Minggu, 13 Maret 2011

OBAT ANTI HAID DAN PUASA RAMADHAN

OBAT ANTI HAID DAN PUASA RAMADHAN
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

A. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Meminum Obat Anti Haid
Ulama era klasik seperti Ibnu Qudâmah al-Hanbali, Al-Hathaab al-Mâliki, dan Al-Ramliy al-Syâfii, tidak mempermasalahkan seorang wanita yang meminum obat-obatan penunda haid. Dengan kata lain, mereka menetapkan hukum tentang hal itu dengan mubah. Begitu juga dengan Ibnu Taymiyah, beliau juga memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa Ramadhan. Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu al-‘Ain merinci hukum menggunakan obat penunda haid ada dua macam. Yaitu makruh apabila bertujuan untuk mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid; serta haram apabila bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makruh.
Sedangkan pada era modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak dikemukakan paling awal adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sidang Komisi Fatwa MUI tanggal 12 Januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid adalah mubah bagi wanita yang sukar meng-qadha puasa Ramadhan pada hari lain; serta makruh jika untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat meng-qadha pada hari lain tanpa kesulitan. Selain fatwa MUI tersebut, pendapat dan fatwa dari ulama serta lembaga otoritatif lain di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian, karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam, maka di tingkat lokal pun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum Bahtsul Masil Diniyyah di Yayasan As-Salam, Bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu merumuskan kesimpulan untuk membolehkan penggunaan obat atau pil pencegah haid agar dapat menjalankan ibadah puasa ramadhan dan ibadah lainnya selama tidak menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang para ulama lokal terhadap persoalan fiqh kontemporer. KH. Tajuddin Subki, misalnya, dalam forum tersebut meng-qiyas-kan kebolehan menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan menggunakannya untuk kepentingan ibadah haji (thawaf). Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad mengatakan, hukum awal pemakaian obat-obat penunda haid dalam Islam tidak diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan ketentuan yang yang telah digariskan Allah. Namun hukum tersebut menjadi mubah karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi.
Selain pendapat di atas, kesimpulan berbeda muncul dari DPP Hidayatullah. Ormas ini berpendapat bahwa menggunakan obat penunda haid adalah lebih utama bagi wanita, dengan catatan hal itu berlaku bagi wanita yang tidak mempunyai resiko dengan kesehatannya. Kesimpulan itu didasarkan pada hadis Nabi yaitu :
Pertama, pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang melakukan satu bentuk rukhshah (keringanan). Sedangkan Nabi bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan 'azimahnya (beban normal)"(HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata:"Perawinya perawi hadis shahih).
Kedua, Rasulullah juga bersabda:" Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia ia betul-betul melakukannya"(HR. Abu Dawud). Pengertian sebaliknya dari sabda Nabi ini berarti orang yang mengqadha' akibat buka puasa atas dasar udzur, maka qadha'nya sepadan dengan puasanya di bulan Ramadhan.
Ketiga, terdapat hadis yang pengertian zhahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya wanita akibat udzur dan tidak berpuasanya wanita --meski di-qadha-- adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. Kutipan hadis tersebut adalah:
أليس إذا حاضت لم تصلى ولم تصم؟ قلن: بلى, قال فذلك من نقصان دينها
“Bukankah jika sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab:"Benar". Beliaupun bersabda:"Demikianlah bentuk kekurangan agamanya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan berlandas atas hadis tersebut, Hidayatullah menganggap bahwa menunda haid merupakan keutamaan yang dilakukan sebagai upaya menghindari sebagian dari potensi ‘kekurangan’ wanita dalam beragama. Dalam penjelasannya, Hidayatullah menandaskan, istilah ‘kekurangan agama’ dalam hadis tersebut bukan dipahami dalam arti kualitas --akibat udzur yang memang sudah menjadi taqdir penciptaannya—melainkan pada kuantitas pelaksanaan agama yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas agama wanita yang bersangkutan.
Sedangkan ulama Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, penggunaan pil pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat. Yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus seijin suaminya. Meski demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek negatif bagi tubuh wanita. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tapi ia tidak senang kaum wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinan madharat yang menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai Aisyah menangis setelah berihram untuk umrah, maka beliau bertanya: “Ada apa denganmu, barangkali engkau sedang haid?”. Aisyah menjawab: “Ya”. Lalu beliau bersabda” Ini sesuatu yang telah ditulis oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam”. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa haid, sebab hal itu merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat tersebut adalah makruh.
Syaikh Mutawaali al Sya’rawi mengatakan, bahwa wanita yang melakukan hal itu berarti telah menolak rukhshah (keringanan hukum) yang diberikan Allah kapadanya. Selain itu, meminum obat pencegah haid - menurutnya - dapat merusak metabolisme tubuh manusia. Perbuatan itu harus dihindari oleh para wanita muslim, khususnya pada bulan Ramadhan. Sejatinya, biarkan haid datang secara normal, dan puasa Ramadhan yang telah terlewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam nash yang jelas. Sebagai ulama berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan – terutama - Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama Saudi Arabia. Sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa wanita boleh meninum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar medis dan dokter bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaiknya, hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hari-hari lain. Hal itu lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan”.

B. Metode Ijtihad Para Ulama
Tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan asy-Syatibi dalam al- Muwafaqat menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
“Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak”.
Sedangkan Mahmud Syaltut mengungkapkan hal yang sama dalam tesis :
إذا وجدت المصلحة فثم شرع الله
“Jika terdapat maslahat, maka disanalah hukum Allah”
Dengan ungkapan yang hampir serupa, Yusuf al-Qardhawi pun menyatakan hal yang sama untuk menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Menurut al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak kerusakan atau hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia). Sementara menurut at-Tufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syari’, baik dalam bentuk ibadat maupun mu’amalat.
Dalam kajian fiqh, salah satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya adalah maslahah mursalah. Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah adalah:
ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولابالاعتبارنص معين
“Maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara’, yang membatalkan atau membenarkan”.
Salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil tertentu yang membatalkan atau membenarkannya. Sehingga, dalam masalah hukum menunda haid, dimana tidak terdapat nash yang mengaturnya, maka argumentasi para ulama dalam merumuskan hukum mengenai hal itu dibangun berdasarkan metode mashlahah mursalah.

Terhadap masalah tersebut berlaku kaidah :
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Maksudnya, hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali yang ada dalil yang mengharamkannya. Berkaitan dengan kasus tersebut, jelas tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya. Sehingga, dengan dasar ini hukum ke-mubah-an obat penunda haid dirumuskan. Meskipun demikian, hal itu masih mungkin menjadi haram akibat faktor lain, misalnya karena membahayakan kesehatan membahayakan kesehatan. Sehingga, Ibnu Utsaimin, misalnya, dalam merumuskan fatwanya berpegang pada nash:
     
“...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Al Baqarah:195)
     •     
”...dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (An Nisa’:29).
Dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini Ibnu Utsaimin menggunakan metode sadd al-dzari’ah dalam merumuskan argumentasi hukumnya. Hal itulah yang mendasari ditetapkannya hukum menunda haid sebagai hal makruh. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh al-dhararu yuzal, serta dar’u al mafasid muqaddamun ’ala jalbi al mashalih. Berbeda dengan Ormas Islam Hidayatullah yang menghukumi menunda haid dengan obat sebagai hal yang diutamakan, terlihat disini bahwa Hidayatullah merumuskan hukum tersebut menggunakan metode ijtihad bayani, yaitu ijtihad yang berhubungan dengan aspek linguistik nash, seperti ‘aam dan khash, mutlaq dan muqayyad. Disana, Hidayatullah membandingkan aspek linguistik tiga hadits, kemudian mengambil kesimpulan dari penafsiran tersebut.
Demikianlah, dalam dalam fatwa para ulama mengenai hukum menunda haid untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, terlihat jelas upaya mewujudkan kemaslahatan dalam perumusan hukum. Bahwa disana terdapat beberapa perbedaan pendapat, hal itu berkaitan erat dengan prinsip kemaslahatan itu sendiri yang bersifat dinamis dan fleksibel. Artinya, pertimbangan kemaslahatan akan berkembang seiring dengan perubahan zaman. Sehingga, sebagai konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap mashlahah pada masa lalu belum tentu dianggap mashlahah pada masa sekarang. Sifat fatwa yang kasuistik dan kondisional tersebut, sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah, bahwa yang mengalami perubahan hukum adalah fatwa; dan fatwa adalah termasuk wilayah ijtihad. Dalam bukunya, I’lamu al-Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim merumuskan kaidah :
تغير الفتوى بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
Perubahan fatwa terjadi karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar