Minggu, 13 Maret 2011

ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA

ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA

AGAMA Islam disyariatkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini, tanpa memandang ras, suku bangsa, jenis bahasa dan budayanya. Oleh karena ini ketika Islam harus melintasi batas-batas wilayah dan suku bangsa maka ia harus bergesekan dengan tardisi dan adat istiadat bahkan kepercayaan yang telah dimiliki oleh masing-masing suku bangsa tersebut.
Pulau Jawa yang diatasnya berdiam salah satunya suku bangsa Jawa termasuk wilayah yang terkena arus Islamisasi. Studi tentang akulturasi Islam dengan kebudayaan Jawa merupakan studi yang selalu menarik dari masa kemasa. Baik oleh para ilmuan domestik maupun ilmuan dari mancanegara terutama dari dunia barat.
KAJIAN ini mencoba untuk memotret bagaimana pergesekan Islam dengan kebudayaan Jawa. Apakah pergesekan tersebut hanya sebatas toleransi Islam terhadap budaya Jawa atukah toleransi oleh budaya Jawa terhadap Islam. Bahkan ada yang menganggap telah terjadi sinkretisme agama antara Islam dengan kepercayaan dan agama-agama di Jawa pra Islam. Sehingga kita tidak berpikir picik dan terjebak pada pemahaman yang sempit dengan melakukan klaim-klaim yang proprsional.

PENGERTIAN
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialek secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan diluar wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.

STRATIFIKASI MASYARAKAT JAWA
Stratifikasi pada masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah stratifikasi secara horizontal. Menurut Koentjaraningrat masyarakat Jawa dibedakan kedalam empat tingkatan sosial yaitu ndara [bangsawan], priyayi [birokrat], wong dagang atau saudagar [pedagang] dan wong cilik [ orang kecil atau rakyat kecil].
Para ndara [bangsawan] umumnya berpusat pada empat keraton dibagian selatan Jawa Tengah: Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta, serta dua swapraja lain; Kasultanan dan Paku Alaman di Yogyakarta. Anggota-anggotanya adalah orang yang dapat menunjukkan bahwa mereka keturunan keempat swapraja tersebut menurut garis bapak atau garis ibu. Mereka terbagi menurut pangkat dan gelar yang berlain-lainan sesuai dengan derajat kekerabatannya dengan salah satu antara empat keluarga raja.
Adapun golongan priyayi [birokrat] mencangkup para anggota dinas administratif; yaitu birokrasi pemerintah serta para cendekiawan yang berpendidikan akademis. Mereka menempati kedudukan pemerintah dan tersusun menurut hirarki [tata tingkat] birokrasi, mulai dari priyayi rendahan [seperti juru tulis, guru sekolah, pegawai kantor pos setempat, pegawai kereta api] sampai priyayi tinggi yang berpangkat tinggi di kota-kota yang agak besar.
Wong dagang atau saudagar, yaitu para saudgar dan pedagang kaki lima, lebih bayak berkumpul dalam kota-kota kecil atau dalam pemukiman-pemukiman kota besar, tempat terdapat pasar yang memainkan peranan penting sebagai lembaga ekonomi.
Wong cilik [rakyat kecil] merupakan masa rakyat yang besar di desa dan pada lapisan-lapisan bawah penduduk kota. Kebanyakan wong cilik adalah tani yang tinggal di desa-desa yang merupakan satuan-satuan sosial, moral dan ekonomi. Kebanyakan tani mengarap sebidang tanah kecil. Namun ada juga wong cilik yang tinggal di kota. Di situ mereka merupakan tingkat bawah penduduk, bekerja sebagai pengemudi mobil dan truk, pemangkas rambut, tukang becak, tukang batu dan tukang kayu serta pembantu rumah tangga.
Kedua adalah stratifikasi vertikal, merupakan klasifikasi masyarakat Jawa berdasarkan pada ukuran sampai di mana kebaktian agama Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan sarengat [syariat]. Pertama terdapat santri, orang Muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sunggh dan dengan teliti menjalankan perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan aqidahnya dari syirik yang terdapat di daerahnya. Lagi pula rupanya ia ditandai oleh keikutsertaanya dalam upacara-upacara agama yang dilakukan oleh ummah [ umat Islam }, atau sekurang-kurangnya ia menunjjukkan rasa menyatu dengan umat Islam secara keseluruhan. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti ‘ yang merah’, yang diturunkan dari pangkal kata abang [ merah ]. Istilah ini mengenai orang muslim Jawa yang tjdak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajijban-kewajiban agama.

BAHASA
Dalam masyarakat Jawa setidaknya ada tiga gaya bahasa atau sub-bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan kesehariannya. Ketiga sub-bahasa tersebut terbagi sebagai berikut : pertama ngoko [sub-bahasa rendah] yang digunakan oleh pembicara untuk menyapa seseorang yang status sosialnya lebih rendah dari statusnya sendiri. Staus orang lain yang lebih rendah itu dapat berdasarkan hubungan kekerabatan, umur, atau status dalam tata tingkat birokrasi. Selain itu, ngoko dipakai pula dalam percakapan orang yang berstatus sama yang menjadi sahabat akrabnya.
Kedua, terdapat sub-bahasa yang lebih tinggi yang disebut krama madya [ sub-bahasa menengah ] yang digunakan oleh orang-orang berstatus sosial sama, atau waktu berbicara kepada orang lain yang terkenal mempunyai status sosial lebih tinggi dari pembicara, atau kepada seseorang yang lebih tua umurnya dari pembicara, atau kepada seseorang yang tak dikenalnya dengan baik atau sama sekali tak dikenal oleh pembicara.
Ketiga, waktu berbicara dengan seseorang berstatus lebih tinggi, orang harus memakai krama inggil [ sub-bahasa penghormatan ]. Disini pula status orang lain yang lebih tinggi itu harus berdasarkan hubungan kekerabatan, umur, status sosial dan tatatingkat birokrasi.

SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT JAWA
Pada masyarakat Jawa istilah kerabat dipakai untuk menyebut moyang, baik pada tingkat ketiga maupun keturunan pada generasi ketiga, dengan aku sebagai acuan. Jadi, buyut dapat berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya [wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropak sente, debog bosok] sampai generasi ke sepuluh dimana dapat menunjjukkan, baik nenek moyang maupun keturunan jauh. Dengan demikian, seluruh susunan kerabat secara berurutran tak terhingga dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.
Di Jawa anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara orang tua mereka, bahkan oleh tetangga, dan nak acapkali diangkat. Hukum adat menuntut sorang laki-laki bertanggungjawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan pekuburan dan yang lainnya.
Semboyan saiyeg saeko proyo atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong-menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar. Pengolahan tanah lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara bergotong-royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku hingga saat ini dalam sistem musyawarah adat desa yang disebut rembug desa.

RELIGIUSITAS MASYARAKAT JAWA PRA ISLAM
Jauh sebelum masuknya Islam masyarakat Jawa telah mengenal konsep kepercayaan yaitu kepercayaan terhadap roh-roh [animisme] dan kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki kekuatan gaib [dinamisme]. Kepercayaan animisme terlihat dengan dikenalnya istilah hyang atau yang yang berarti ‘tuhan’. Saking banyaknya para yang, sehingga tak seorangpun dapat menghitung jumlah yang. Diantara adalah danyang desa [roh pelindung desa]. Sehingga banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan dari bencana, mengantarkan saji-sajian [sajen] berupa kemenyan dan bunga ke tempat pohon besar atau tempat yang dianggap sebagai tempat tingal danyang desa, mereka mengemukaan kesulitan dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa.
Kepercayaan dinamisme bisa dilihat dari kepercayaan masyarakat Jawa terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga dapat melindungi dirinya dari petaka dan marabahaya, seperti keris, batu akik, tombak. Bahkan benda-beda tersebut diperlakukan sangat istimewa tak ubahnya seperti makhluk hidup, diberi makan berupa bunga dan kemenyan, diolesi wewangian dan dimandikan di hari-hari tertentu.
Setelah kurun kepercayaan animis dan dinamis, Hinduisme kemudian disusul Buhisme tiba di pulau Jawa. Agama dan kebudayaan Hindhu dan Budha diduga masuk ke tanah Jawa abad pertama masehi, selanjutnya berkembang kerajaan Jawa-Hindhu mulai abad kedelapan sampai awal abad keenambelas dan dibagi menjadi dua bagian: kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

PROSES MASUKNYA ISLAM DI JAWA
Masuknya agama Islam di Jawa dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Bengali dan Arab sendiri. Kedatangan mereka sudah mulai abad kesebelas sebelum didirikannya kerajaan Jawa-HIndhu yang paling jaya, yaitu Majapahit pada tahun 1292. Agama Islam diperkenalkan ke Jawa melalui pelabuhan-pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa seperti Gresik, Tuban, Jepara dan Demak yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah.
Bukti bahwa Islam telah masuk di Jawa mulai abad kesebelas adalah penemuan batu nisan seorang wanita muslim yaitu Fatimah binti Maemun bin Hibatallah di Leran Gresik yang berangka tahu 475 H [1082 M]. Kemudian diperkuat dengan penemuan makam-makam muslim di Trowulan berangka tahun 1368 M dan di Troloyo berangka tahun 1376 M. Kedua tempat tersebut dekat dengan situs istana Majpahit.
Agama Islam di tanah Jawa mulai berkembang pesat setelah runtuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya kerajaan Jawa-Islam pertama yaitu Demak Bintoro. Dari Demak ini kerajaan Islam diperluas sampai ke Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten. Setelah Demak runtuh oleh perang saudara pusat kerajaan Jawa-Islam tidak lagi di pantai utara Jawa melainkan pindah ke pedalaman yaitu Pajang dan akhirnya ke Mataram yang merupakan kerajaan Jawa-Islam tebesar.
Menurut Babad Tanah Djawi penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Wali Songo. Kesembilan mubalig yang dianggap sebagai orang saleh yaitu : [1] Maulana Malik Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Sunan Gresik wafat di Gresik tahun 1419. [2] Raden Rachmat berjuluk Sunan Ampel wafat di Ampel tahun 1467. [3] Raden Makdum Ibrahim dikenal dengan Sunan Bonang, beliau adalah putra Sunan Ampel wafat di Bonang tahun 1525. [4] Raden Syarifuddi wafat di Drajad tahun 1572 dikenal dengan nama Sunan Drajad, beliau merupakan putra Sunan Ampel. [5] Raden Paku atau Sunan Giri wafat tahun 1530. [6] Raden Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus wafat tahun 1560 dimakmkan di Kudus. [7] Raden Prawoto dikenal dengan nama Sunan Muria, makamnya berada di gunning Muria. [8] Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah meninggal di Cirebon tahun 1570. [9] Raden Syahid atau Sunan Kalijaga wafat di Demak tahun 1565. Beliau merupakan simbol Islam Jawa punya peran besar dalam pengislaman di Jawat Tengah terutama bagian selatan.

FAKTOR PENDORONG TERJADINYA PERPADUAN BUDAYA JAWA DAN ISLAM
Budaya Jawa adalah kebudayaan yang paling dianggap akomodatif terhadap unsure-unsur dari luar. Hal ini sebabkan oleh beberpa fakto, antara lain : pertama secara alamiah, sifat budaya itu pada hakikatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka tidak ada budaya yang dapat tumbuh terlepas dari unsur budaya lain. Dan terjadinya interaksi manusia yang satu dengan lainnya memungkinkan bertemunya unsur-unsur budaya yang ada dan saling mempengaruhi.
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsure-unsur lain itu, Frans Magnis Suseno menilai bahwa budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya.
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas dari faktor pendorong kedua, yaitu sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan yang sinkretis itu. Dengan metode manut milining banyu para wali tetap membiarkan adat istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna keislaman , seperti upacara sesajen diganti kenduri / slametan.

HUBUNGAN ANTARA BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM ASPEK RITUAL.
Masyarakat Jawa merupakan tipologi masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari upacara-upacara / ritual keagamaan [slametan] dalam menjalani hidupnya. Upacara-upacara atau ritual keagamaan [slametan] dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama berkaitan dengan lingkaran hidup yaitu :
[1] Upacara tingkeban atau mitoni, dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada upacara tingkeban seperti ini dibacakan kitab Barzanji yang berisi riwayat Nabi Muhammad SAW.
[2] Upacara kelahiran, dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut [bercukur], pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu slametan pada upacara ini dinamakan slametan nyepasari. Dalam tradisi Islam santri upacara ini disebut dengan korban aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah, ditandai dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa kambing dua ekor bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
[3] Upacara sunatan dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Namun pada usia mana anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat pelaksanannya berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya pada usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat yang lain dilaksanakan tatkala anak berusia antara 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini merupakan pengukuhan sebagai orang Islam. Karena seringkali sunatan disebut selam, sehinga mengkhitankan anak dikatakan nyelamake, yang mengandung makna mengislamkan [ ngislamake ].
[4] Upacara perkawinan, dilakukan padasaat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang rumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’at Islam yakni aqad nikah [ijab qabul] yang dilakukan pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum aqad nikah, pada tahap aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah [ngunduh manten, resepsi pengantin].
[5] Upacara kematian, dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah penguburan itu, tiap malam hari diadakan slametan sampai hari ketujuh [ mitung dina ], yaitu kirim doa dengan didahului bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat Nabi yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlilan. Slametan yang sama dilakuan pada saat kematian itu sudah mencapai 40 hari [matang puluh], 100 hari [nyatus], satu tahun [mendak sepisan], dua tahun [mendak pindo ], dan tiga tahun [nyewu].
Kedua, upacara keagamaan atau slametan yang berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah seperti upacara Bakda Besar, Suran, Mbubar Suran, Saparan, DinaWekasan, Muludan, Jumadilawalan, Jumadilakhiran, Rejeban, Ngruwah, Maleman, Riyayan, sawalan, Sela dan Sedekahan Haji.
Kelompok upacara keagamaan atau slametan yang ketiga adalah upacara tahunan yaitu upacara yang dilaksanakan setahun sekali. Termasuk jenis upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 bulan Maulud, disebut muludan.

MENGGABUNGKAN ISLAM DENGAN BUDAYA JAWA
Yang dimaksud menggabungkan Islam dengan budaya Jawa dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syariat ini masyarkat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Hal ini merupakan simbolisasi dari perintah untuk meminta maaf kepada orang lain pada hari raya yang penuh kebahagiaan ini. Adapun lontong ,secara keratabasa dapat diartikan olone kothong ’kesalahannya kosong/habis’. Hal ini merupakan simbolisasi dari doa agar semua dosanya termaafkan sehingga dirinya bersih dan suci dari dosa yang pernah menghinggapi.
Meskipun sama-sama menggabungkan unsur-unsur ajaran dari dua atau lebih agama yang berbeda, contoh-contoh sinkretisasi diatas tidaklah sama tingkatannya. Ada yang menyentuh dataran aqidah, yang sebagian besar ulama sepakat untuk menolaknya. Ada yang menyentuh bidang ritual yang para ulama berselisih pendapat didalamnya, dan ada yang menyentuh pada tingkatan budaya yang sebagaian besar ulama sepakat untuk menerimanya, karena menganggapnya bagian dari urusan duniawi.

PENUTUP
Demikianlah tentang pergumulan antara Islam di satu pihak dengan tradisi dan budaya Jawa pra Islam di pihak lain. Menolak semua tradisi dan budaya Jawa pra Islam bagi masyarakat Muslim adalah suatu kemustahilan, karena sebagai anggota masyarakat Jawa, mereka terikat denga norma dan tradisi yang berlaku. Namun menerima semua tradisi Jawa dengan tanpa seleksi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keberagamaan yang mengharuskan adanya seorang nabi atau rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan risalah atau ajaran tertentu yang harus ditaati oleh para pengikutnya. Hal ini terjadi karena adat dan tradisi bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Selagi hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, para ulama tidak memasalahkan untuk mengadopsinya. Tapi apabila sudah menyangkut masalah ritual, terdapat pebedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagaian bersikap toleran terhadap perbuatan tersebut dan sebagian menolaknya. Bahkan kalau jelas-jelas sudah menyinggung masalh aqidah, mereka bersepakat untuk menolaknya.


DAFTAR PUSTAKA

Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan Di Jawa, INIS, Jakarta, 1988
Jamil, Abdul dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, GAMA MEDIA, Yogyakarta, 2002
Abdussomad, Muhyidin KH, Fiqh Tradisi, DPP PKB, Jakarta, 2008
Negoro, Suryo S, KEJAWEN – Membangun Hidup Mapan Lahir Batin, CV Buana Raya, Surakarta, 2001
Ponginsibane, Lebba, Islam dan Budaya Lokal, Bahan Kuliah IBL UIN Sunan Kaljaga, Yogyakarta,2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar