Minggu, 13 Maret 2011

HUKUM TRANSPLANTASI

HUKUM TRANSPLANTASI
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

Dalam prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Adapun dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan mata, ginjal atau jantung, antara lain sebagai berikut:
1. Al Qur’an surat al-Baqarah ayat 195, yang menurut sebab turunya ayat adalah para sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka ingin melakukan bisnis perdagangan dan sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh kembali harta benda yang lenyap selama itu akibat perjuangan agama. Maka ayat ini memperingatkan kepada para sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa perjuangan yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu kelengahan umat Islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami bahwa Islam tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha penyembuhanya secara medis dan non medis, termasuk pencangkokan tubuh, yang secara medis memberikan harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup dengan baik.

2. Al Qur’an Surat al-Maidah ayat 32
ومن احياها فكانما احيا الناس جميعا
“ Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”

Ayat ini menunjukan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia, demikian pula seorang yang ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa manusia sesama atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
3. Hadits Nabi.
تداووا عبادالله فان الله لم يضع داء الا وضع له دواء غير داء واحد الهرم
Berobatlah kamu hai hambah-hambah Allah, karena sesunggahnya Allah tidak meletakan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakan obat penyembuhnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.

Hadits ini menunjukan bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab tiap penyakit berkat kasih sayang Allah, pasti ada obet penyembuhnya, kecuali sakit tua.

4. Kaidah Islam.
الضرر يزال
Bahaya itu dilenyapkan.
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang telah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah di atas, bahaya tersebut harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan bila usaha pengobatan medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena dalam keadaan darurat. Dan hal ini berarti, kalau penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan tersebut tidak dapat diperbolehkan.
Dilihat dari hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga macam pencangkokan, yaitu:
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi dimana donor resipienya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badanya yang lain dalam badanya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni dimana transplantasi itu donor dan resipienya individu yang sama jenisya, (jenis di sini buan jesnis kelamin, tapi jenis manusia dengan manusia).
3. Hetero transplantasi, ialah yang donor dan resipienya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipienya manusia.
Dalam hal ini penulis hanya akan mebatasi pembahasan pada hetero transplantasi yakni transplantasi dengan menggunakan organ binatang haram. Tidak menjadi persoalan yang irasional jika pada perkembangan dunia kedokteran sebagaimana saat ini tidak menutup kemungkinan itu terjadi, bahkan sebagaimana yang dikatakan Dr. Tarmizi yang menyoroti fenomena bahwa saat ini yang paling sesuai untuk transplantasi organ jantung manusia adalah babi (Media Dakwah, No.265 Rab. Awal 1417 H/Agustus 1996). Karena masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum, moral, etika kemanusiaan dan berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah kontroversi pendapat pro-kontra mengenai kasus ini. Pada hakekatnya, syari’ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya suatu masalah, tidak terpasung pada batas ‘hukum sekedar untuk hukum’. Lebih jauh dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah. Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi internal terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horisontalnya adalah ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat manusia secara universal.

TRANSPLANTASI DENGAN ORGAN BINATANG HARAM.
Adapun mengenai masalah pemanfaatan jaringan sel dan organ tubuh babi untuk tujuan medis diantara para ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang boleh menyambung tulangnya dengan benda najiz, jika memang tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Jadi, organ babi baru dibolehkan jika tidak ada organ lain yang menyamainya. Menurut kalangan Hanafiyah, berobat dengan barang haram tidak diperbolehkan. Dalam hal ini memang ada satu hadits yang menyatakan;
ان الله لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم
“ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian di dalam sesuatu yang haram”
Akan tetapi menurut mereka, jika diyakini di dalamnya mengandung obat dan tidak ada obat lain, maka hal itu tidak apa-apa. Dari kedua pendapat di atas, transplantasi dengan menggunakan organ babi, boleh-boleh saja. Kebolehan ini bisa diberikan selama tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Akan tetapi Ibnu Hajar mensyaratkan resipienya harus orang maksum. Artinya dia harus orang muslim, bukan orang murtad atau orang kafir. Karena status mereka (murtad, kafir) disamakan dengan binatang. Sedangkan Imam Romli Asnawi dan al-Subki tidak mensyaratkan harus maksum, sebab mereka termasuk manusia yang dimuliakan. Perbedaan yang serupa dengan di atas juga nampak pada pandangan ulama saat ini. Kalangan yang menganggap haram transplantasi dengan organ binatang haram berlandaskan bahwa beberapa di antara mereka menganggap obat-obatan tidak termasuk dalam kategori kebutuhan mendesak seperti halnya makanan. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengutip hadits yang berbunyi:
ان الله لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم
Sesungguhnya Allah tidak menyediakan obat bagi kamu dalam apa-apa yang Dia haramkan untukmu.
Diantara yang memegang pendapat tersebut adalah Majelis Ulama Port Elizabeth berpendapat bahwa karena babi berikut seluruh bagian tubuhnya dianggap najis berat (najasat al ghalizhah) oleh syari’at, maka haram pula mengambil manfaat apapun dari hewan ini sekalipun untuk tujuan medis. Di pihak lain ada yang menyamakan keterdesakan medis dengan keterdesakan dalam hal makanan, karena keduanya sama-sama penting bagi kelangsungan hidup. Al Qur’an mengizinkan orang Islam yang terdesak oleh kelaparan untuk mengkonsumsi daging babi:
…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, ,maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.S. Al baqarah:173)
Karena itu, pemanfaatan jaringan sel atau organ tubuh babi untuk menyelamatkan
nyawa manusia hukumnya adalah boleh. Tiga kutipan berikut ini adalah sebagian di antara pandangan-pandangan yang memperbolehkan transplantasi organ tubuh babi pada manusia:
a. Akademi Fikih Islam Liga Dunia Muslim, Mekah, Arab Saudi, berpendapat boleh mentransplantasi hewan yang dagingnya haram dimakan pada tubuh manusia atas dasar kebutuhan yang mendesak
b. Akademi Fikih Islam India juga membenarkan pengambilan organ hewan yang dagingnya haram dimakan atau organ hewan yang halal dimakan tapi tidak disembelih secara islami untuk ditransplantasikan pada tubuh manusia. Namun kebolehan ini dibatasi oleh dua syarat: pertama tidak ada lagi jalan keluar yang lain, kedua, nyawa si penerima organ dalam bahaya atau organ tubuhnya rusak dan tidak dapat di perbaiki lagi.
c. Dr.Fayshal Ibrahim Zhahir berpandangan bahwa boleh mentransplantasikan organ tersebut pada tubuh manusia berdasarkan prinsip fikih tentang keterdesakan yang membuat hal-hal terlarang menjadi boleh. Dengan demikian, kebolehan dalam kasus ini bersifat kondisional, yakni boleh dilakukan hanya apabila tidak ada organ tubuh hewan yang halal.

1 komentar: