Selasa, 22 Maret 2011

STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA MENURUT SIGMUND FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI (5)


STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA
MENURUT SIGMUND FREUD DAN IMAM AL-GHAZALI (5)
Oleh: al-faqir billah Muhamad Safii Gozali

A.    Hakikat Manusia menurut Sigmund Freud dan Al-Ghazali
1.  Menurut Sigmund Freud
Konsep Freud yang anti rasionalisme menekankan motivasi tidak sadar, konflik, dan simbolisme sebagai konsep primer (primary concept). Manusia pada hakekatnya bersifat biologis, dilahirkan dengan dorongan-dorongan instingtif, dan perilaku merupakan fungsi mereaksi secara mendalam terhadap dorongan-dorongan itu. Manusia bersifat tidak rasional dan tidak sosial, dan destruktif terhadap dirinya dan orang lain. Energi psikis yang paling dasar disebut libido yang bersumber dari dorongan seksual yang terarah kepada pencapaian kesenangan.
Pandangan Freudian tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Menurut Freud, manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan.
Manusia dipandang sebagai sistem-sistem energi. Menurut pandangan Freudian yang ortodoks, dinamika kepribadian terdiri dari cara-cara energi psikis dibagi menjadi Id, Ego, dan Superego. Karena energi psikis tersebut terbatas, maka satu sistem memegang kendali atas energi yang tersedia sambil mengorbankan dua sistem yang lainnya.
Oleh karena itu Freud menekankan peran naluri-naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Segenap naluri bersifat bawaan dan biologis. Freud meihat tingkah-laku sebagai dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia meliki naluri-naluri kehidupan maupun kematian.
Berangkat dari teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, prinsip-prinsip psikoanalisis tentang hakikat manusia didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) perilaku masa dewasa berakar pada masa lalu; (2) sebagian besar perilaku terintegrasi melalui proses bawah sadar; (3) manusia memiliki kecenderungan sejak lahir; (4) manusia berperilaku bertujuan untuk menghilangkan ketegangan dan kesakitan; (5) kegagalan pemenuhan kebutuhan seks akan menjadi neurosis; dan (6) pembentukan simptom merupakan bentuk defensif.
Manusia pada dasarnya ditentukan oleh energi psikis dan pengalaman-pengalaman dini. Motif-motif dan konflik-konflik tak sadar adalah sentral dalam tingkah laku sekarang. Sehingga perkembangan dini penting karena masalah-masalah kepribadian ditentukan pada konflik-konflik pada masa kanak-kanak .
Oleh karena itu konsep utama psikoanalisis adalah:

1.       Struktur & kepribadian manusia terdiri dari id, ego, & super ego

2.       Kesadaran & ketidaksadaran merupakan kunci untuk mengerti perilaku manusia

3.       Kecemasan timbul karena konflik dasar yang direpres prosesnya tidak disadari

4.       Untuk mengurangi kecemasan dikembangkan macam-macam mekanisme pertahanan

5.       Perkembangan kepribadian masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan bagi perkembangan kepribadian di masa selanjutnya

Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau’) yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar). Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi.
2.  Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku-buku filsafatnya ia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al-nafs (jiwanya). Yang dimaksud dengan al-nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat” dan merupakan “tempat-tempat pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) berasal dari ‘alam al-malakut atau ‘alam al-amr (Nasution, 1988).
Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab, fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri; keberadaannya tergantung kepada fisik. ‘Alam al-amr atau ‘alam al-malakut adalah “realitas-realitas (al-maujudat) diluar jangkauan indera dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang,” sebagai lawan dari ‘alam al-khalq atau ‘alam al-mulk, yaitu “dunia tubuh dan aksidens-aksidensnya”. Esensi manusia dengan demikian adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subjek yang mengetahui (Nasution, 1988).
Menurut Al-Ghazali (1359) dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al-Din, manusia seperti yang dapat kita lihat dari wujud luarnya merupakan tanaman jika dilihat dari makanan dan pertumbuhannya; ia merupakan binatang jika dilihat dari naluri dan gerakan-gerakan yang dipilihnya; ia merupakan lukisan timbul di dinding jika dilihat dari segi eksistensinya di alam ini.
Menurut Al-Ghazali, hakikat manusia adalah hal-hal yang diketahuinya. Mencapai hakikat tersebut tidaklah mungkin tanpa pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Dalam Othman (1987), Al-Ghazali  menyatakan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepuasan diri dari perkembangan yang sepihak dari hal-hal yang aneh di dalam dirinya. Walaupun hal tersebut memang diinginkan, tetapi tidaklah mungkin dilaksanakan karena walaupun akhirnya pengetahuan tentang sifat hakikinya memainkan peranan penting untuk mencapai tujuan, pengetahuan itu sendiri menganggap pengetahuan menurut setiap sudut sifatnya.
Seluruh sudut merupakan kunci pengetahuan tentang dunia dan akhirnya tentang Allah SWT. Menurut Al-Ghazali (Othman, 1987) dalam bukunya, The Alchemy of Happiness (Rahasia Kebahagiaan) ia mengemukakan bahwa jika seorang individu dianalisa secara keseluruhan, maka kita akan mengetahui bahwa:
“Kebesaran yang sesungguhnya dari manusia adalah terletak di dalam kemampuannya untuk mencapai yang abadi; jika tidak demikian, di dalam kehidupan yang sementara ini, ia adalah yang terlemah dari segala sesuatu yang ada, ia menjadi subjek yang lapar, haus, panas, dingin dan duka cita. Hal-hal yang paling menyenangkan baginya serinmg berbahaya pula bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya tidak dapat diperolehnya tanpa kerja keras atau tanpa kesulitan.
Terhadap akal pikirannya, sedikit kekecauan saja di dalam otaknya sudah cukup untuk menghancurkan atau membuatnya gila; terhadap kekuatannya, tali laba-laba saja sudah cukup untuk menghilangkan ketenangan dan membuatnya susah tidur; terhadap tabiatnya, ia menjadi marah karena kehilangan uang 5 sen; terhadap ketampanannya, ia hanya sesuatu yang memuakkan yang tertutup oleh kulit yang baik. Jika tidak sering dicuci, maka ia akan menjadi sesuatu yang buruk dan hina.
Nyatanya, manusia di dunia ini sebenarnya lemah dan tidak berarti sama sekali; hanya di dalam dunia berikutnya ia akan menjadi berharga apabila melalui kebahagiaan, ia bangkit dari keadaannya sebagai binatang menjadi bidadari. Jika tidak keadaannya malah menjadi buruk daripada bajingan-bajingan yang akan musnah dan kembali menjadi debu. Oleh karena itu sangat perlu baginya, pada waktu yang sama menyadari kelebihannya, sebagai puncak dari segala sesuatu yang tercipta, untuk belajar mengetahui ketidakmampuannya pula, karena hal-hal tersebut pun merupakan kunci untuk mengenal Allah SWT.”
Hal-hal yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah kemampuannya untuk mengenal Allah SWT. Kemampuan mengenal Allah SWT tidak hanya “tidak hanya bagi mereka yang berstatus rasul” (Othman, 1987).
Selanjutnya, Al-Ghazali juga mengemukakan bahwa:
“Tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu. Jika engkau tidak mengenal dirimu, bagaimana engkau akan mengenal orang lain? Engkau bisa saja berkata, “Aku mengenali diriku,” tetapi kau keliru....Satu-satunya hal yang kau kenali tentang dirimu adalah rupa fisikmu. Satu-satunya hal yang kau kenali tentang batinmu (bawah sadarmu – menurut Helminski) adalah ketika engkau lapar, maka engkau makan; ketika engkau marah, maka engkau berkelahi; dan ketika engkau dikuasai nafsu birahi, maka engkau bercinta. Oleh karena itu dalam hal ini, engkau setara atau sederajat dengan binatang. Engkau harus mencari realitas dalam dirimu....makhluk apa sebenarnya engkau ini? Dari mana asalmu dan hendak kemana engkau? Apa peranmu di dunia ini? Mengapa engkau diciptakan? Dimana letak kebahagiannmu? Jika kau ingin mengenali dirimu, maka kau harus tahu bahwa dirimu diciptakan dari dua bagian yang tidak dapat kau lihat, tetapi dapat jau jenali dengan pengetahuan yang mendalam. Realitas eksistensimu ada di dalam batinmu. Segala sesuatu adalah pelayan bagi hati nuranimu” (Al-Ghazali, 1991; Helminski, 2005).
Unsur pembentuk totalitas manusia menurut Al-Ghazali sedikitnya ada tiga unsur yaitu; unsur al-nafs, al-ruh, dan al-jism (Nasution, 1988). Disisi lain Al-Ghazali juga mengemukakan istilah al-ajsam, al-nufus, dan al-uqul. Al-ajsam mempunyai tingkat yang terendah, substansi material karena terakhir dalam proses penciptaannya sehingga jauh dari sumber wujud dan tidak mempunyai daya. Al-uqul merupakan substansi immaterial yang sangat dekat dengan sumber wujud. Ia mempunyai daya yang menyebabkan wujud-wujud lain. Disebabkan substansi al-ajsam dan al-uqul berbeda yang menyebabkan tidak bisa bertemu, maka diperlukan perantara untuk berhubungan yaitu al-nafs. Al-nafs adalah perantara sekaligus berada diantara keduanya.   
Konsep Jiwa Al-Ghazali dibangun atas dasar dua argumentasi yaitu : (a) argumentasi filosofis dan (b) argumentasi teologis. Agurmentasi filosofis mengenai jiwa banyak dipengaruhi oleh filsafatnya Plato yang menyebutkan jiwa terdiri dari (daya rasional, amarah dan nafsu) maupun Neoplatonis yang menekankan orientasi jiwa kepada Tuhan penaklukan atas jiwa yang rendah melalui pensucian jiwa. Sedangkan argumentasi teologis mengenai jiwa didasarkan pada sumber Al-Qu’ran dan Hadis. Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia diciptakan dari badan dan batin. Makna batin tersebut terdiri disebut dengan al-nafs (jiwa), al-ruh, al-aql, dan al-qalb. Menurut Al-Ghazali, batin manusia terdapat empat sifat yaitu sifat binatang ternak, binatang predator, iblis dan malaikat. 
1.       Sifat pertama adalah sifat seksualitas
2.       Sifat kedua adalah sifat marah
3.       Sifat ketiga adalah sifat bejat
4.       Sifat keempat adalah sifat murni manusia

Esensi manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari al-‘alam al-amr), tidak bertempat didalam badan, bersifat sederhana (bashitat), mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa keberadaan jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh hanya melalui akal saja, tetapi juga akal dengan syara’. Untuk itu selain mengutip ayat 29 surat al-Hijr, ia juga mengutip ayat 169 surat al-Imran yang artinya; “Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka hidup dan diberi rezeki oleh disisi Tuhan mereka”. Selain ayat tersebut juga termasuk ayat 85 surat al-Isra’ yang artinya; “katakanlah: ‘jiwa itu amr Tuhanku. Kamu tidak diberi pengetahuan tentang itu kecuali hanya sedikit saja” (Nasution, 1988).
Pada diri manusia terkumpul empat dimensi kejiwaan yaitu, dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (al-natiyyah), dimensi hewani (al-hayawaniyyun), dan dimensi insani (al-insaniyyah). Semuanya itu memiliki berbagai aspek dengan fungsi dan daya masing-masing baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Al-nafs sebagai elemen dasar psikis manusia mengandung arti al-nafs sebagai suatu dimensi jiwa yang memiliki fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia dan karena ia mampu mewadahi dimensi-dimensi al-aql, al-qlb, al-ruh, dan al-fitrah. Secara esensial, al-nafs juga mewadahi potensi-potensi dari masing-masing psikis berupa potensi taqwa (baik – positif) maupun potensi fujur (buruk – negatif) (Baharuddin, 2004).
 Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri dan tidak bertempat di tubuh (al-jism). Sedangkan al-ruh adalah panas alami (al-harakah al-ghariziyyah) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh darah, otot-otot dan syaraf-syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi. Al-Ghazali menjelaskan al-nafs sebagai esensi manusia. Sedangkan al-ruh bukan esensi manusia tetapi merupakan daya hidup yang dapat juga kita temukan pada binatang (al-ruh al-hayawaniyyah) dan menjelaskan sebagai sejenis uap halus.
Text Box: No. Potensi Pengetahuan Epistemologi Sifat Kebenaran
1 Al-jism Sains Observasi– eksperimen Sensoris
2 Al-aql Filsafat Argumentasi logis Rasional
3 Al-qalb Etika estetika, dll Latihan empiris Etika estetika
4 Al-ruh Mistik Latihan spiritual Spiritual
5 Al-fitrah Agama Iman Transendental Tabel 5. Potensi Manusia

Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan menyebabkannya dari yang lainnya. Ungkapan ini menandai satu kecenderungan di dalam filsafat yang menganggap manusia memiliki definisi pra-ada tentang kemanusiaannya. Definisi pra-ada itu adalah esensi yang dibedakan secara jelas dari eksistensi. Dalam pandangan ini, kelihatannya esensi lebih penting daripada eksistensi. Kecenderungan ini sangat dominan pada periode klasik dan abad pertengahan (Nasution, 1988).
Di dalam buku-buku tasawufnya, penggunaan keempat term tersebut untuk menunjukkan esensi manusia. Al-Ghazali menyatakan di dalam Ihya’ Ulumiddin (1422), bahwa al-qalb adalah lathifat rabbaniyyat (sesuatu yang sangat halus yang bersifat ketuhanan), hiya haqiqat al-insan. Al-ruh adalah sesuatu yang halus yang berkemampuan mengetahui (al-‘alimat, al-mudrikat) pada manusia, sama dengan al-qalb diatas. Al-nafs adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia. Al-aql juga adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb. Ini semua menunjukkan bahwa keempat term tersebut digunakan untuk menunjuk esensi manusia (Al-Ghazali, 1422).
Pandangan bahwa esensi manusia adalah sesuatu yang bersifat ketuhanan dan yang mempunyai kemampuan mengetahui mempunyai persamaan dengan sifat-sifat dasar esensi manusia pada buku-buku filsafatnya. Di tempat lain diterangkannya bahwa esensi manusia itu bukanlah al-jism-nya, bukan aksidens, karena ia berasal dari al-amr Allah SWT, yaitu daya yang bersifat ketuhanan (Quwwah al-Ilahiyyah) seperti Akal Pertama, al-Lawh al-Mahfudz dan al-Qalam (Nasution, 1988).
Hal ini memperjelas esensi yang bersifat ketuhanan itu dan sekaligus memperkuat persamaannya dengan yang disebut pada buku-buku filsafatnya terdahulu. Esensi berasal dari dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia materi; ia tidak bersifat materi. Dengan demikian yang dimaksud Al-Ghazali dengan lathifat adalah substansi immaterial. Selain kata lathifat, Al-Ghazali juga menggunakan al-jauhar al-kamil al-fard (substansi sempurna yang tidak terbagi-bagi). Esensi tersebut adalah substansi immaterial, berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Tuhan, mempunyai kemampuan mengetahui, bersifat sempurna dan tidak dapat dibagi-bagi (Nasution, 1988).
Di dalam buku-buku filsafatnya Al-Ghazali, kata lathifat tidak ditemukan. Kata lathifat ditemukan didalam buku-buku tasawuf dan mengandung arti sesuatu yang sangat rahasia. Esensi manusia memang bersifat sangat rahasia, dalam arti kebanyakan akal manusia tidak dapat menangkap hakikatnya (Nasution, 1988).
Esensi manusia itu mempunyai aktivitas pada badan. Dari segi dialog antara jiwa dan badan, jiwa berhadapan dengannya (muqbil); dari segi tidak adanya kemampuan badan pada dirinya, jiwa memberikan keuntungan kepadanya dan menyempurnakannya (mufidz); dan dari segi hubungan eksistensinya, jiwa adalah sesuatu yang mengalir kepada badan dan mengalirkan daya-daya kepadanya (Al-Ghazali, 1422).
Oleh karena itu Al-Ghazali, disisi lain memang menyatakan bahwa jiwa itu mempunyai kaitannya dengan jantung. Akan tetapi pernyataan ini tidaklah menunjukkan bahwa jiwa bertempat di dalam jantung. Hubungan disini adalah hubungan antara pelaku dengan alat. Badan adalah alat bagi jiwa (mustamilat lahu) (Nasution, 1988).
Sebagaimana dalam buku-buku filsafatnya, di dalam buku-buku tasawufnya juga dijumpai bahwa jiwa itu kekal. Jiwa itu tidak hancur, tidak akan mati, ia berpisah dengan badan. Badan hancur dengan terjadinya dekomposisi, tetapi jiwa akan tetap kekal karena ia bukan komposisi dalam bentuk apapun. Di dalam buku-buku tasawufnya, tidak banyak ditemukan argument-argumen atas pandangan-pandangannya tentang jiwa dan sifat-sifat dasar esensi. Di dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al-Din (1422), pendukung pandangan-pandangannya lebih banyak bersifat syawahid, dalam bentuk ucapan atau pengalaman-pengalaman orang-orang terdahulu (Nasution, 1988).
Tentang kekekalan jiwa misalnya, ia mengutip ucapan Al-Hasan, “Tanah tidak akan memakan tempat iman”. Maksudnya, setelah manusia mati, jiwa (tempat iman) tidak akan hancur sebagaimana badan hancur dimakan tanah. Mungkin sekali, Al-Ghazali melihat dalil-dalil seperti yang terdapat di dalam buku-buku filsafatnya tidak begitu penting untuk dikemukakan dalam buku-buku tasawufnya. Sebab yang lebih utama dalam tasawuf adalah amal. Pengetahuan tentang hakikat, termasuk hakukat manusia, diperoleh melalui al-kasyaf yang dicapai setelah pembersihan diri dengan jalan beramal (Al-Ghazali, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar