bahkan perbuatan-perbuatan kaum Muslim yang sudah menjadi tradisi, misalnya:
1. Bid’ah Hasanah Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Adapun hal baru yang terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup, yang dilakukan oleh Sahabatnya tetapi kemudian dibenarkan oleh beliau antara lain; tatacara melaksanakan shalat jamaah, shalat sunnah setelah wudhu dan adzan, bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW, tayamum bagi orang junub, masalah bacaan-bacaan dalam shalat, bacaan iftitah setelah takbiratul ihram, bacaan talbiyah sewaktu haji dsb.
2. Bid’ah Hasanah Pada Masa Sahabat
Adapun bid’ah hasanah pada masa Sahabat antara lain; pengkofikasian al-Qur’an dalam satu mushaf Ustmaniy, praktik shalat tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat pada masa Khalifah Umar bin Khatab, penanggalan kalender Hijriyah, praktik adzan Jum’at dua kali pada masa Khalifah Ustman bin Affan, shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha, membaca kalimat taradhi pada khutbah Jum’at, melafalkan sayyidina.
3. Bid’ah Hasanah Pasca Generasi Sahabat
Perlu kita ketahui bahwa perbuatan para Sahabat juga sebagai sunnah dan berkedudukan sama dengan sunnah beliau sendiri. Sehingga sunnah mereka hendaknya bahkan harus diikuti seperti ketika mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

عن خذيفة رضي الله عنه قال رسول الله صلى عليه وسلم: إقتدوا بالذين من بعدى أبي بكر وعمرو. رواه الترمذي

Artinya: “Dari Hudzaifah RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: Ikutilah kedua orang setelah aku (Rasulullah SAW) yaitu Abu Bakar dan Umar” [HR. Turmudzi]

فعيكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين

Artinya: “Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku (Rasulullah SAW) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudah aku” [Musnad Imam Ahmad bin Hanbal]

Dari kedua hadist inilah, kemudian para Sahabat banyak melakukan kreasi yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW akan tetapi tetap sesuai dengan tuntunan syara’ (al-Qur’an dan al-Hadist), misalnya: pemberian titik dan harakat dalam penulisan mushaf al-Qur’an, istilah dalam Ilmu Jarkh wa Ta’dil, pembukuan hadist, pembukuan dalam Musthalah Hadist, peringatan Maulid Nabi SAW, mendoakan guru dalam shalat, berdoa setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat tarawih atau shalat witir, berdzikir dan berdoa secara berjamaah setelah shalat.
4. Bid’ah Hasanah Masa Kontemporer
Bid’ah pada masa modern antara lain: pembangunan marmar (tempat melempar jumrah) yang telah diadakan oleh pemerintah Arab Saudi pada 2005, program pembuatan eskalator antara Shafa dan Marwa, mengubur mayat dengan peti, shalat jamaah dalam satu masjid bertingkat, penulisan al-Qur’an dengan selain bahasa Arab.
5. Bid’ah Hasanah Dalam Berbagai Tradisi Muslim Jawa
Bid’ah Hasanah pada komunitas (jamaah) antara lain; pembacaan shalawat setelah selesai pertemuan, peringatan Haul, menyediakan jamuan makan setelah kematian, tabur bunga dkk, selamatan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, satu tahun dan seribu hari untuk orang yang meninggal dunia, selamatan haji, adzan sewaktu pemberangkatan haji, membaca manaqib dll.

E. BACAAN YANG DISARANKAN
1. Drs. Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, MA.. Ternyata NU Tidak Bid’ah: Bid’ah Hasanah Dalam Islam. (Jombang: Darul Hikmah & Maktabah al-Syarifah al-Khadijah, 2009).
2. Drs. Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, MA. Ternyata Aku Orang NU: Kupas Tuntas Tradisi NU. (Jombang: Darul Hikmah & Maktabah al-Syarifah al-Khadijah, 2008).
3. Tim Bahtsul Masail PC NU Jember. MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik.” (Jawa Timur: Khalista & LTN NU Jawa Timur, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar