Minggu, 13 Maret 2011

CIVIL LAW DI INDONESIA (1)

CIVIL LAW DI INDONESIA (1)
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

A. Pengertian dan Ide Revolusioner Hukum Sipil
Istilah hukum sipil (civil law) biasanya dipakai secara umum untuk merujuk kepada sitem hukum Eropa yang berasal dari hukum romawi dan berbeda dengan sitem hukum cammon law. Istilah civil law berasal dari bahasa latin jus civile, yang berarti hukum yang hanya bisa diterapkan pada rakyat Romawi. Pada kerajaan Romawi istilah itu dibedakan dari istilah jus gentium atau hukum yang diterapkan dalam kasus yang melibatkan orang-orang Romawi dari berbagai Provinsi yang berbeda atau antara penduduk Romawi dengan penduduk asing. Meski hukum Ramawi inilah yang menjadi basis hukum sipil di bernagai negara modern saat ini, namun tidaklah tepat mengatakan bahwa seluruh aspek hukum sipil berasal dari atau dipengaruhi oleh hukum Romawi, karena banyak aturan hukum-hukum subtantif Romawi itu ditolak dalam hukum sipil modern saat ini. Dengan kata lain, tradisi hukum sipil memang banyak berhutang pada logika hukum Romawi, namun perbedaan kondisi hukum masyarakat, politik dan ekonomi telah membelokkan hukum sipil dari asalnya.
Sebelum mengelaborasi hukum sipil lebih jauh, perlu kiranya diungkapkan pengertian hukum sipil lebih menyeluruh. Sebagaimana yang dibahas dalam buku “Pengantar Perbandingan Sistem Hukum” istilah hukum sipil yang merupakan terjemahan dari civil law merupakan istilah yang diambil dari sumber-sumber hukum sipil itu sendiri pada zaman Kaisar Justinianus yang bernama corpus juris civilis.
Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai tradisi suatu hukum yang berasal dari hukum Roma yang terkodifikasi dalam corpus juris civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia. Kode sipil terbagi dalam dua cabang, yaitu;
1. Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode sipil Prancis 1804) dan daerah lainya di benua Eropa yang mengadopsinya.
2. Hukum Romawi yang tidak terkodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hala-hal yang detail.
Kendati hukum sipil didefinisikan demikian seperti di atas, tidak berarti tradisi hukum sipil seluruhnya bersumber pada hukum Romawi. Sejauh menyangkut asal usul tradisi hukum sipil, Alan Watson yang dikutip dalam buku “Tradisi Hukum Indonesia” lebih cenderung memandangnya sebagai sistem hukum yang berasal dari kode Justinian, corpus Juris Civilis. Dalam pandanganya, bahan mentah tradisi hukum sipil adalah kodifikasi hukum Romawi yang telah diperbaharui dan dikodifikasi pada raja Byzantium Justian I, diterbitkan antara tahun 529 M dan 565 M, dan bukan hukum romawi yang sebelumnya.
Terbentuknya hukum sipil hingga dalam bentuknya yang modern sekarang ini sesungguhnya bukanlah suatu proses yang langsung dan sederhana. Perkembanganya melibankan revolusi intelektual yang komplek, sehingga memunculkan cara berfikir baru mengenai hukum yang kemudian memiliki konsekuensi massal organisasi dan administrasi hukum, aturan-aturan serta prosedur-prosedur subtantif hukum yang baru. Jika dilihat terutama dari sudut pandang hukum public, munculnya tradisi hukum sipil adalah hasil dari revolusi pemikiran terus menerus yang dimulai di Eropa pada masa peralihan abad ke-11, saat hukum Romawi direvitalisasi di Benua ini. Revolusi tersebut terjadi sebab adanya sejumlah kekuatan intelektual yang berdampingan dengan datangnya berbagai tradisi intelektual dari berbagai penjuru dunia. Karena itu, lahirnya tradisi hukum sipil modern tidak bisa dipisahkan dari sejumlah kekuatan intelektual yang mendorong munculnya pemikiran hukum baru di tengah proses reformasi berbagai nilai.
Disamping kekuatan tersebut, ada dorongan kekuatan lainya dibalik muculnya tradisi hukum sipil. Dorongan tersebut adalah upaya mensekulerkan hukum, gagasan dasarnya adalah memisahkan antara hukum dan agama yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasional, semuanya terpisah dari wilayah agama. Karakter pemikiranya adalah sederhana dan revolusioner pada konteks era saat itu, yaitu seluruh manusia tercipta setara. Manusia memiliki hak alami tertentu terhadap properti dan kebebasan, termasuk hidup itu sendiri. Ini adalah madzab intelektual yang saat itu dikenal mendukung hukum alam sekuler. Anggota madzab ini percaya pada sistem hukum universal yang tidak berubah-ubah, valid untuk setiap masa dan negara. Melalui penghargaan kepada akal manusia, madzab ini juga berpandangan bahwa masyarakat bisa berubah memalaui institusi hukum. Gerakan ini dapat dilihat sebagai hasil dari munculnya gelombang rasionalisme yang mengakar di Eropa pada abad ke 11 dan 12. Kepercayaan terhadap kesetaraan umat manusia dipadukan dengan asumsi baru bahwa manusia memiliki kekuatan akal, dan dengan akal manusia mampu mengontrol berbagai aktifitas dan mengatasi berbagai tantangan hidup. Penggunaan akal secara tepat diyakini bisa menyelesaikan persoalan persoalan yang dihadapi manusia, jadi institusi hukum dilihat sebagai hasil ciptaan kecerdasan manusia. Ideologi dasar yang dikembangkan oleh gerakan ini ialah hukum merupakan produk akal, bukan produk agen sakral.
Gerakan revolusi intelektual yang dikembangkan di Eropa mau tidak mau mempunyai konsekuensi terhadap karakteristik dan praktek tradisi hukum sipil. Lebih-lebih ditunjang situasi berakhirnya dominasi gereja di Eropa, peristiwa inilah yang kemudian mendorong manusia terpisah dari agama. Revolusi intelektual ini memberi tradisi hukum sipil dasar epistemologi yang sangat berbeda dari konsep hukum sebagai ekspresi nilai-nilai ketuhanan yang sebelumnya lazim dianut di eropa. Gerakan menuju sekularisasi di Eropa menjadi latar belakang lahirnya tradisi hukum. Sumber-sumber hukum sakral pun harus diganti dengan sumber-sumber baru untuk mendukung keyakinan terhadap hukum sipil profane yang baru, yang telah menjadi anutan ideologi banyak orang. Oleh karenanya, ada kecenderungan baru mempercayakan kepada negara sebagai satu-satunya agen yang berhak membuat hukum. Dengan demikian fenomena munculnya tradisi hukum sipil ini tidak lain adalah tantangan langsung terhadap pendekatan feodal dan monarkhis dalam menjalankan negara yang telah mendominasi Eropa pada saat itu. Negara-bangsa modern muncul dan institusi hukum sipil menjadi bagian utama dan sepenuhnya dari otoritas negara.
Dengan kemunculan negara-bangsa modern, kekuasaan pun sepenuhnya terletak di tangan negara. Ideology sentralisme negara pun tidak bisa dihindari, di mana justifikasi bagi kemandirian hukum hanya diberikan kepada negara demi ideology sistem hukum nasional. Dampaknya, hukum kanonik Rumawi yang sejak lama dianggap sebagai sumber hukum utama di Eropa era feodal disingkirkan dan diganti dengan hukum nasional yang sesuai dengan logika pembentukan positivisme hukum. Dengan adanya perkembangan seperti ini, kekuasaan untuk membuat hukum sepenuhnya dimiliki oleh negara, sehingga tidak ada individu atau kelompok di dalam negara yang dapat menciptakan hukum. Konsep revolusioner di balik prinsip positivism legislatif ini adalah bahwa hanya ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga legislatiflah yang disebut hukum. Pada level praktis, berarti pembuatan undang-undang harus didelegasikan organ husus negara yang berhak membuat hukum, maka secara teori ketentuan yang memiliki kekuatan hukum di negara hanyalah yang ditetapkan oleh lembaga legislatif formal, atau aturan-aturan dari lembaga administratif negara lainya yang diberi kekuasaan oleh lembaga legislatif. Itulah sebabnya mengapa tradisi hukum sipil hanya mengakui undang-undang dan peraturan negara lainya sebagai sumber hukum.
Dampak dari sentralisme hukum negara dan pemisahan kekuasaan pemerintahan ini mengakibatkan tradisi hukum sipil lebih menfokuskan diri pada gagasan untuk menuangkan setiap hukum kedalam buku yang ditulis secara detail. Usaha ini sebagian didukung oleh keinginan tradisi hukum sipil untuk menempatkan sistem hukum yang sederhana dan gamblang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintahan baru. Cara paling efektif melakukan tugas ini adalah dengan merumuskan hukum sesederhana mungkin sehingga orang awam mampu memahaminya dengan jelas apa yang menjadi hak dan kewajibanya tanpa bantuan pengacara. Ini juga berlaku bagi prinsip pemisahan legislative dan yudikatif, dalam arti kekuasaan pembuat hukum yang terletak pada badan legislative tidak bisa diintervensi oleh lembaga yudisial, karena kejelasan hukum sangat dibutuhkan. Kalau demikian, hukum yang dibuat badan legislative harus lengkap, menyeluruh dan jelas agar bisa menjamin dua aktifitas membuat dan menerapkan hukum tetap terpisah. Pada giliranya pemisahan ini melahirkan ideology kodifikasi dalam tradisi hukum sipil. Perhatian yang besar untuk menuangkan hukum ke atas kertas sebelum kasus serupa terjadi menjadikan aktifitas mengkodifikasikan hukum merupakan salah satu karakteristik paling penting dari tradisi hukum sipil.
Tersebarnya ideologi kodifikasi di Eropa selama decade awal abad ke-17 betul-betul merupakan titik kulminasi revolusi intelektual tersebut yang meliputi benua itu sebelum munculnya negara-negara versi barat. Di sini, kodifikasi sistematis hukum sipil Prancis yang disusun oleh sebuah komisi yang dibentuk oleh Napoleon I, merupakan sebuah model bagi kitab undang-undang sipil di berbagai tempat di Eropa dan Amerika latin selama paro pertama abad ke-19. Undang-undang sipil Napoleon sendiri yang diberlakukan pada awal 1804 berhasil merepresentasikan pemikiran hukum progresif pada saat itu. Dalam hal ini, kodifikasi hukum Napoleon yang diundangkan pada saat yang sama mebatalkan seluruh hukum Romawi yang ada sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar